05

...🌱Nyatanya Aku Terlalu Berharap🌱...

...Meski Tak Diharapkan...

Terhitung sudah 5 hari vino tinggal di kediaman rafa, 5 hari pula ponselnya ramai dengan permohonan vian yang memintanya pulang.

Sekarang ia sudah tau, orang tuanya tak akan memperdulikannya walau ia tak pulang hampir seminggu, bahkan sepertinya mereka tak tau dan tak ingin tau.

Dengan amat terpaksa karna bujukan saudaranya ia kembali melangkahkan kaki nya ke rumah, rumah yang sudah menjadi saksi bagaiman perlakuan yang ia dapatkan selama ini.

Dengan menggendong tas ranselnya vino berjalan tanpa permisi masuk ke dalam rumah, padahal di ruang keluarga tampak keluarganya yang sedang bersantai.

Adi  menatap vino dengan nyalang dan beranjak dari duduknya.

"Bagus sekali, kamu pasti hanya datang untuk meminta uang bukan?" Tanya di dengan remeh, sontak vino yang sudah berada di tangga menoleh.

"Maksud papa?" Tanya vino dengan wajah datarnya.

"Padahal saya sudah senang lho bila kamu pergi dari rumah" ungkap adi lagi, dan sialnya itu berhasil menggores hati vino.

"Paaa" vian ikut berbicara karna malas dan kesal saat melihat sang saudara merasa tersakiti, bahkan jujur ia juga ikut merasa sakit.

"Diam vian!" Titah raya dengan sedikit tegas.

"Apa yang akan kamu lakukan di rumah saya?" Tanya adi dengan tatapan menghunus tajam.

"Ini juga rumah vino, vino berhak pulang dan tinggal di sini" ucap vino santai, ia mencoba memberanikan diri dengan berucap sesantai mungkin.

"Siapa kamu? Beraninya menganggap ini rumah mu?"

"Saya Alvino Dekta Adinata anak anda tuan Adinata" ucap vino dengan memberi penekanan pada kata terkhir.

"Wah wah wah, bahkan saya tak pernah mempunya anak bernama seperti itu" remeh adi meski nadanya terdengar menusuk.

"Paaa" vian menyela namun tak di hiraukan.

"Sekarang!!! KELUAR DARI RUMAH SAYA, JANGAN PERNAH MENGINJAKKAN KAKI MU DI SINI!!" bentak adi tiba tiba.

Bahkan vian sampai memelototkan matanya, ia tak habis pikir dengan sang papa, sedangkan vino malah tersenyum meremehkan.

"Baik bila itu yang anda inginkan, saya akan pergi, terimakasih telah menampung saya selama ini" setelah mengucapkan itu vino naik ke kamarnya.

Mengambil beberapa barang miliknya, miliknya karna ia membelinya dengan uang hasil kerjanya sendiri selama ini.

Tak banyak bahkan ia hanya membawa ranselnya dan satu tas jinjing berukuran sedang, dengan santai ia lewat di hadapan sang papa yang masih menatapnya tajam.

Ia berhenti sejenak di depan pintu, mengalihkan pandangannya ke arah vian yang memandangnya dengan sendu.

"Gua harap saat gua ketemu lo, lo bukan vian yang gua kenal sekarang, bukan vian cengeng dan penakut kaya sekarang, gua pergi yan" pamitnya lalu menaiki mobil nya, mobil yang diberikan kakeknya saat ia ulang tahun ke 17 kemarin.

Mobil itu melesat membelah padatnya jalanan siang hari ini, seperti tanpa tujuan vino hanya mebgikuti jalan yang ada, pikirannya kosong sekarang.

Ia tak pergi ke rumah rafa karna selama ini ia sudah banyak merepotkan keluarga saudarannya itu, ia masih punya malu.

Sedangkan bila ke rumah sang nenek otomatis keluarga besar akan mengetahui apa yang terjadi pada keluarganya, dan ia tak suka bila itu terjadi keluarganya pasti terpecah belah.

Sekarang mobilnya sudah terparkir di sebuah apartemen yang tak jauh dari sekolahannya, paling tidak uang tabungannya cukup untuk biaya hidupnya 2 bulan kedepan bahkan lebih.

Vino merebahkan tubuhnya saat sudah sampai di kamarnya, tasnya bahkan masih berada di ruang tamu.

Ia memejamkan matanya yang lelah, ia terbangun terlalu pagi tadi, padahal ia tidur lumayan malam kemarin.

...•~•...

Sore itu dengan nafas tak beraturan vino bangun dari tidurnya, ia bermimpi buruk tadi, mimpi yang selama ini selalu melintas di kepalanya saat tidur.

Flashback

Dua orang anak kecil nampak asik bermain di taman rumahnya, mereka adalah si kembar vian dan vino.

Umurnya baru menginjak 4 tahun sekarang bahkan vian masih cedal bila berbicara meski vino sudah sangat lancar, itulah perbedaan mereka saat kecil.

"ian mau itu ino" tunjuk vian pada layang layang yang menyangkut di pohon dekat mereka bermain.

"Itu tinggi, ino nggak bisa ambil" ucap vino setelah melihat dimana layang layang itu berada.

"Yahh, tapi ian mau itu inoooo" rengek vian menjadi jadi.

"Mau itu inooooo"

"Nggak bisa ian, ian main baba aja" bujuk vino dengan menyerahkan mobil mobilannya.

"Nggak mau, ino nakal hiks huaaaaaaaa" tangis vian keras dengan menendang nendangkan kakinya dengan posisi duduk.

"Ian ian jangan nangis nanti papa marah" ucap vino khawatir sembari melihat sekeliling, dan benar saja nampak sang papa yang menatapnya tajam, namun berubah lembut saat melihat vian.

"Kamu apakan anak saya!!" Tanya adi dengan menggendong vian, suaranya yang tinggi membuat vino takut.

"Ino nggak apa apain ian pa" jawabnya jujur dengan pandangan ia tundukkan.

"Kamu itu!! bisanya menyusahkan saja!! jangan tunjukkan wajah mu di depan saya lagi!!" Setelah mengucapkan itu adi pergi dengan vian di gendongannya, meninggalkan vino yang terisak kecil.

"Maaf paa"

...•~•...

"Kamu itu taunya menyusahkan!! pergi saya muak melihat mu!!"

"Maafin vino paa"

"ANAK TIDAK TAU DI UNTUNG!! KAMU ITU BODOH VINO! BODOH! SAYA MENYESAL MELAHIRKAN KAMU!!"

"maafin vino maa"

"PERGI!! SAYA TAK PUNYA ANAK SEPERTIMU"

"Nggak pa nggak"

"PERGIIII!!!!"

Flashback End

"Bahkan dari kecil vino udah buat kalian susah ma pa, maafin fino" gumam vino dengan lirih.

Ia memang bukan anak yang bisa di banggakan dalam urusan akademik, tapi tidak pernahlah orang tuanya mengerti bahwa keahliannya terletak di bidang yang lain?

Dengan langkah gontai ia menuju kamar mandi, menyegarkan dirinya kembali meski tak terlalu berpengaruh dengan pemikirannya.

Di tempat lain

"Kira kira vino lagi apa ya? Eh kok gua mikirin dia sih, yaampun selin lo kenapa sihh" tanya dan jawab selin sendiri, jujur belakangan ini ia merasa anah dengan dirinya.

Sejak bertemu dengan vino di taman hari itu, ia terus berfikir bagaimana keadaan vino? Apakah ia baik baik saja? Kenapa ia tak segera menemui sang bunda?

Banyak pertanyaan yang bersarang di kepalanya saat ini.

"Kira kira keluarga vino kenapa ya, gua liat dia sama kembarannya akur, apa dia ada problem sama orang tuanya?"

"Ya ampun anak bunda, kamu kenapa bicara sendiri?" tegur lia bunda selin yang melihat anaknya berbicara sendiri.

"Eh ng...ggak kok bun" gugup selin, bisa gawat bila bundanya tau ia sedang memikirkan laki laki.

"Mikirin pacarnya yaa" ledek lia dengan mencolek dagu anak gadisnya itu.

"Ihhh bunda apa sih" kesal selin.

"Sudah besar ternyata anak bunda, siapa sih cowok yang kamu pikirin? Bawa ke sini donk, biar kenalan sama bunda"

"Bundaaaaaa"

Dan terjadilah perdebatan antara selin dan bundanya tentang masalah cowok yang sudah membuat selin berbicara sendiri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!