Bab 7

"Hangga.“

“Hemm.”

“Apa suatu hari nanti kita bisa menikah?” tanya Nata menatap lekat lelaki pujaannya.

Hangga tertegun mendengar pertanyaan Nata. Ia teringat kalimat yang diucapkan Harum pagi tadi. Menikahi orang yang dicintai adalah harapan, tetapi mencintai orang yang dinikahi adalah kewajiban.

Sesungguhnya ia pun sangat ingin menikahi Nata. Akan tetapi, rasanya tiada jalan bagi mereka untuk bisa hidup bersama dalam ikatan halal pernikahan.

Hangga tidak mungkin mengorbankan keyakinannya agar bisa menikahi gadis itu. Dan ia pun tidak akan pernah memaksakan Nata untuk mengikuti keyakinannya. Ditambah kedua orangtua Hangga yang tidak mau memberikan restu. Membuat hubungannya dengan Nata menjadi semakin pelik.

Akan dibawa ke mana hubungan cintanya nanti, Hangga pun tidak tahu.

Yang pasti, ia tidak sanggup jika harus memutuskan hubungan cintanya dengan Nata sekarang, atau entah sampai kapan. Terbayang bagaimana hari-harinya akan begitu nelangsa tanpa cinta Nata.

Hangga sangat mencintai perempuan asli Manado yang berdarah Chinese itu. Ia akan tetap bertahan sampai akhir takdir cinta mereka berujung. Dan berharap semoga takdir cintanya bersama Nata akan indah.

Lalu kini ada sosok Harum yang hadir sebagai istri. Entah bagaimana jadinya jika Nata mengetahui bahwa dirinya telah menikah. Pasti gadis cantik itu akan marah, membenci, lalu meninggalkannya.

Seketika rasa penat menggeliat di kepala Hangga.

“Hangga, apakah nanti kita bisa menikah?” Gadis dengan rambut dicat warna tembaga itu mengulang pertanyaannya.

“Let it flow, Nata. Menikah atau tidak, kita tetap saling mencinta.” Hangga memberikan jawaban diplomatis.

“Apakah kita hanya ingin saling mencintai tanpa ingin saling memiliki?”

Hangga kembali tertegun mendengar pertanyaan kekasihnya. Kata orang, cinta itu tidak harus memiliki.

Omong kosong.

Mana mungkin cinta, tetapi tidak ingin memiliki. Jika ada orang yang berpendapat demikian, mungkin cintanya memang tidak cukup besar, sehingga lebih memilih untuk menyerah dan tidak memiliki.

Atau ungkapan cinta tidak harus memiliki adalah hanya untuk orang yang mencintai, tetapi tidak dicintai.

Hal tersebut jelas tidak berlaku pada Hangga, karena ia tahu betul Nata sangat mencintainya. Malah terkadang cintanya Nata berlebihan dan cenderung posesif.

Lalu, bagaimana dengan Hangga? Seberapa besar cintanya pada Nata? Tentu cintanya sangat besar untuk Nata. Tidak ada wanita lain di atas bumi ini yang ia inginkan kecuali Nata.

Sungguh, ia sangat menginginkan Nata. Memilikinya sepenuh jiwa dan raga. Membayangkan gadis itu yang akan dilihatnya saat awal pagi membuka mata dan saat akhir malam menjelang tidur. Semuanya pasti akan terasa lebih indah jika bersama Nata.

Hanya dengan Nata.

Akan tetapi, kisah percintaannya dengan Nata sangat rumit. Tembok penghalang mereka sangat tebal, kuat dan tinggi.

Secinta-cintanya Hangga pada Nata, ia lebih mencintai Sang Pemilik kehidupannya lebih dari apa pun.

Ah, kenapa kisah cintanya begitu rumit.

Sangat rumit.

“Permisi, ini pesanannya.” Seorang pelayan datang membawakan menu santap siang yang telah dipesan oleh Hangga.

“Makasih, Mbak,” ucap Hangga setelah pelayan itu selesai menghidangkan makanan.

“Sama-sama, selamat menikmati.”

“Ayo, makan dulu. Aku udah laper banget nih.” Hangga hendak mencomot seiris timun, namun segera ditepis oleh tangan mulus Nata.

“Cuci tangan dulu!” titah Nata sembari memukul pelan punggung tangan Hangga. “Kebiasaan!”

“Hehehe ... Maaf, Sayang, khilaf,” sahut Hangga cengengesan.

“Khilaf kok sering.”

“Hehehe. Ayo lah kita cuci tangan bareng,” ajak Hangga. Nata mengangguk menyetujui ajakan Hangga.

Keduanya hendak turun dari saung tempat mereka duduk ketika terdengar alunan lagu poco poco dari ponsel Nata. Dering ponsel itu membuat Hangga dan Nata kembali duduk di tempatnya.

“Bentar ya, ada telepon,” kata Nata. Lalu segera menjawab panggilan dari nomor kantor tersebut. Riak wajah Nata seketika cerah semringah saat menjawab telepon tersebut.

“Siapa yang telpon?” Hangga bertanya tanpa mengeluarkan suara, hanya dengan menggerakkan mulut saja. Ia merasa penasaran sebab kekasihnya itu tampak begitu senang menjawab panggilan tersebut.

Nata meletakkan telunjuk di bibir, memberi isyarat agar Hangga tidak bersuara.

“Baik, Bu. Saya akan datang besok. Saya senang sekali mendapat kabar ini. Terima kasih banyak,” ujar Nata mengakhiri panggilan teleponnya.

“Sayang, puji Tuhan, aku diterima kerja.” Nata menghambur ke dalam pelukan Hangga. “Aku seneng banget,” ujarnya riang.

Mmmucah, mmmucah.

Dua buah kecupan mendarat di pipi Hangga kanan dan kiri. Hangga turut semringah dibuatnya.

“Alhamdulilah. Diterima kerja di mana, Yang?” tanya Hangga.

“Di sini, dong,” jawab Nata.

“Di sini?” lontar Hangga dengan kening mengerut.

“Iya. Di Tangerang. Aku 'kan udah lama masukin lamaran ke Bank xxx di sini. Baru dapat panggilan sekarang."

“Pulang pergi?”

“Enggak lah. Masa iya pulang pergi Jakarta Tangerang. Aku nanti cari kontrakan di sini. Yang dekat rumahmu kalau bisa, biar kita bisa lebih dekat ‘kan. Kita bisa sering ketemu nantinya. Dan aku bisa sering-sering main ke rumah kamu,” kata Nata dengan senyum mengembang.

“Oh, gitu.” Riak wajah Hangga tampak gelisah.

Jika saja Hangga belum menikah, kondisi ini tentu membuatnya bahagia. Berdekatan dengan Nata dan bisa bertemu gadis itu setiap hari tanpa ada bentang jarak 36km yang memisahkan Tangerang – Jakarta.

Namun, kini ia telah menikah dengan Harum. Berdekatan dengan Nata memungkinkan tumbuhnya masalah-masalah pelik di kemudian hari. Begitu pikirnya.

“Kenapa, Yang? Kamu enggak seneng aku kerja di sini dekat kamu?” tukas Nata.

“Oh, aku seneng kok. Tapi, bagaimana dengan Oma di Jakarta?”

“Aku udah izin kok sama Oma, dan beliau mengizinkan. Di rumah Oma ‘kan ada tante aku, ada sepupu-sepupu aku. Jadi, enggak perlu mengkhawatirkan Oma. Banyak yang bisa menjaga Oma di sana,” tutur Nata.

Hangga mangut-mangut mendengar penuturan Nata. “Ayo, kita cuci tangan!” ajaknya pada Nata.

Usai acara santap siang bersama Nata, Hangga kembali ke kantornya. Sementara Nata pergi ke rumah salah seorang temannya yang bertempat tinggal tidak jauh dari restoran tempat mereka santap siang tadi. Tentu saja dengan diantar Hangga.

Hangga berpesan agar Nata menunggunya. Pulang bekerja nanti, ia berjanji untuk mengantarkan Nata pulang ke rumah omanya di Jakarta.

Setelah menikah, biasanya Hangga memilih untuk berlama-lama di kantor. Mengerjakan pekerjaan di kantor terasa lebih menyenangkan daripada cepat-cepat pulang ke rumah dan bertemu Harum. Seringnya, selepas magrib baru ia akan pulang ke rumah.

Namun, kali ini ia memilih untuk pulang cepat, bahkan menolak lembur. Hal itu dikarenakan janjinya pada sang kekasih untuk mengantarkannya pulang.

Pukul 16.20 Hangga sudah meninggalkan kantor lalu bergegas menuju mobilnya. Di dalam mobil ia menelepon Nata dan memintanya untuk bersiap. Agar begitu Hangga sampai nanti, mereka bisa langsung jalan.

Lima belas menit kemudian, mobil yang dikendarai Hangga sampai di kediaman Melly--salah seorang sahabat Nata. Gadis cantik berwajah oriental itu sudah menunggu di depan teras rumah Melly saat mobil Hangga sampai di sana.

Hangga melambaikan tangan pada kekasihnya itu. Nata berpamitan pada Melly, lalu lekas menghampiri Hangga yang tetap duduk di belakang kemudi, tanpa berniat turun.

“Langsung jalan nih?” tanya Nata.

“Iya, langsung jalan aja, biar enggak kemalaman,” jawab Hangga.

“Oke.” Nata masuk ke dalam mobil, duduk di kursi penumpang depan bersama Hangga.

“Hangga, enggak mau mampir dulu nih?” seru Melly dari tempatnya berdiri.

“Enggak, Mel, kapan-kapan aja deh,” balas Hangga dengan sedikit berteriak karena jarak di antara mereka. “Thanks ya, udah jagain Nata,” serunya lagi.

Melly menjawab dengan mengacungkan jempol tangannya. “Oke.”

Tiba-tiba Melly teringat sesuatu. Kemudian berlari kecil menuju mobil Hangga. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada kekasih sahabatnya itu.

“Oya, Ga. Gue waktu itu jalan ke Anyer sama Jeremi,” ujar Melly.

“Oya, kapan?” lontar Hangga.

Jeremi adalah kekasih Melly dan juga salah seorang teman Hangga saat berkuliah dulu.

“Sekitar dua minggu yang lalu, pas hari Minggu. Terus pulang dari Anyer, kita muter-muter Cilegon. Jeremi telepon lu, tapi nomor lu enggak aktif. Tadinya kalau lu lagi mudik, kita mau mampir gitu.”

“Sebentar, dua minggu yang lalu gue pulang enggak ya. Emm ....” Hangga berusaha mengingat masa dua minggu yang lalu.

“Tapi akhirnya kita tetap lewat rumah lo, karena Jeremi pengen kasih tahu rumah orangtua lu ke gue. Waktu itu rumah lu lagi rame banget, kayak lagi ada acara nikahan," ujar Melly lagi saat Hangga masih sibuk mengingat.

Hangga merasa bodoh sendiri. Betul, dua minggu yang lalu adalah hari pernikahannya dengan Harum.

“Nikahan siapa, Ga?”

"Nikahan siapa, Yang?" tanya Melly dan Nata berbarengan.

Terpopuler

Comments

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

semoga ga nyesel ntar nya hangga

2023-03-06

0

Safitri Agus

Safitri Agus

ga bisa jawab kan,

2022-12-21

2

Najwa Aini

Najwa Aini

Nah lo mau jawab apa Hangga

2022-11-11

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1
2 Bab 2
3 Bab 3
4 Bab 4
5 Bab 5
6 Bab 6
7 Bab 7
8 Bab 8
9 Bab 9
10 Bab 10
11 Bab 11
12 Bab 12
13 Bab 13
14 Bab 14
15 Bab 15
16 Bab 16
17 Bab 17
18 Bab 18
19 Bab 19
20 Bab 20
21 Bab 21
22 Bab 22
23 Bab 23
24 Bab 24
25 Bab 25
26 Bab 26
27 Bab 27
28 Bab 28
29 Bab 29
30 Bab 30
31 Bab 31
32 Bab 32
33 Bab 33
34 Bab 34
35 Bab 35
36 Bab 36
37 Bab 37
38 Bab 38
39 Bab 39
40 Bab 40
41 Bab 41
42 Bab 42
43 Bab 43
44 Bab 44
45 Bab 45
46 Bab 46
47 Bab 47
48 Bab 48
49 Bab 49
50 Bab 50
51 Bab 51
52 Bab 52
53 Bab 53
54 Bab 54
55 Bab 55
56 Bab 56
57 Bab 57
58 Bab 58
59 Bab 59
60 Bab 60
61 Bab 61
62 Bab 62
63 Bab 63
64 Bab 64
65 Bab 65
66 Bab 66
67 Bab 67
68 Bab 68
69 Bab 69
70 Bab 70
71 Bab 71
72 Bab 72
73 Bab 73
74 Bab 74
75 Bab 75
76 Bab 76
77 Bab 77
78 Bab 78
79 Bab 79
80 Bab 80
81 Bab 81
82 Bab 82
83 Bab 83
84 Bab 84
85 Bab 85
86 Bab 86
87 Bab 87
88 Bab 88
89 Bab 89
90 Bab 90
91 Bab 91
92 Bab 92
93 Bab 93
94 Bab 94
95 Bab 95
96 Bab 96
97 Bab 97
98 Bab 98
99 Bab 99
100 Bab 100
101 Bab 101
102 Bab 102
103 Bab 103
104 Bab 104
105 Bab 105
106 Bab 106
107 Bab 107
108 Bab 108
109 Bab 109
110 Bab 110
111 Bab 111
112 Bab 112
113 Bab 113
114 Bab 114
115 Bab 115
116 Bab 116
117 Bab 117
118 Bab 118
119 Bab 119
120 Bab 120
121 Bab 121
122 Extra part
123 Extra part 2
124 Extra part 3
125 Extra part 4
126 Sekilas Tentang Inara
127 Extra part Inara 2
128 128
129 129
Episodes

Updated 129 Episodes

1
Bab 1
2
Bab 2
3
Bab 3
4
Bab 4
5
Bab 5
6
Bab 6
7
Bab 7
8
Bab 8
9
Bab 9
10
Bab 10
11
Bab 11
12
Bab 12
13
Bab 13
14
Bab 14
15
Bab 15
16
Bab 16
17
Bab 17
18
Bab 18
19
Bab 19
20
Bab 20
21
Bab 21
22
Bab 22
23
Bab 23
24
Bab 24
25
Bab 25
26
Bab 26
27
Bab 27
28
Bab 28
29
Bab 29
30
Bab 30
31
Bab 31
32
Bab 32
33
Bab 33
34
Bab 34
35
Bab 35
36
Bab 36
37
Bab 37
38
Bab 38
39
Bab 39
40
Bab 40
41
Bab 41
42
Bab 42
43
Bab 43
44
Bab 44
45
Bab 45
46
Bab 46
47
Bab 47
48
Bab 48
49
Bab 49
50
Bab 50
51
Bab 51
52
Bab 52
53
Bab 53
54
Bab 54
55
Bab 55
56
Bab 56
57
Bab 57
58
Bab 58
59
Bab 59
60
Bab 60
61
Bab 61
62
Bab 62
63
Bab 63
64
Bab 64
65
Bab 65
66
Bab 66
67
Bab 67
68
Bab 68
69
Bab 69
70
Bab 70
71
Bab 71
72
Bab 72
73
Bab 73
74
Bab 74
75
Bab 75
76
Bab 76
77
Bab 77
78
Bab 78
79
Bab 79
80
Bab 80
81
Bab 81
82
Bab 82
83
Bab 83
84
Bab 84
85
Bab 85
86
Bab 86
87
Bab 87
88
Bab 88
89
Bab 89
90
Bab 90
91
Bab 91
92
Bab 92
93
Bab 93
94
Bab 94
95
Bab 95
96
Bab 96
97
Bab 97
98
Bab 98
99
Bab 99
100
Bab 100
101
Bab 101
102
Bab 102
103
Bab 103
104
Bab 104
105
Bab 105
106
Bab 106
107
Bab 107
108
Bab 108
109
Bab 109
110
Bab 110
111
Bab 111
112
Bab 112
113
Bab 113
114
Bab 114
115
Bab 115
116
Bab 116
117
Bab 117
118
Bab 118
119
Bab 119
120
Bab 120
121
Bab 121
122
Extra part
123
Extra part 2
124
Extra part 3
125
Extra part 4
126
Sekilas Tentang Inara
127
Extra part Inara 2
128
128
129
129

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!