Bab 5

Setelah menempuh sekitar dua jam perjalanan penuh keheningan dan kebisuan, akhirnya mereka sampai di kediaman Hangga.

Ralat, rumah pemberian orangtuanya.

Sebuah rumah dua tingkat bergaya minimalis di perumahan elite kota Tangerang yang sudah dua tahun ditempati pria berusia 26 tahun itu.

“Kamu mau kamar yang di atas atau kamar yang di bawah?” tawar Hangga dengan raut dingin.

“Terserah Mas Hangga saja. Saya nurut saja,” jawab Harum.

“Kalau begitu, saya pilih kamar yang di atas.”

Hangga langsung naik ke lantai dua sembari mengecek ponsel yang berada di tangannya. Kemudian ia menghentikan langkah saat menyadari Harum mengikutinya di belakang.

“Kamu mau ke mana?” Pertanyaan Hangga sontak menghentikan langkah Harum.

“Saya pilih kamar yang di atas, jadi kamu pakai kamar yang di bawah,” ujar Hangga kemudian.

“Maksud Mas Hangga, bagaimana?” Harum sungguh tidak memahami maksud suaminya itu.

Hangga berdecak menatap Harum.

“Apa kamu belum paham juga? Saya tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Saya tidak pernah menginginkan kamu yang menjadi istri saya. Ibu adalah alasan saya menikahi kamu. Saya tidak bisa menolak permintaan ibu. Tolong jangan menyulitkan saya. Kita tidak perlu berlaku seperti pasangan suami istri sesungguhnya. Silakan kamu tempati kamar yang itu, saya akan menempati kamar yang di atas.” Setelah mengucapkan kalimat panjang lebar yang pasti menyakitkan bagi Harum, Hangga berlalu tanpa memedulikan bagaimana reaksi perempuan yang sudah menjadi istrinya itu.

Harum tergugu mendengar pengakuan Hangga. Hatinya berdenyut sakit. Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang istri selain pernyataan bahwa sang suami tidak mencintainya dan tidak menginginkannya.

Seharusnya saat Hangga salah menyebut namanya dalam ijab kabul, ia menyadari bahwa Hangga memang tidak pernah menginginkannya. Nama wanita yang disebut Hangga dalam ijab kabul pastilah wanita yang diinginkan Hangga.

Harum menelan liur penuh kepiluan. Matanya terasa panas kala menatap langkah Hangga yang terus menaiki tangga. Hatinya sakit dan perih mengetahui kenyataan bahwa Hangga tidak menginginkannya.

Setitik bulir bening jatuh tanpa dapat ditahan. Harum lekas mengusapnya. Memastikan jejak bulir bening itu hilang tidak berbekas.

*

Dua minggu sudah Harum menjalani pernikahannya. Penolakan Hangga terhadapnya, tidak serta merta membuat Harum terpuruk lalu jatuh.

Gadis berparas ayu itu sudah terbiasa didera nelangsa di tiap jenjang hidupnya. Kehilangan kedua orangtua saat berusia tujuh tahun, kehilangan kakek saat ia remaja, dan terakhir, kehilangan nenek sebagai satu-satunya anggota keluarga yang tersisa.

Semua ujian kehidupan itu menjadi imun bagi kekuatan hati Harum. Membuatnya menjadi sosok gadis yang kuat dan tidak cengeng.

Meski Hangga tidak pernah menganggap keberadaannya, Harum tetap berusaha menjalankan perannya sebagai seorang istri.

Harum memasak setiap hari meski tidak sekali pun Hangga memakannya. Jangankan menikmati masakan Harum, menyentuh bahkan melirik pun tidak.

Setiap hari ia berusaha untuk mengambil pakaian kotor Hangga, meskipun yang didapatkan adalah penolakan dan omelan dari Hangga. Suaminya itu memilih untuk membawa pakaian kotornya ke laundry.

Pagi ini, Harum melihat pakaian kotor Hangga lumayan banyak di dalam keranjang cucian. Mungkin Hangga terlalu sibuk, sehingga belum sempat membawanya ke laundry langganannya. Begitu pikir Harum.

Harum berinisiatif untuk mengambil pakaian kotor itu dan berniat mencucinya. Ia hendak memasukkan pakaian kotor ke mesin cuci, saat tangan kekar Hangga menarik kasar tangannya.

“Saya sudah bilang, jangan pernah mengurusi urusan saya! Saya bisa makan di luar. Saya bisa mencuci pakaian saya di laundry. Saya bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan kamu. Dan yang penting saya tidak mau berhutang budi sama kamu,” ucap Hangga kesal seraya mencekal pergelangan tangan kanan Harum dengan kuat.

Meski merasa kesakitan karena cengkeraman tangan Hangga yang terlalu kuat, Harum menahan diri untuk tidak meringis, mengaduh, apalagi menangis.

“Ini bukan soal hutang budi, Mas. Ini soal kewajiban saya sebagai seorang istri. Mas Hangga boleh tidak melakukan kewajiban Mas sebagai suami, tapi tolong jangan halangi saya untuk melakukan kewajiban saya sebagai seorang istri,” sahut Harum.

“Saya tidak menginginkan kamu melakukan apa pun untuk saya. Dan saya tidak akan melakukan apa pun untuk kamu!” tegas Hangga dengan sorot mata dingin. Ia sangat kesal karena Harum seolah tidak mengindahkan tegurannya meskipun ia berkali-kali mengatakan agar tidak mengurusi dirinya.

“Tapi kita suami istri, Mas. Semua hal baik yang dilakukan dalam pernikahan adalah ibadah, ganjarannya adalah pahala. Pernikahan itu ibadah. Jangan menghalangi saya untuk beribadah,” sahut Harum dengan tegas pula.

Setelah dua minggu selalu diam, kali ini ia putuskan untuk menjawab omelan Hangga. Mungkin Hangga perlu diingatkan bahwa memperlakukan istri dengan baik adalah suatu kewajiban. Bahkan perintahnya turun langsung dari Allah dan termaktub dalam Al-Qur’an.

Hangga tertegun atas ucapan Harum. Semua yang dikatakan Harum adalah benar adanya.

Hangga merasa tertampar. Ia bergeming beberapa jenak, lalu melepaskan cekalan tangannya pada Harum.

“Biarkan saya melakukan kewajiban saya sebagai seorang istri. Dan saya tidak akan menuntut Mas Hangga melakukan kewajiban Mas sebagai suami,” kata Harum lagi.

“Bagaimana saya bisa melakukan kewajiban saya sebagai suami, sementara saya tidak pernah mencintai kamu.”

Hangga tentu tahu soal kewajiban dan hak suami atau istri dalam pernikahan. Jauh di sudut hatinya pun sesungguhnya ia merasa berdosa karena memperlakukan istrinya dengan tidak baik.

Tetapi, apa yang dapat dilakukannya jika kenyataannya ia memang tidak menginginkan Harum sebagai istrinya. Akan sangat berdosa jika ia memperlakukan Harum layaknya seorang istri jika otak, hati, pikiran, bahkan fantasinya adalah untuk wanita lain yang sangat dicintainya.

“Saya tahu Mas tidak mencintai saya.” Harum menjeda ucapannya sejenak, menatap wajah tampan berlesung pipi itu. “Tetapi, menikahi orang yang dicintai adalah sekedar harapan. Sedangkan mencintai orang yang dinikahi adalah kewajiban, Mas. Seharusnya Mas Hangga tahu hal itu.”

Hangga kembali tertegun dengan ucapan Harum. Kalimat yang diucapkan Harum sungguh menohok hatinya.

Harapan Hangga adalah dapat menikahi Nata, tetapi yang terjadi malah salah satu karyawan sang ibu yang menjadi istrinya.

Ia menarik napas pelan, lalu mengembuskannya pelan pula

“Ya sudah, kalau kamu tidak keberatan, silakan cuci baju saya,” ucap Hangga akhirnya.

Harum tersenyum girang. “Dengan senang hati, Mas.”

Hangga menatap Harum sejenak kemudian berlalu meninggalkannya. Sementara Harum dengan penuh semangat mulai melakukan aktivitas mencucinya. Menyikat bagian-bagian kotor di baju lalu memasukkannya ke dalam mesin pencuci. Untuk kemeja warna putih, ia mencucinya dengan tangan.

Mesin pencuci telah disetel ke mode pencucian. Kemeja putih selesai disikat lalu direndam. Harum pergi ke dapur, hendak mencuci peralatan masak yang belum sempat dicucinya usai membuat nasi goreng subuh tadi.

Saat hendak ke dapur, ia melihat Hangga tengah duduk melamun di meja makan.

“Mas Hangga mau sarapan?” tawar Harum.

Hangga tersentak dari lamunannya. Ia menatap Harum. Tatapannya tidak sedingin biasanya.

“Mas Hangga mau sarapan?” Harum mengulang pertanyaan sebab Hangga sepertinya tidak mendengar apa yang tadi dilontarkannya.

“Boleh,” jawab Hangga tanpa ragu. Harum tersenyum cerah mendapat jawaban Hangga.

“Kamu bikin sarapan apa?” tanya Hangga.

“Emm, saya buat nasi goreng. Mas mau?” Hangga menjawab dengan anggukkan kepala.

Dengan hati riang, Harum segera menyiapkan sarapan untuk suaminya. Mencucikan pakaian dan menyiapkan sarapan untuk suami saja sudah membuatnya sangat bahagia. Sikap Hangga yang tidak sedingin biasanya membuat Harum sangat bersyukur.

Hangga terdiam setelah menyuapkan satu sendok pertamanya. Mulutnya mengunyah pelan nasi goreng seolah tengah meresapi rasanya.

“Gimana, Mas, nasi gorengnya enak?” Harum memberanikan diri bertanya.

“Enak, bahkan sangat enak,” puji Hangga.

Sayang pujian itu hanya diucapkan dalam hati.

Jujur, nasi goreng buatan Harum adalah yang terlezat yang pernah dimakannya. Tetapi, Hangga yang masih gengsi memilih menjawab dengan sebuah anggukan.

Setelahnya, Hangga melanjutkan makannya dengan lahap. Saking lahapnya, sepiring nasi goreng itu tandas dalam waktu beberapa menit saja.

Harum tersenyum senang. Melihat cara makan Hangga, ia yakin jika suaminya itu menyukai nasi goreng buatannya.

Mungkin saja cinta bersemi dari sepiring nasi goreng, bukan?

Sebab cinta tidak melulu dari mata lalu turun ke hati.

Bisa jadi cinta mulai dari perut lalu naik ke hati.

Terpopuler

Comments

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

biasanya sih iyaa manjain dulu perutnya
baru kena deh hatinya 🤭🤭

2023-03-06

1

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman

awas ajja kalo bucin duluan si hangga

2023-03-06

0

Safitri Agus

Safitri Agus

nasgor ini isinya cinta dan kasih sayang istri,dan tetap jadi makanan favorit di novel² 🤭

2022-12-21

3

lihat semua
Episodes
1 Bab 1
2 Bab 2
3 Bab 3
4 Bab 4
5 Bab 5
6 Bab 6
7 Bab 7
8 Bab 8
9 Bab 9
10 Bab 10
11 Bab 11
12 Bab 12
13 Bab 13
14 Bab 14
15 Bab 15
16 Bab 16
17 Bab 17
18 Bab 18
19 Bab 19
20 Bab 20
21 Bab 21
22 Bab 22
23 Bab 23
24 Bab 24
25 Bab 25
26 Bab 26
27 Bab 27
28 Bab 28
29 Bab 29
30 Bab 30
31 Bab 31
32 Bab 32
33 Bab 33
34 Bab 34
35 Bab 35
36 Bab 36
37 Bab 37
38 Bab 38
39 Bab 39
40 Bab 40
41 Bab 41
42 Bab 42
43 Bab 43
44 Bab 44
45 Bab 45
46 Bab 46
47 Bab 47
48 Bab 48
49 Bab 49
50 Bab 50
51 Bab 51
52 Bab 52
53 Bab 53
54 Bab 54
55 Bab 55
56 Bab 56
57 Bab 57
58 Bab 58
59 Bab 59
60 Bab 60
61 Bab 61
62 Bab 62
63 Bab 63
64 Bab 64
65 Bab 65
66 Bab 66
67 Bab 67
68 Bab 68
69 Bab 69
70 Bab 70
71 Bab 71
72 Bab 72
73 Bab 73
74 Bab 74
75 Bab 75
76 Bab 76
77 Bab 77
78 Bab 78
79 Bab 79
80 Bab 80
81 Bab 81
82 Bab 82
83 Bab 83
84 Bab 84
85 Bab 85
86 Bab 86
87 Bab 87
88 Bab 88
89 Bab 89
90 Bab 90
91 Bab 91
92 Bab 92
93 Bab 93
94 Bab 94
95 Bab 95
96 Bab 96
97 Bab 97
98 Bab 98
99 Bab 99
100 Bab 100
101 Bab 101
102 Bab 102
103 Bab 103
104 Bab 104
105 Bab 105
106 Bab 106
107 Bab 107
108 Bab 108
109 Bab 109
110 Bab 110
111 Bab 111
112 Bab 112
113 Bab 113
114 Bab 114
115 Bab 115
116 Bab 116
117 Bab 117
118 Bab 118
119 Bab 119
120 Bab 120
121 Bab 121
122 Extra part
123 Extra part 2
124 Extra part 3
125 Extra part 4
126 Sekilas Tentang Inara
127 Extra part Inara 2
128 128
129 129
Episodes

Updated 129 Episodes

1
Bab 1
2
Bab 2
3
Bab 3
4
Bab 4
5
Bab 5
6
Bab 6
7
Bab 7
8
Bab 8
9
Bab 9
10
Bab 10
11
Bab 11
12
Bab 12
13
Bab 13
14
Bab 14
15
Bab 15
16
Bab 16
17
Bab 17
18
Bab 18
19
Bab 19
20
Bab 20
21
Bab 21
22
Bab 22
23
Bab 23
24
Bab 24
25
Bab 25
26
Bab 26
27
Bab 27
28
Bab 28
29
Bab 29
30
Bab 30
31
Bab 31
32
Bab 32
33
Bab 33
34
Bab 34
35
Bab 35
36
Bab 36
37
Bab 37
38
Bab 38
39
Bab 39
40
Bab 40
41
Bab 41
42
Bab 42
43
Bab 43
44
Bab 44
45
Bab 45
46
Bab 46
47
Bab 47
48
Bab 48
49
Bab 49
50
Bab 50
51
Bab 51
52
Bab 52
53
Bab 53
54
Bab 54
55
Bab 55
56
Bab 56
57
Bab 57
58
Bab 58
59
Bab 59
60
Bab 60
61
Bab 61
62
Bab 62
63
Bab 63
64
Bab 64
65
Bab 65
66
Bab 66
67
Bab 67
68
Bab 68
69
Bab 69
70
Bab 70
71
Bab 71
72
Bab 72
73
Bab 73
74
Bab 74
75
Bab 75
76
Bab 76
77
Bab 77
78
Bab 78
79
Bab 79
80
Bab 80
81
Bab 81
82
Bab 82
83
Bab 83
84
Bab 84
85
Bab 85
86
Bab 86
87
Bab 87
88
Bab 88
89
Bab 89
90
Bab 90
91
Bab 91
92
Bab 92
93
Bab 93
94
Bab 94
95
Bab 95
96
Bab 96
97
Bab 97
98
Bab 98
99
Bab 99
100
Bab 100
101
Bab 101
102
Bab 102
103
Bab 103
104
Bab 104
105
Bab 105
106
Bab 106
107
Bab 107
108
Bab 108
109
Bab 109
110
Bab 110
111
Bab 111
112
Bab 112
113
Bab 113
114
Bab 114
115
Bab 115
116
Bab 116
117
Bab 117
118
Bab 118
119
Bab 119
120
Bab 120
121
Bab 121
122
Extra part
123
Extra part 2
124
Extra part 3
125
Extra part 4
126
Sekilas Tentang Inara
127
Extra part Inara 2
128
128
129
129

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!