NovelToon NovelToon

Satu Biduk Dua Cinta

Bab 1

“Saya terima nikah dan kawinnya Nata ....”

““Hush. Hangga!” tegur perempuan paruh baya yang duduk di belakang sang mempelai pria.

Ini adalah teguran kali kedua kepada pria yang mengenakan jas pengantin warna putih tersebut. Sesaat sebelumnya, pria yang dipanggil Hangga itu pun telah salah mengucap nama sang pengantin wanita.

Bahkan, yang pertama tadi, sang mempelai pria menyebut nama wanita asing itu dengan lengkap. Natalia Friska, begitu tadi ia menyebutnya dalam lafal kabul.

“Harum Lestari binti Abdul Manaf. Kamu harus fokus, Hangga!” bisik perempuan paruh baya yang mengenakan kebaya model hijab. Perempuan yang tidak lain adalah ibunda sang mempelai pria.

“Astagfirulloh.” Pria tampan itu berucap lirih seraya mengusap wajahnya.

“Kita ulang sekali lagi ya,” sela penghulu.

“Mempelai pria dimohon untuk konsentrasi. Boleh tarik napas dulu biar lebih tenang dan tidak grogi. Jangan lupa baca taawuz dan basmalah dalam hati.” Penghulu itu berpesan lagi.

Beberapa tamu yang menghadiri acara sakral tersebut saling berbisik. Tentu saja kesalahan sang mempelai pria dalam menyebutkan nama sang mempelai wanita menjadi topik menarik sebagai bahan gibah.

Jika salah menyebut nama dari Ana ke Ani mungkin biasa, barangkali terpeleset lidah. Akan tetapi, bagaimana bisa nama Harum terpeleset menjadi Natalia.

Sementara di dalam kamar dengan dekorasi penuh bunga khas kamar pengantin, seorang gadis yang mengenakan kebaya pengantin warna putih lengkap dengan jilbabnya tengah duduk murung sembari menjalin jari-jemari. Senyum sumringahnya sontak memudar kala mendengar sang calon imam salah menyebutkan namanya dalam ijab kabul.

Dadanya mendadak sesak bagai dililit puluhan tali tambang. Buncah-buncah bahagia di hati meredup seketika. Berganti dengan rasa galau, resah dan gelisah.

Hatinya bertanya-tanya tentang siapakah perempuan yang disebutkan namanya oleh pria yang sebentar lagi resmi menjadi suaminya itu.

Harum Lestari adalah nama sang mempelai pengantin wanita. Telah menjadi yatim piatu sejak usia tujuh tahun. Kisahnya semakin nelangsa saat sebulan yang lalu neneknya meninggal dunia. Nenek adalah satu-satunya keluarga yang ia punya setelah kehilangan kedua orangtua kandungnya.

Takdir Ilahi membuatnya sebatang kara. Saat ia merasa menjadi manusia paling nelangsa, Bu Mirna—pemilik kedai tempat ia bekerja, datang memberikan embusan angin surga. Wanita paruh baya itu datang bersama suami dan anak laki-laki semata wayangnya, Hangga Yudistira.

Tanpa diduga, Bu Mirna dan suaminya—Pak Hendra datang untuk meminangnya. Meminta Harum agar mau menikah dengan Hangga, putra mereka satu-satunya.

Harum sempat tak mempercayai tentang keinginan Bu Mirna dan Pak Hendra. Namun, saat melihat Hangga yang duduk di hadapannya melemparkan senyum dan menganggukkan kepala, seolah membenarkan serta mendukung pinangan kedua orangtuanya, Harum akhirnya menyetujui dan menerima pinangan keluarga Hangga.

Mana mungkin Harum menolak Hangga, jika kenyataannya selama ini ia telah memendam rasa pada pria tampan berkulit coklat terang khas Indonesia itu. Entah rasa apa yang dirasakannya, ia tidak tahu pasti. Apakah sekedar kagum, naksir atau justru jatuh cinta. Ia sungguh tidak mengerti. Yang jelas jantungnya selalu berdegup tidak teratur semisal tidak sengaja berpapasan dengan pria yang telah dikenalnya sejak kecil itu.

Harum tidak akan pernah lupa kejadian saat kecil dulu. Ia yang saat itu masih duduk di bangku kelas 4 SD terjebak hujan saat petang sepulang kegiatan Pramuka.

Petir yang menyambar menggelegar membuat Harum ketakutan. Tubuh kecil Harum meringkuk di atas sebuah gazebo di depan pelataran sebuah rumah dekat sekolahnya. Rumah tersebut terhitung paling mewah di kampungnya.

Ia hampir saja menangis sebab teramat takut ketika seorang anak laki-laki dengan membawa payung datang menghampirinya lalu mengajaknya masuk ke dalam rumah.

Setelah hujan reda, baru anak laki-laki itu mengantarnya pulang.

Anak laki-laki berwajah tampan itu adalah Hangga. Saat itu Hangga sudah duduk di bangku SMP. Informasi tersebut diketahui Harum karena beberapa kali berpapasan dengan Hangga yang memakai celana seragam warna biru.

Sejak saat itu, Harum sudah mengagumi Hangga yang usianya terpaut lima tahun dengannya.

Keluarga Harum dan keluarga Hangga tinggal di satu kampung yang sama, meskipun jarak rumah mereka cukup jauh karena berbeda RT.

Sejak kecil Harum sudah merasakan kebaikan keluarga Hangga. Bu Mirna dan Pak Hendra—orangtua Hangga, rutin memberikan bantuan finansial kepada neneknya.

Saat duduk di bangku SMA, Harum yang ingin mendapatkan uang tambahan untuk membantu kehidupannya bersama sang nenek, diizinkan untuk bekerja di kedai sop duren milik Bu Mirna.

Bahkan selepas tamat SMA, ibunda Hangga itu juga menyuruhnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah. Bu Mirna memberikan kelonggaran waktu kerja kepadanya agar dapat kuliah sambil bekerja. Bu Mirna juga banyak membantu biaya kuliahnya.

Terkadang Harum merasa heran kenapa Bu Mirna baik sekali kepadanya. Ia pernah bertanya hal itu kepada sang nenek. Nenek hanya menjelaskan jika Bu Mirna adalah sahabat almarhumah ibunya. Sehingga tak salah jika Bu Mirna begitu menyayanginya seperti anaknya sendiri.

Namun, anggapan itu ter patahkan saat Bu Mirna meminangnya untuk Hangga, sang putra tercinta.

“Rum!” Tepukan lembut di pundak, memberaikan lamunan Harum.

"Sudah sah loh, Rum!” seru Nina dengan senyum lebar, selebar jidatnya. Syukur saat ini Nina—sahabat Harum itu memakai jilbab sehingga jidat yang selebar lapangan tenis itu tidak tampak.

“Hah?” Harum terperangah. Rasa syok yang mendera membuat dirinya tidak fokus. Syok karena mendengar Hangga menyebutkan nama wanita lain saat ijab kabul.

“Kamu enggak dengar ya pas tadi ijab kabul?” lontar Nina.

Harum bergeming menatap sahabatnya itu. Ia tengah menerka-nerka apakah Nina juga mendengar saat Hangga salah menyebut nama wanita yang akan dinikahinya.

Semoga saja tidak.

Kalau iya, rasa malunya melebihi luas Maluku pastinya.

Harum seketika merasa menjadi pengantin wanita paling menyedihkan. Sungguh menyedihkan dan ... memalukan.

“Rum, kamu sudah sah jadi Nyonya Hangga loh. Ciye, ciye,” goda Nina. “Ayo senyum!” Gadis itu mencolek dagu Harum. Refleks bibir Harum melengkung mengukir senyum.

Bukankah pengantin harus banyak senyum.

“Ayo, pengantin wanitanya boleh keluar sekarang,” ujar seorang ibu muda sambil melonggokkan kepalanya di pintu kamar pengantin.

Harum tidak begitu mengenal ibu muda tersebut, ia hanya tahu bahwa wanita itu adalah salah satu keluarga Hangga.

Wajar jika ia tidak mengenal satu per satu dari keluarga besar Hangga, sebab tidak ada proses penjajakan maupun pacaran sebelum terjadinya pernikahan.

Boleh dibilang ini adalah pernikahan dadakan. Sekaligus juga, pernikahan perjodohan.

“Ayo, Rum!” Nina berdiri dan meraih tangan Harum. Mau tidak mau, Harum turut berdiri.

Oke Harum, keep positif thinking, tidak usah baperan. Belum tentu nama wanita yang disebutkan Hangga tadi adalah siapa-siapanya Hangga. Bisa jadi wanita itu hanya ...

Ah, sudahlah. Semangat Harum. Gumam gadis itu menyemangati diri sendiri.

Bab 2

Harum mengembuskan napas lega saat kemeriahan pesta akhirnya usai. Ternyata begini rasanya menjadi ratu sehari. Tidak se-menakjubkan yang dibayangkannya.

Menjadi pengantin ternyata didera segala macam rasa. Pusing, penat, mual dan lelah adalah kombinasi rasa yang dirasakannya hari ini.

Mulai dari inner kerudung yang membungkus ketat kepala dan membuatnya pening dan kesakitan. Ditambah siger yang menambah beban berat kepalanya. Belum lagi aroma wangian khas make-up yang siang tadi membuatnya "mabuk" dan hampir pingsan.

Maklum saja, ia jarang bersentuhan dengan berbagai macam jenis make-up. Harum alergi dengan aroma percantik wajah yang terlalu harum.

Berdiri seharian di kursi pelaminan sembari menebar senyum untuk menyalami para tamu undangan ternyata sangat melelahkan. Ia tersenyum sendiri mengingat masa kecilnya dulu yang jika ditanya, “Harum cita-citanya menjadi apa?”

Dan Harum kecil akan menjawab, “mau jadi pengantin.”

Kini cita-citanya telah tercapai di usianya yang menginjak 21 tahun. Tepat sebulan setelah ia merampungkan pendidikan Program Studi Akuntansi D-III dan mendapat gelar Ahli Madya (A.md) sekaligus juga kehilangan sang nenek tercinta.

Menjadi pengantin dan bersanding bersama pria yang sudah dikaguminya sejak dulu, sedikit mengurangi rasa sedih ditinggal sang nenek tercinta untuk selama-lamanya.

Jika saja Nenek bisa menyaksikan pernikahannya ini, Harum yakin, beliau akan sangat bahagia. Sebab Neneklah satu-satunya orang yang mengetahui kalau Harum menyukai putra Bu Mirna itu sejak lama.

Seketika wajah Harum merona saat mengingat statusnya sebagai pengantin baru. Semburat merah di pipi semakin nyata kala mengingat ini adalah malam pertamanya.

“Rum.” Beruntung panggilan Bu Mirna memusnahkan pikirannya tentang malam pertama. Sebelum angannya bertamasya ke mana-mana.

“Iya, Bu.” Harum yang baru selesai membersihkan riasan di wajah sontak berdiri.

“Kalau mau mandi, handuknya ada di lemari itu,” ujar sang mertua dengan ramah. Harum menyahut dengan sopan pula.

Resepsi pernikahan tadi memang dilaksanakan di rumah keluarga Hangga. Bu Mirna sengaja tidak memilih gedung untuk resepsi putranya dengan pertimbangan agar para warga kampung sekitarnya bisa datang untuk menghadiri kebahagiaan keluarga mereka.

Seminggu sebelum acara, Harum yang sebatang kara sudah diboyong ke rumah keluarga Hangga. Sementara Hangga sendiri tinggal di rumah lain milik orangtuanya yang berada di sebuah perumahan tidak jauh dari kampung tempat tinggal orangtuanya. Keluarga suaminya itu termasuk keluarga berada yang memiliki beberapa aset rumah.

“Hangga ke mana, Rum?” Pertanyaan yang terlontar setelah pandangan Bu Mirna menyapu setiap sudut ruang kamar penuh bunga dan tidak mendapati keberadaan sang putra di kamar itu.

“Sepertinya Hangga masih ada temannya di depan.” Bu Mirna menjawab sendiri pertanyaannya diiringi seulas senyum.

Harum balas tersenyum pada Bu Mirna.

Sesaat kemudian ia baru menyadari bahwa dalam acara sakralnya tadi, tak ada satu pun teman sekolah Hangga yang menjadi tamu undangannya.

Harum lumayan mengenal teman-teman sekolah Hangga karena dulu neneknya berjualan gorengan di sekolah Hangga. Setiap pulang sekolah, Harum sering berada di sana membantu neneknya.

Sedangkan teman-teman kuliah Hangga, Harum tidak mengenal karena Hangga kuliah di Jakarta.

Sepanjang acara tadi, tidak tampak keakraban Hangga bersama tamunya. Sepertinya tamu undangan hanya keluarga dan kenalan kedua orangtua Hangga saja.

“Kamu sudah makan, Rum?” tanya Bu Mirna penuh perhatian.

“Sudah, Bu.”

“Di dapur orang-orang lagi makan mi instan. Kalau kamu mau mi instan juga, nanti ibu bilang Jenah buatkan untuk kamu,” tawar ibu mertua Harum.

“Enggak usah, Bu. Nanti kalau mau, biar saya masak sendiri,” tolak Harum santun.

“Oh, ya sudah kalau begitu.” Bu Mirna terdiam sejenak sembari menatap Harum. “Ibu bahagia akhirnya Hangga menikah dengan kamu. Semoga kamu juga bahagia ya, Rum,” lanjutnya.

Kalimat yang dilontarkan Bu Mirna sebelum meninggalkan kamar membuat hati Harum menghangat.

Harum merasa takdirnya sangat indah. Tak ada yang lebih indah dari takdir jodoh selain dapat bersanding dengan orang yang kita inginkan. Ditambah perlakuan sang mertua yang begitu baik kepadanya. Tentu saja itu adalah hal luar biasa.

Tidak berlama-lama, Harum pergi untuk membersihkan tubuh. Usai mandi, ia kembali ke kamar. Belum ada keberadaan Hangga di kamar pengantin itu. Ia sependapat dengan ucapan mertuanya beberapa saat tadi, bahwa Hangga mungkin masih sibuk dengan tamunya.

Harum duduk dengan punggung bersandar pada kepala ranjang. Bermain ponsel sebentar sekedar membalas beberapa pesan masuk dari teman-temannya. Pesan yang sebagian besar adalah ucapan selamat menempuh hidup baru serta doa dan harapan semoga rumah tangganya sakinah mawadah warahmah.

Hingga Pukul 23.30 belum tampak Hangga masuk ke kamar tersebut. Jangankan raganya, suara Hangga pun tidak terdengar di telinga Harum.

Di depan cermin, Harum menyisir rambut panjang, hitam nan indah miliknya. Hatinya sedikit merasa resah dan gelisah atas ketidakhadiran Hangga di kamar tersebut.

Hingga kemudian matanya tak dapat lagi bertahan untuk tetap terjaga. Ia ngantuk berat dan ingin segera tidur.

Sebelum pergi ke tempat tidur, Harum mengambil jilbab instan warna coklat susu dari dalam lemari lalu memakainya. Minimnya komunikasi dan intensitas pertemuan antara dirinya dan Hangga, membuat Harum masih malu-malu jika harus membuka aurat di depan pria yang sudah sah menjadi suaminya itu. Begitu yang ada di benak Harum.

Dengan memakai piyama muslimah bahan rayon lengkap dengan jilbabnya, Harum merebahkan tubuh lalu memejamkan mata. Rasa lelah mengiringi jiwanya menuju alam mimpi.

*

Pukul 03.30 dini hari, Hangga mengayun langkah tidak semangat, masuk ke kamar pengantinnya. Dilihatnya perempuan yang seharian tadi berdiri bersamanya di pelaminan telah tertidur lelap.

Usai pesta pernikahan yang sederhana menurut ukurannya, Hangga pulang ke rumah tempat ia menginap selama dua hari ini. Rumah milik orangtuanya yang ia tempati dalam masa pingitan. Begitu kata sang ibunda.

Sejujurnya, Hangga ingin menginap di rumah itu daripada harus keki menghadapi malam pertama dengan perempuan yang tidak dicintainya. Namun, karena mengingat sang ibunda, ia membatalkan niatnya lalu bergegas pulang ke rumah orangtuanya. Dan tentu saja menuju kamar pengantinnya.

Ia dapat bernapas lega kala melihat gadis yang tadi pagi dihalalkan melalui ijab kabul telah tertidur pulas.

Hangga berjalan pelan mendekati Harum, perempuan yang kini telah menjadi istrinya. Menatap wajah Harum, ada sebuah gundah yang menggantung di hati. Akan seperti apa nanti hari-hari ke depannya? Bagaimana nanti ia harus bersikap?

Menjalani rumah tangga bersama perempuan yang tidak dicintai, tidak pernah terlintas sekalipun dalam benaknya.

Apa yang akan dikatakannya nanti pada Natalia Friska Wayong, perempuan cantik yang telah enam tahun menjalani hari-hari penuh cinta bersama Hangga. Bahkan detik ini atau sampai kapan pun, cintanya tak mungkin berpaling pada gadis berwajah oriental itu.

Bagaimana ia dapat melepas Nata, sementara Nata adalah dunianya. Nata adalah bahagianya.

Hangga masih berdiri memandang gadis berjilbab yang berwajah ayu itu. Sesungguhnya hati Hangga pun mengakui jika Harum adalah gadis yang ayu. Cantiknya khas Indonesia. Akan tetapi, bagi Hangga, Nata tentu lebih cantik. Jauh lebih lebih cantik.

Bukankah definisi cantik bagi setiap orang adalah berbeda. Setiap pria memiliki selera masing-masing dalam mendefinisikan kata ‘cantik’.

Entah mengapa Hangga lebih menyukai perempuan berwajah oriental bak artis Korea. Hal itu ia temukan pada diri Natalia Friska Wayong. Gadis berkulit putih mulus bersinar, hidung kecil tapi mancung, tubuh ramping dan tinggi. Gadis berdarah Chinese Manado itu telah membuat Hangga tergila-gila.

Parasnya mendekati kecantikan Song Hye Kyo, artis Korea tercantik menurutnya. Di mata Hangga, Nata adalah titisan dewi kecantikan.

Hangga mengusap wajahnya frustrasi saat ingatannya berlabuh pada Nata, kekasihnya.

Bu Mirna tidak pernah merestui hubungan cintanya dengan Nata karena tembok penghalang yang tebal di antara mereka. Secinta-cintanya ia pada Nata, tetap saja ia lebih cinta pada Sang Pemilik Kehidupannya.

“Tujuan pernikahan itu tidak hanya untuk hidup bersama di dunia, tetapi juga menyiapkan untuk kehidupan di akhirat nanti. Bagaimana kalian bisa menjalani pernikahan sejalan dan seirama, jika Tuhan kalian saja berbeda.” Begitu yang selalu diucapkan Bu Mirna kala menentang kisah cintanya dengan Nata.

“Menikahlah dengan Harum. Hidup ibu akan bahagia dan tenang jika kamu menikah dengannya.” Untuk ke sekian kali, Bu Mirna mengutarakan permintaannya.

Hangga tak mampu lagi menolak saat wanita pengantar kehadirannya ke dunia itu menangis memohon. Dengan kondisi tubuh lemah dan tangan terinfus, sang ibu meminta Hangga untuk menikahi Harum.

Dan hari ini resmilah ia sebagai suami Harum, gadis yang sudah dikenalnya sejak kecil dan tidak ada sedikit pun rasa ketertarikan kepadanya layaknya seorang pria terhadap wanita. Kalau pun ia menyukai Harum, hanya sebatas sesama makhluk ciptaan Tuhan.

Tidak lebih.

Karena ia tahu dan sangat mengenal, bahwa Harum adalah gadis baik-baik.

.

.

.

.

Bab 3

Harum membuka mata saat terdengar suara decit pintu. Ia mengerjapkan mata beberapa kali sebelum menoleh ke arah suara berasal dan mendapati Hangga yang membuka pintu.

Pria yang telah menjadi suaminya itu memakai celana panjang warna moka dipadukan kaos oblong warna hitam. Entah kapan Hangga mengganti pakaiannya.

Hangga mendekati tempat tidur untuk mengambil sebuah bantal. Lalu membawa bantal itu ke atas sofa panjang di sudut kamar. Tampak sekali wajah kusut Hangga. Membuat Harum merasa bersalah sendiri. Merasa bersalah karena telah tertidur lebih dulu tanpa menunggu sang suami di malam pertamanya.

Harum mengira wajah mendung Hangga karena dirinya yang tertidur duluan.

Harum baru akan menyapa Hangga dan berniat meminta maaf. Namun urung sebab Hangga berucap lebih dulu.

“Kalau ibu tanya, bilang saja saya semalam di sini sama kamu.” Hangga berkata seraya menghempaskan tubuhnya di sofa tanpa sekilas pun menatap Harum.

“Kamu dengar saya enggak?” ulang Hangga, sebab tak ada jawaban dari Harum. Kali ini Hangga berucap dengan menatap Harum, meski tubuhnya tetap dalam posisi berbaring di sofa.

“Maksudnya gimana, Mas?” Harum memang tidak paham dengan apa yang diucapkan suaminya barusan.

“Saya enggak mau ibu ngomel-ngomel karena semalam saya ninggalin kamu. Bilang aja, semalam saya di sini sama kamu.”

Harum baru memahami perkataan Hangga saat sorot matanya jatuh pada jam dinding yang tergantung tepat di atas sofa. Benda bulat itu menunjukkan pukul 04.20.

Apakah itu berarti suaminya semalam tidak berada di kamar ini?

“Iya, Mas,” sahut Harum akhirnya.

“Mas Hangga mau tidur? Sebentar lagi subuh loh,” ujar Harum mengingatkan saat Hangga mulai memejamkan mata.

“Bangunin saya nanti jam setengah enam,” pesan Hangga masih dengan mata terpejam.

“Apa kita enggak berjamaah subuh dulu, baru setelah itu Mas tidur,” saran Harum.

Salat berjamaah bersama sang suami adalah salah satu kegiatan yang diimpikannya ketika sudah berumah tangga. Apalagi pria yang diam-diam sudah disukainya sejak dulu adalah yang menjadi imamnya.

Hangga membuka matanya dan menatap Harum dengan tatapan kesal. “Kamu bisa diem enggak? Tolong jangan berisik, saya mau tidur!” sentaknya.

Harum terkesiap beberapa saat. Tidak menyangka Hangga akan menyentaknya. Sentakan Hangga membuat dada Harum sedikit berdenyut nyeri.

Menuruti perintah Hangga, Harum membangunkan pria berwajah manis dengan lesung pipi itu pukul 05.30. Tidak sulit ternyata untuk membangunkan Hangga, hanya mengucap, “Mas Hangga bangun.” Suaminya itu langsung membuka mata, lalu masuk ke kamar mandi.

Harum duduk gelisah di tepi ranjang saat Hangga masih di dalam kamar mandi. Sejujurnya, berdua di kamar bersama Hangga membuat hatinya deg-degan. Maklum saja, Harum yang alim, tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan seorang pria. Ia tidak memiliki banyak teman pria apalagi pacaran.

Beberapa saat kemudian, Harum bangkit dari duduknya. Daripada deg-degan tidak karuan, ia berpikir untuk pergi ke dapur saja. Siapa tahu di sana ada yang bisa dikerjakannya.

Baru Harum melangkah, terdengar pintu kamar mandi terbuka

“Mau ke mana?” tanya Hangga saat Harum sudah memegang kenop pintu hendak keluar kamar.

Harum menoleh ke belakang dan melihat sosok Hangga dengan wajahnya yang basah. Mungkin suaminya itu habis mencuci muka. Pikir Harum.

“Tunggu di sini. Habis ini saya ingin bicara sama kamu,” ujar Hangga sembari menghampar sajadah. Detik itu pula Harum paham jika wajah basah Hangga adalah karena air wudu.

“Iya, Mas.” Harum mengangguk. Kemudian ia duduk di sofa yang ditempati Hangga saat tidur tadi. Bibir ranumnya tersenyum kecil sembari memperhatikan Hangga salat.

Pria yang memakai sarung kotak-kotak warna biru dan atasan kaus yang sama yang dipakai tidur tadi itu sungguh imam idaman. Selain tampan, pria idolanya sejak kecil itu juga rajin beribadah. Betapa beruntungnya ia mendapatkan suami seperti Hangga.

Hangga telah menyelesaikan kewajiban dua rakaatnya. Harum menatap suaminya itu dengan rasa buncah yang memenuhi dada. Hangga yang tengah menengadahkan tangan berdoa itu sungguh tampak menawan di matanya, dan juga ... seksi.

Bagi Harum, pria seksi bukanlah yang memiliki perut kotak-kotak ala roti sobek, atau tubuh atletis bak binaragawan, tetapi pria yang beriman dan takut terhadap Tuhannya.

Percayalah, pria yang takut terhadap Tuhan dijamin akan memperlakukan pasangannya dengan sebaik-baiknya.

“Hey!” tegur Hangga saat melihat perempuan yang memakai jilbab coklat itu duduk melamun.

“Ya.” Harum terkesiap saat tiba-tiba Hangga sudah duduk di sofa yang sama dengannya dengan posisi berjarak. Harum di ujung kanan dan Hangga di ujung kiri. Tidak tampak seperti pasangan pengantin baru, melainkan mirip orang yang tengah musuhan.

“Saya mau, kita pulang hari ini,” ujar Hangga.

“Pulang ke mana, Mas?” tanya Harum kikuk.

“Pulang ke rumah saya lah,” jawab Hangga tegas. “Saya enggak bisa berlama-lama di sini karena besok harus kerja. Makanya saya minta kamu untuk bantu membujuk ibu supaya ibu mengizinkan kita pulang sekarang,” katanya lagi.

Sebenarnya Harum ingin bertanya lebih banyak lagi. ‘Memangnya besok Mas Hangga sudah masuk kerja? Memangnya enggak ada cuti nikah?’

Namun, pertanyaan itu hanya dilontarkan dalam hati.

Melihat raut wajah Hangga yang menyiratkan kekesalan, membuat Harum enggan untuk berbicara banyak.

Ngomong-ngomong Mas Hangga kesal kenapa? Apa karena semalam saya tidur duluan, sehingga malam pertama terlewat begitu saja? Batin Harum bertanya-tanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!