Malam minggu. Seperti janji Ifan pada ibunya. Dia akan datang ke rumah ibunya bersama Alma anaknya.
Ifan saat ini sudah sampai di depan rumah orang tuanya. Rumah sederhana lantai satu yang ditinggali oleh ibu dan ayah Ifan.
Ifan turun dari mobilnya. Setelah itu dia mengetuk pintu rumahnya.
"Assalamualaikum," ucap Ifan .
"Wa'alakiumsalam," ucapan dari dalam rumah orang tua Ifan sudah terdengar.
Bu Atik ibu Ifan, tiba-tiba saja membuka pintu depan. Dia tersenyum saat melihat Ifan dan Alma sudah sampai di depan pintu.
"Ifan, Alma," ucap Bu Atik pada anak dan cucunya.
"Nenek...!" seru Alma yang langsung berhambur memeluk neneknya.
Bu Atik langsung mengecup ke dua pipi cucunya. Dia kemudian menyuruh Ifan dan Alma masuk ke dalam rumahnya.
"Ayo masuk!" ajak Bu Atik.
Ifan hanya mengangguk. Setelah itu, Ifan dan Alma masuk ke dalam rumah Bu Atik.
Sesampai di ruang tamu, Ifan terkejut saat melihat ada seorang wanita tampak sedang ngobrol dengan ayahnya di ruang tamu.
"Eh Fan. Sini Nak duduk dulu!" Pak Hendro ayah Ifan melambaikan tangannya dan menyuruh Ifan untuk duduk dan berbaur bersamanya.
Ifan menghempaskan tubuhnya dan duduk di sisi Pak Hendro. Dia kemudian menatap wanita itu lagi.
"Siapa dia Pak?" tanya Ifan.
"Dia Widi. Anaknya teman bapak Fan," jelas Pak Hendro
"Anaknya teman bapak?" Ifan menatap Pak Hendro.
Pak Hendro mengangguk. "Iya."
"Wid. Ini lho, anak saya yang barusan saya ceritakan ke kamu." Pak Hendro memperkenalkan Ifan pada Widi.
Wanita yang bernama Widi hanya tersenyum. Setelah itu dia mengulurkan tangannya.
"Saya Widi Mas," ucap Widi.
Ifan membalas uluran tangan Widi.
"Saya Ifan."
"Oh iya. Kebetulan ibu itu sudah masak banyak malam ini. Sekarang kita ke ruang makan yuk! ibu sudah siapkan semua hidangannya di atas meja makan," ucap Bu Atik.
"Ayo Fan, Wid." Pak Hendro bangkit berdiri. Setelah itu dia melangkah ke arah ruang makan. Diikuti, Widi, Ifan, Alma dan Bu Atik.
Mereka kemudian duduk di ruang makan dan makan bersama.
Malam ini, suasana di ruang makan tampak hening. Ifan sejak tadi masih diam menikmati makanannya. Begitu juga dengan Alma. Alma masih asyik makan ayam goreng.
"Alma. Mbak Intannya udah kembali ya?" tanya Bu Atik pada Alma cucunya yang sejak tadi masih menikmati makanannya.
"Belum Nek," jawab Alma di sela-sela kunyahannya.
"Lho. Terus, siapa yang nungguin kamu sekolah?" tanya Bu Atik.
"Tante Iren," jawab Alma lagi.
Bu Atik dan Pak Hendro terkejut. Mereka saling menatap.
"Ifan. Siapa Iren?" tanya Bu Atik.
"Oh, dia itu pengasuh baru Alma," jawab Ifan.
"Kok namanya sama sih, sama Irene," gumam Bu Atik saat dia mengingat Irene mantan menantunya yang dulu.
Ifan tidak menghiraukan ucapan Bu Atik. Memang yang dipekerjakan Ifan di rumahnya itu mantan istrinya yang dulu. Tapi, Ifan malas jika dia harus cerita sama orang tuanya soal Irene. Karena orang tuanya selama ini,. tidak pernah suka dengan Irene.
"Dia bukan Irene mantan kamu kan Ifan?" tanya Pak Hendro.
"Bukan," bohong Ifan.
Ifan memang harus berbohong. Jika tidak, orang tuanya pasti akan marah besar padanya. Karena selama ini, orang tua Ifan sangat membenci Irene dan orang tua Irene.
Mereka masih ingat betul bagaimana dulu, ke dua orang tua Irene sempat menghina mereka. Ucapan-ucapan jelek yang orang tua Irene ucapkan, masih selalu terngiang-ngiang di telinga Bu Atik dan Pak Hendro. Sehingga mereka seperti susah sekali untuk melupakan kenangan itu.
"Syukurlah kalau bukan dia. Ibu nggak rela wanita itu hadir lagi di kehidupan kamu Ifan. Kamu masih ingatkan, bagaimana orang tua Irene mencaci maki kamu dan kami orang tuamu. Mereka bilang kita ini miskin dan tidak pantas untuk menjadi besan mereka. Mereka juga nggak pernah menganggap kamu menantunya," ucap Bu Atik.
"Sudahlah Bu. Kita nggak usah bahas apa-apa di sini. Ada tamu di sini. Nggak enak Bu," ucap Ifan.
Widi sejak tadi hanya diam. Dia tidak berani ikut campur ucapan Ifan dan orang tua Ifan.
"Widi, Ifan, Bapak harap kalian itu mau saling mengenal dulu. Kalau kalian sudah cocok satu sama lain, barulah nanti kita fikirkan rencana pernikahan kalian," ucap Pak Hendro yang membuat Ifan terkejut.
Uhuk uhuk uhuk...
Ifan terbatuk-batuk saat mendengar ucapan ayahnya. Dia tersedak makanannya sendiri.
Ifan buru-buru mengambil air minum dan menenggaknya sampai habis.
Ifan tidak habis fikir. Ternyata ibu dan ayahnya mengundangnya datang ke rumah karena mereka merencanakan perjodohan Ifan dengan seorang wanita.
"Bu, Pak, kalian bicara apa sih? pernikahan siapa yang kalian bicarakan?" tanya Ifan.
"Pernikahan kamu dan Widi," jawab Bu Atik.
Ifan menatap Widi. Sejak tadi Widi masih menatap ke arah makanannya. Dia tidak berani menatap Ifan ataupun orang tua Ifan. Sepertinya dia malu dan tidak enak, berada di antara Ifan dan orang tua Ifan.
"Maksudnya apa ini?" Ifan menatap ayah dan ibunya bergantian.
"Rencananya, Bapak itu akan jodohkan kamu dengan Widi," jelas pak Hendro.
"Apa!" Ifan terkejut mendengar ucapan ayahnya.
"Iya Ifan. Kamu itu sudah lama menduda. Mau sampai kapan kamu menduda. Kamu itu butuh seorang istri. Begitu juga dengan Alma. Dia juga butuh seorang ibu. Kamu itu harus menikah lagi. Agar kamu bisa memberikan cucu untuk ibu." Bu Atik menimpali.
"Tapi nggak dengan cara seperti ini juga dong Bu, Pak. Aku bisa cari jodoh aku sendiri, emang aku anak kecil apa. Pakai dijodoh-jodohkan segala," ucap Ifan.
Ifan tampak kesal dengan ke dua orang tuanya. Entah sudah ke berapa kalinya mereka mencarikan jodoh untuk Ifan. Namun, Ifan tidak pernah mau menerima perjodohan itu.
Ifan belum bisa membuka hati untuk wanita lain. Karena Ifan belum bisa melupakan kenangan tentang masa lalunya. Apalagi sekarang wanita di masa lalunya itu sudah kembali di kehidupannya. Dan dia sekarang sudah berada di tengah-tengah keluarga kecilnya.
"Ifan. Mau sampai kapan Ifan. Dari kemarin kamu itu bilangnya juga seperti itu terus. Tapi mana? kamu nggak bisa membuktikan ucapan kamu. Kalau kamu sudah punya calon, kenalkan dulu ke kami Ifan," ucap Bu Atik.
"Iya. Aku akan kenalkan nanti. Untuk sekarang aku belum siap untuk menikah. Aku juga nggak ada waktu untuk ngurusin perjodohan seperti ini. Karena aku sibuk di kantor," ucap Ifan sembari menahan kesal.
Dia tidak mungkin marah-marah di depan Widi dan Alma. Andai saja tidak ada Widi atau Alma, mungkin Ifan sudah meluapkan emosinya pada ke dua orang tuanya.
Bu Atik dan Pak Hendro diam. Dia tidak berani lagi untuk bicara. Begitu juga dengan Widi. Sejak tadi dia tidak berucap apapun. Kecuali menyuapkan nasi sesuap demi sesuap ke dalam mulutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments