20

"Kalo lo aja takut sama bola gimana lo mau bisa yan!" Gertak vino.

"Sory gua belum terbiasa vin"

"Lo bisa masukin bola ke ring tapi lo nggak bisa nerima operan dari gua, di pertandingan lo nggak akan kepake yan!"

Vian hanya diam dan menunduk dalam sikap berdirinya, bola yg di lempar vino juga sudah berada jauh darinya.

"Lo harus punya kemauan buat bisa yan, kalo lo terpaksa kaya gini latihan lo selama ini bakal sia-sia!"

"Ambil bolanya, oper ke gua" titah vino, jarinya menunjuk bola di pinggir lapangan.

Vian bergegas mengambilnya dan mengoper ke arah vino, dengan mudah vino menagkapnya.

"Tangkep operan gua, dan coba shoot"

Vian siap pada posisinya, bola melambung dan berhasil vian tangkap meski ragu, ia lanjut menembaknya ke arah ring.

Mereka melakukannya berulang ulang, terkadang vino mempraktekkannya secara langsung agar vian mudah paham.

Vino heran saudaranya mudah menangkap materi pelajaran tapi kenapa dalam hal olahraga ia tak mudah mengerti.

Tak hanya itu mereka juga melakukan permainan berebut bola, dimana yg berhasil memasukkan adalah yg menang.

Beberapa kali vian dapat memasukkan bola ke ring, dalam arti jujur bahwa vino yg sengaja mengalah pada saudarannya itu.

Sudah terhitung lebih dari 1 jam mereka berlatih berdua.

Sekarang keduanya tengah mengistirahatkan diri di pinggir lapangan, tepat di bawah  pohon yg lumayan rindang.

Keringat membasahi pelipis dan baju mereka, terlebih vian yg jarang melakukan olahraga, ia merasa sangat lelah sekarang.

"Minum" vino menyodorkan sebotol air yg ia ambil dari dlm tasnya.

"Thanks"

"Hm"

Hening sejenak melanda saudara kembar itu.

"Gimana persiapan lomba lo?"

"Emm bisa di bilang gua udah cukup siap, tapi ya masih butuh literasi tambahan"

"Lo baca terus, ngk bosen"

"Gua suka baca no, lo tau sendiri lah, jadi ya itu malah buat gua seneng sekalian nambah pengetahuan kan?" Vino hanya mengangguk mengiyakan.

"Lo sendiri gimana? Kalo ngk salah lo ikut 2 lomba, basket sama bela diri"

"Gua sama yg lain udh siap jauh hari"

"No" panggilan itu membuat vino menoleh.

"Gua yakin, seyakin yakinnya bahwa lo pasti bisa bawa piala pulang ke rumah"

"Dan gua yakin mama sama papa pasti bakal bangga banget sama lo, sama apa yg lo udah perjuangin selama ini" binar bahagia terlihat di wajah vian.

Vino hanya diam, yg dikatakan vian ada benarnya, ia berusaha seberat ini juga agar bisa membanggakan kedua orang tuanya.

Di benaknya mungkin selama ini kedua orang tuanya tak terlalu memperhatikan apa yg ia lakukan karna ia tak pernah bekerja dan berlatih sekeras ini.

Berbeda dengan vian, yg apabila mengikuti perlombaan, ia bahkan rela memotong waktu tidurnya untuk membaca dan membaca.

"Lo bener yan, gua kurang berusaha selama ini, mungkin papa sama mama bakal perhatian ke gua kalo gua berjuang lebih keras lagi" tekat vino.

Greppp

Pelukan itu vian layangkan dengan spontan pada saudaranya, pelukan kasih sayang sebagai seorang saudara.

"Lo bisa no, lo pasti bisa, gua bakal selalu dukung lo buat lebih baik kedepannya" ia melepaskan pelukannya.

"Hemm thanks"

"Yoi, oh iya kalo lo menang lo harus janji sama gua" vian menyodorkan jari kelingkingnya.

"Lo harus janji bakal ngajarin gua basket sampe gua bisa se hebat lo"

"Ayolah nooooo"

Jari kelingking mereka saling bergabung, membentuk sebuah janji yg harus di tepati.

Vian bahagia hari ini begitu juga vino, saudara kembar itu menghabiskan waktunya dengan berbagi cerita sehari hari.

Mentari sudah tenggelam cukup lama di balik hamparan pegunungan yg membentang.

Setelah berlatih dengan vian tadi vino lanjut bekerja, banyak orang yg memesan online makanan di restoran tempatnya bekerja.

Jadilah vino harus berangkat bekerja kembali, padahal biasanya jam-jam seperti ini ia sudah beristirahat tenang di apart.

Sudah beberapa makanan ia antar, tersisa satu lagi, alamatnya tak asing baginya, namun ia tak ingat mengapa ia merasa tak asing dengan alamat yg di tuju.

Setelah beberapa menit perjalanan tibalah vino di salah satu rumah di kawasan perumahan yg cukup elit.

Pagar rumah nya tertutup dan belum ada orang yg menunggu pesanannya di luar padahal ia sudah mengirim pesan  tadi.

"Maaf ya mas lama, berapa totalnya" pemilik rumah tampak meminta maaf.

"Jadi 64k mba" jawab vino seadanya.

Ia tak terlalu memperhatikan siapa pembelinya karna terlalu fokus mengambil makanan di jok belakang motornya.

"Ini kembalian nya am... lho vino"

"Hmm"

Vino tau sekarang mengapa ia merasa tak asing dengan alamat rumah ini, ternyata ini alamat rumah selin.

"Udah malem lo masih kerja Vin?"

"Ini pesanan terakhir" vino menyerahkan kantong makanan di tanggannya dan selin menerimanya.

"Makasih"

"Hm"

Setelah menutup bagasi makanan nya vino langsung naik ke atas motornya.

"Gua duluan"

"Iya hati-hati, sampe rumah langsung istirahat Vin, nanti lo sakit"

Motor vino menghilang di telan jalanan yg nampak berbelok, sedangkan selin masih berdiri di tempatnya.

"Itu cowok yg sering kamu galau in" tiba-tiba suara sang bunda mengagetkannya.

"Ishh bunda selin kaget tau" kesal selin, untung makanan di tanggannya tak ia lempar.

"Temen kamu kerja paruh waktu sel?"

"Iya bun"

"Dari kapan?"

"Sekitar 2 bulan lebih bun, kenapa emang?"

"Nggak, bunda cuma kasian, nggak seharusnya kan anak seusia kamu itu sudah bekerja, kalian harusnya masih sibuk dengan waktu belajar dan bermain, bekerja itu biarkan urusan orang tuanya"

"Bunda nggak tau aja, bahkan vino nggak pernah di anggap sama orang tuanya, bahkan dia  kerja karna di usir dari rumah" selin melenggos pergi masuk ke dalam rumah.

Meninggalkan sang bunda yg masih berdiri merenungkan kata-kata anak gadisnya tadi.

Jadi selama ini laki-laki yg sering selin ceritain punya masalah keluarga, tapi dari mana selin tau? Batin sang bunda, tak lama ia ikut masuk.

Di lain posisi vino sampai di restoran tempatnya bekerja, sekarang sudah waktunya tutup, banyak pegawai yg sibuk bersih-bersih.

Lonceng berbunyi pertanda ada seseorang yg baru saja masuk, dan tentu saja itu vino.

"Vin, gimana aman kan?" Tanya seorang laki-laki yg sedang mengelap meja.

"Aman bang"

"Kalo gitu lo sekarang pulang aja, udah malem juga, dari siang kan lo belum balik"

"Hem, gua ambil tas dulu" vino pergi mengambil tasnya dan kembali.

"Thanks buat kerja keras lo hari ini, balik duluan sana, anak sekolah juga" gurau nya.

"Gua balik bang" vino berjalan keluar meninggalkan terangnya lampu restoran menuju gelapnya suasana malam.

Terkadang vino berpikir, ia ingin sekali menjadi anak yg berperilaku se umurannya, anak yg masih suka bermain, dan mendapat kasih sayang dari orang tuanya.

Tapi vino sadar, dirinya berbeda dan tak akan ada yg mau bertukar dan berada di posisinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!