Bab 10

Harum duduk resah menatap layar televisi. Meskipun pandangannya tertuju pada layar, namun hati dan pikirannya sama sekali tidak menyimak acara komedi yang tengah digemari masyarakat tersebut.

Boro-boro mau tertawa, yang ada malah gundah gulana.

Berkali-kali gadis berwajah ayu itu melempar pandang pada penunjuk waktu yang tergantung pada dinding di atas televisi.

Sudah pukul sepuluh lewat lima belas menit, namun seseorang yang ditunggunya belum juga pulang.

Biasanya Hangga pulang saat Harum tengah salat Magrib atau selesai salat Magrib. Paling terlambat adalah ba’da isya sekitar pukul delapan malam.

Harum meraih ponsel yang tergeletak di atas sofa, tepat di samping ia duduk. Memandangi ponsel, ia

berpikir untuk menghubungi sang suami, tetapi tidak memiliki nomornya. Mau meminta nomor Hangga pada sang mertua, sama saja membuka borok pernikahannya.

Pasti mertuanya itu akan bertanya, mengapa bisa seorang istri tidak mengetahui nomor ponsel suaminya?

Ia akan menjawab apa nanti.

Sedangkan Harum meyakini harapan sang mertua pada pernikahannya teramat besar.

Lalu, bagaimana harapan Harum atas pernikahannya?

Entah.

Yang jelas ia akan berusaha lebih keras lagi untuk mendapatkan hati Hangga.

Bukankah banyak kisah pernikahan karena perjodohan yang berujung bahagia seperti kisah novel online yang sering dibacanya. Semoga kisah pernikahannya pun akan seperti itu endingnya. Begitu harapan Harum dalam hati.

Harum bangun dari duduknya saat lamat-lamat terdengar deru mobil. Menyambar jilbab instan yang tersampir di badan sofa, Harum lekas mengayun langkahnya menuju pintu depan.

Rasa sakit akibat keseleo tadi siang sudah membaik, tinggal sedikit saja sakitnya. Pulang dari warung tadi, Harum lekas mengompres kaki yang keseleo dengan es. Kemudian sore harinya, Bu RT yang baik hati itu mengantarnya ke tukang urut langganannya.

Kata Bu RT, sebelum semakin parah, lebih baik segera diurut.

Harum menurut saja. Meskipun ia yakin, dokter pasti tidak menganjurkan langkah tersebut.

Sampai di pintu utama, Harum menyibak sedikit gorden. Hatinya merasa lega sekaligus senang tatkala melihat mobil SUV warna putih milik Hangga sampai di depan rumah.

Harum lekas membuka pintu dan berlari kecil menuju pagar carport yang belum terkunci. Hangga yang hendak turun untuk membuka pagar, membatalkan niatnya karena Harum lebih dulu membuka pagar untuknya. Setelah mobil Hangga terparkir sempurna di carport, Harum mengunci pagarnya.

“Kenapa belum tidur?!” tanya Hangga setelah turun dari mobil. Terdengar seperti bukan sebuah pertanyaan, melainkan omelan.

“Nunggu Mas Hangga,” jawab Harum.

Ia lekas meraih punggung tangan sang suami dan menciumnya. Meskipun sepertinya Hangga enggan untuk diperlakukan seperti itu oleh Harum.

“Lain kali tidak usah menunggu saya. Saya bisa buka pagar sendiri!” ketus Hangga yang memakai kemeja biru tanpa dasi dengan lengan kemeja digulung hingga siku.

Tentu saja penampilannya sangat tampan, meskipun aura kelelahan tampak di wajahnya yang selalu menawan di mata Harum.

“Biar saya bawakan tasnya, Mas,” tawar Harum. Ia memilih untuk tidak menanggapi ucapan Hangga sebelumnya.

“Tidak usah. Terima kasih.” Hangga melenggang masuk ke dalam rumah tanpa menghiraukan Harum.

Ada sedikit rasa kecewa menyelinap di relung hati Harum lantaran sikap Hangga tidak semanis pagi tadi.

Harum menarik napas, mengisi udara pada rongga dada untuk mengurai rasa kecewanya. Setelahnya ia mengekor langkah di belakang suaminya.

“Mas Hangga belum makan ‘kan?” tanya Harum saat Hangga hendak naik ke lantai dua menuju kamarnya.

Hangga menghentikan langkah dan menoleh ke arah perempuan yang memakai gamis rumahan motif bunga tulip warna ungu dan jilbab warna senada. “Saya sudah makan,” sahutnya.

Pria yang wajahnya mulai ditumbuhi berewok tipis itu terdiam sejenak karena teringat pesan yang dikirim Bu Mirna tentang soto. Akan tetapi, ia memilih untuk melanjutkan langkah menuju kamar.

Harum melangkah gontai menuju meja makan. Menarik kursi, lalu menghempaskan bokong di atasnya.

Matanya menatap nanar panci soto di atas kompor. Dadanya mendadak sesak. Mengingat bagaimana perjuangannya untuk memasak makanan kesukaan Hangga itu.

Soto Surabaya buatan Harum itu belum disantapnya sama sekali. Ia hanya membuatkan dua mangkok soto untuk Bu RT dan Ebah—ART sebelah rumahnya.

Siang tadi, Harum hanya memakan roti. Maka sejak magrib tadi ia sudah sangat kelaparan. Namun, ia memilih untuk menahan rasa lapar demi bisa makan malam bersama sang suami. Mengabaikan cacing di perutnya yang uring-uringan sedari tadi.

“Kamu belum makan?” tanya Hangga yang tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Harum. Pria itu belum mengganti baju, masih memakai pakaian yang sama saat pulang tadi.

“Kalau belum makan, makan saja. Bisa sakit kalau kamu tidak makan,” ujar Hangga lagi, sebelum Harum menjawab pertanyaannya.

Harum sudah berbunga-bunga mendengar ucapan Hangga yang terakhir. Apakah itu artinya Hangga mengkhawatirkannya? Sepeduli itukah Hangga kepadanya?

“Kalau kamu sakit, ibu pasti akan mengomeli saya,” sambung Hangga.

Bunga-bunga di hati Harum langsung kuncup seketika mendengar kelanjutan ucapan Hangga yang tengah melangkah menuju kulkas. Pria pujaannya itu bukan mengkhawatirkan dirinya, melainkan khawatir diomeli ibunya.

Membuka lemari es, Hangga mengeluarkan botol berisi air putih dingin. Kemudian beranjak menuju meja makan untuk mengambil gelas. Sementara Harum yang sedari tadi memperhatikan Hangga juga berpikir untuk mengambilkan gelas buat Hangga. Sontak hal itu membuat kedua tangan mereka saling bersentuhan, sama-sama hendak mengambil gelas.

Keduanya bergeming selama beberapa saat dengan kedua tangan masih saling bersentuhan. Hangga menatap Harum, begitu pun sebaliknya. Sorot mata keduanya bertemu.

Ada desiran halus yang terasa menjalar ke hati keduanya. Setelah beberapa jenak terhipnotis dengan keadaan tersebut, akhirnya Hangga menarik tangannya. Melepaskan sentuhannya pada tangan lembut Harum.

“Ini gelasnya, Mas.” Harum berdiri, tangannya terulur menyerahkan gelas pada Hangga.

“Taruh di situ!” perintah Hangga

.

Pria itu menunjuk bibir meja di depannya dengan dagu. Harum patuh menuruti perintah Hangga.

Hangga menarik kursi, lalu duduk. Menuangkan air dingin ke dalam gelas, suami Harum itu langsung meneguknya hingga tandas.

Kelihatannya Mas Hangga haus sekali. Seperti habis pulang dari perjalanan jauh. Harum membatin.

“Kamu masak apa?” tanya Hangga usai menandaskan segelas air putih dingin.

“Saya masak soto. Mas mau coba?” lontar Harum dengan binar cerah di matanya.

“Boleh. Saya akan temani kamu makan,” sahut Hangga yang sukses membuat rekah kembali bunga-bunga di hati Harum.

“Pakai nasi, Mas?” tawar Harum.

“Tidak usah, sotonya saja.”

Harum tersenyum semringah. Hatinya senang bukan main. Perjuangannya untuk memasak hari ini rupanya tidak sia-sia. Gadis berwajah ayu itu lekas menyiapkan santapan malam ... yang terlalu malam.

Menghangatkan sebentar kuah soto dalam panci, kemudian menuangkannya pada dua mangkok yang telah diisi pelengkap soto seperti ayam suwir, bihun, kol, tomat dan daun seledri. Terakhir menambah perasan jeruk limau, emping dan menabur bawang goreng.

Aroma soto yang segar begitu membelai hidung. Ditambah perkedel dan paru sapi yang digoreng kering sebagai lauk, semakin menggugah selera. Terutama bagi Harum yang sudah menahan lapar sejak tadi.

Pasangan suami istri itu mulai menyantap hidangan malam yang terlambat. Hangga mengangguk-angguk puas setelah menikmati suapan pertamanya. Dua kali menikmati masakan sang istri, membuat Hangga dapat menyimpulkan bahwa istrinya memang jago memasak.

Jika saja Hangga belum memiliki Nata, pasti sangat mudah jatuh cinta pada gadis berparas teduh tersebut.

“Rum.” Panggilan Hangga memecah udara kebisuan di sekitar mereka. Santapan keduanya sudah tandas lebih dari separuh.

“Ya, Mas?”

“Kalau ibu tanya-tanya tentang bagaimana pernikahan kita, kamu paham ‘kan harus menjawab apa,” ujar Hangga di sela makannya.

Mendengar ucapan Hangga, Harum membatalkan suapan sendok ke mulutnya. Mulut yang terlah terbuka itu tertutup kembali. Satu sendok nasi plus potongan paru itu diletakkan kembali ke atas piring.

“Iya, Mas,” jawabnya menganggukkan kepala.

“Ibu itu sangat suka sama kamu. Dan harapannya sangat besar pada pernikahan kita ini. Berbohonglah demi ibu. Jangan membuat ibu bersedih,” kata Hangga lagi.

“Iya, Mas.” Sebenarnya tanpa dijelaskan, Harum sudah memahami apa yang ada di kepala Hangga.

“Kamu waktu itu tanya, kenapa saya enggak ambil cuti nikah.” Harum mengangguk pelan. Ia ingat pernah menanyakan hal tersebut saat dalam perjalanan menuju Tangerang bersama Hangga, sehari setelah pernikahan mereka.

“Karena saya memang tidak memberitahu teman-teman kantor saya, atasan saya, dan juga semua yang mengenal saya, kalau saya akan menikah. Tidak ada satu pun teman atau rekan kerja yang mengetahui pernikahan ini. Jadi, jika suatu hari kamu bertemu saat saya sedang bersama teman saya, kamu jangan mengaku kalau kamu istri saya ya,” tutur Hangga panjang lebar.

Enteng saja Hangga berbicara. Tanpa menyadari, ada hati yang teriris perih akan ucapannya. Beruntung Harum bukan tipikal perempuan cengeng. Meski hatinya perih bagai diiris sembilu, mata dan riak wajahnya mampu berusaha untuk tenang. “Iya, Mas,” ucapnya menahan getir.

Dengan tetap tenang, Harum melanjutkan suapan demi suapan makanannya. Meskipun ucapan Hangga membuat selera makannya menguap, melebur bersama udara, ia berusaha untuk menghabiskan makanannya.

Mubazir kalau makanannya tidak dihabiskan. Bukankah mubazir itu temannya setan. Kalau ia sudah berteman dengan setan, lalu suami seperti Hangga itu sebaiknya harus diapakan?

Saat Harum masih berusaha menandaskan makanan yang kini terasa sulit ditelan, pria beralis lebat itu berdiri lalu meninggalkan meja makan.

Harum hanya dapat memandangi kepergian Hangga tanpa berani bertanya. Namun, beberapa saat kemudian Hangga kembali ke meja makan dan duduk di tempatnya semula.

“Tangan kamu kenapa luka?” tanya Hangga yang sedari tadi memperhatikan luka di tangan Harum.

“Eh, ini. Enggak kenapa-kenapa,” jawab Harum sembari memandang luka bekas insiden jatuh siang tadi.

Kemudian Hangga merobek kertas pembungkus sesuatu yang dibawanya. Ternyata itu adalah plester luka yang tadi diambilnya dari kotak P3K.

“Kamu tutup lukanya pakai ini,” katanya seraya menyodorkan plester luka.

“Terima kasih,” ucap Harum saat menerima plester dari tangan Hangga.

Harum berusaha menempelkan plester itu pada punggung tangannya yang terluka. Namun, entah mengapa pekerjaan simpel itu tiba-tiba menjadi sangat sulit dilakukan. Entah karena grogi, gugup atau apa, ia pun tidak paham.

“Sini, saya yang pakaikan,” ujar Hangga.

Ia mengambil plester dari tangan Harum, lalu menempelkannya pada punggung tangan Harum yang terluka.

Sikap Hangga membuat Harum tergugu. Ia melirik Hangga dan tangannya yang tengah ditempeli plester bergantian.

Apa sih sesungguhnya mau kamu, hai suamiku? Baru sesaat tadi meredupkan hati, kini kau terangi lagi.

Terpopuler

Comments

Enung Samsiah

Enung Samsiah

plinplan bnget sikap hangga,, sebbelll dehhh

2023-04-10

0

Najwa Aini

Najwa Aini

Hangga tuh lagi kayak cuaca di sebagian besar wilayah Indonesia Rum..yang cepat berubah, dari panas, mendung, hujan lalu terang lagi..

coba kamu minta bantuan ke BMKG untuk membuat cuaca hati Hangga jadi lbh pasti

2022-11-16

0

Elisabeth Ratna Susanti

Elisabeth Ratna Susanti

wooooo pengen tak jitak nih Hangga

2022-11-08

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1
2 Bab 2
3 Bab 3
4 Bab 4
5 Bab 5
6 Bab 6
7 Bab 7
8 Bab 8
9 Bab 9
10 Bab 10
11 Bab 11
12 Bab 12
13 Bab 13
14 Bab 14
15 Bab 15
16 Bab 16
17 Bab 17
18 Bab 18
19 Bab 19
20 Bab 20
21 Bab 21
22 Bab 22
23 Bab 23
24 Bab 24
25 Bab 25
26 Bab 26
27 Bab 27
28 Bab 28
29 Bab 29
30 Bab 30
31 Bab 31
32 Bab 32
33 Bab 33
34 Bab 34
35 Bab 35
36 Bab 36
37 Bab 37
38 Bab 38
39 Bab 39
40 Bab 40
41 Bab 41
42 Bab 42
43 Bab 43
44 Bab 44
45 Bab 45
46 Bab 46
47 Bab 47
48 Bab 48
49 Bab 49
50 Bab 50
51 Bab 51
52 Bab 52
53 Bab 53
54 Bab 54
55 Bab 55
56 Bab 56
57 Bab 57
58 Bab 58
59 Bab 59
60 Bab 60
61 Bab 61
62 Bab 62
63 Bab 63
64 Bab 64
65 Bab 65
66 Bab 66
67 Bab 67
68 Bab 68
69 Bab 69
70 Bab 70
71 Bab 71
72 Bab 72
73 Bab 73
74 Bab 74
75 Bab 75
76 Bab 76
77 Bab 77
78 Bab 78
79 Bab 79
80 Bab 80
81 Bab 81
82 Bab 82
83 Bab 83
84 Bab 84
85 Bab 85
86 Bab 86
87 Bab 87
88 Bab 88
89 Bab 89
90 Bab 90
91 Bab 91
92 Bab 92
93 Bab 93
94 Bab 94
95 Bab 95
96 Bab 96
97 Bab 97
98 Bab 98
99 Bab 99
100 Bab 100
101 Bab 101
102 Bab 102
103 Bab 103
104 Bab 104
105 Bab 105
106 Bab 106
107 Bab 107
108 Bab 108
109 Bab 109
110 Bab 110
111 Bab 111
112 Bab 112
113 Bab 113
114 Bab 114
115 Bab 115
116 Bab 116
117 Bab 117
118 Bab 118
119 Bab 119
120 Bab 120
121 Bab 121
122 Extra part
123 Extra part 2
124 Extra part 3
125 Extra part 4
126 Sekilas Tentang Inara
127 Extra part Inara 2
128 128
129 129
Episodes

Updated 129 Episodes

1
Bab 1
2
Bab 2
3
Bab 3
4
Bab 4
5
Bab 5
6
Bab 6
7
Bab 7
8
Bab 8
9
Bab 9
10
Bab 10
11
Bab 11
12
Bab 12
13
Bab 13
14
Bab 14
15
Bab 15
16
Bab 16
17
Bab 17
18
Bab 18
19
Bab 19
20
Bab 20
21
Bab 21
22
Bab 22
23
Bab 23
24
Bab 24
25
Bab 25
26
Bab 26
27
Bab 27
28
Bab 28
29
Bab 29
30
Bab 30
31
Bab 31
32
Bab 32
33
Bab 33
34
Bab 34
35
Bab 35
36
Bab 36
37
Bab 37
38
Bab 38
39
Bab 39
40
Bab 40
41
Bab 41
42
Bab 42
43
Bab 43
44
Bab 44
45
Bab 45
46
Bab 46
47
Bab 47
48
Bab 48
49
Bab 49
50
Bab 50
51
Bab 51
52
Bab 52
53
Bab 53
54
Bab 54
55
Bab 55
56
Bab 56
57
Bab 57
58
Bab 58
59
Bab 59
60
Bab 60
61
Bab 61
62
Bab 62
63
Bab 63
64
Bab 64
65
Bab 65
66
Bab 66
67
Bab 67
68
Bab 68
69
Bab 69
70
Bab 70
71
Bab 71
72
Bab 72
73
Bab 73
74
Bab 74
75
Bab 75
76
Bab 76
77
Bab 77
78
Bab 78
79
Bab 79
80
Bab 80
81
Bab 81
82
Bab 82
83
Bab 83
84
Bab 84
85
Bab 85
86
Bab 86
87
Bab 87
88
Bab 88
89
Bab 89
90
Bab 90
91
Bab 91
92
Bab 92
93
Bab 93
94
Bab 94
95
Bab 95
96
Bab 96
97
Bab 97
98
Bab 98
99
Bab 99
100
Bab 100
101
Bab 101
102
Bab 102
103
Bab 103
104
Bab 104
105
Bab 105
106
Bab 106
107
Bab 107
108
Bab 108
109
Bab 109
110
Bab 110
111
Bab 111
112
Bab 112
113
Bab 113
114
Bab 114
115
Bab 115
116
Bab 116
117
Bab 117
118
Bab 118
119
Bab 119
120
Bab 120
121
Bab 121
122
Extra part
123
Extra part 2
124
Extra part 3
125
Extra part 4
126
Sekilas Tentang Inara
127
Extra part Inara 2
128
128
129
129

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!