"Aku benar-benar nggak suka Irene, kamu di antar lelaki pulang. Apalagi malam-malam seperti ini. Nggak baik, seorang wanita pulang malam, dengan lelaki yang bukan muhrimnya. Apa yang akan dikatakan tetangga nanti Irene."
"Aku tahu kok Mas. Tapi, dia cuma nganter aku aja. Kita nggak ngapa-ngapain kok. Dia cuma kasihan aja sama aku, melihat aku pulang malam. Jadi tadi dia ngasih aku tumpangan."
"Nah, ini. Ini yang membuat aku tidak suka kalau kamu kerja. Kamu itu tidak tahu batasan Irene. Kamu itu wanita gampangan...! kamu mudah saja, tergoda oleh bujuk rayu lelaaki. Lelaki itu cuma mau memanfaatkan kamu aja Irene. Dia mendekati kamu, karena ada maunya."
Irene hanya bisa diam, mendengar ceramah dari suaminya. Memang suami Irene suami yang sangat pencemburu. Irene sudah tahu kalau Irwan itu sangat posesif, sejak awal-awal nikah. Makanya dia sangat berhati-hati sekali dalam bergaul.
Irene jarang sekali bergaul dengan teman lelaki. Karena setiap Irwan tahu Irene dekat dengan lelaki, Irwan akan selalu menuduh Irene kalau Irene itu ada hubungan dengan lelaki itu. Memang Irwan dan Ifan, dua lelaki yang sangat berbeda.
Sejak tadi, Irwan tidak berhenti bicara. Sementara Irene hanya bisa mendengarkannnya walau telinganya sudah mulai panas dengan ucapan-ucapan suaminya. Lebih baik Irene diam, dari pada dia harus ikut bicara. Irene tidak mau, ada lagi pertengkaran diantara mereka.
"Maafkan aku Mas. Aku janji, aku tidak akan mengulanginya lagi," ucap Irene. Lebih baik dia yang mengalah dari pada dia juga harus sama-sama emosi seperti suaminya.
Irene malas jika dia harus bertengkar lagi dengan Irwan. Lebih baik dia minta maaf, dan mengalah saja. Karena Irene tahu saat ini, Irwan itu masih sakit. Irene tidak mau, memperparah kondisi Irwan.
Setelah Irwan sudah mulai tenang, dia mulai menghabiskan lagi makanannya. Setelah selesai makan, Irwan menatap istrinya.
"Ren. Aku mau ke kamar Ren," ucap Irwan.
Irene bangkit berdiri.
"Biar aku dorong kursi kamu ke kamar Mas."
Irwan mengangguk.
Irene kemudian mendorong kursi roda Irwan sampai masuk ke dalam kamar.
"Kamu lebih baik istirahat aja Mas. Ini udah malam. Aku mau beresin piring-piring kotor yang ada di meja makan dulu," ucap Irene.
"Iya."
Irene kemudian membantu Irwan untuk berbaring di ranjangnya. Setelah itu, Irene ke luar untuk membereskan meja makan.
Sebenarnya Irene sangat sedih sekali, saat mendapatkan perlakuan kasar dari suaminya.
setiap marah, Irwan selalu mengeluarkan bahasa-bahasa kasar yang tidak enak di dengar. Tapi selama ini, Irene selalu mencoba sabar dengan sikap suaminya.
"Kenapa Mas Irwan jadi seperti ini sih. Dia bilang aku wanita gampangan yang mudah terbujuk rayuan lelaki. Kenapa dia menilai aku serendah itu," gumam Irene yang sejak tadi masih berada di dapur membereskan makanannya.
Irene tidak bisa menahan tangisnya. Dia kemudian menangis di dalam kesendirian. Sebenarnya dia sakit hati sekali dengan ucapan-ucapan yang suaminya lontarkan padanya. Tapi dia tidak mau memikirkan soal itu. Dia ingin fokus saja pada kerjaanya yang sekarang.
Setelah Irene tenang, Irene kemudian melangkah untuk masuk ke kamar. Dia melihat Irwan sudah terlelap. Irene kemudian naik ke tempat tidur dan berbaring di sisi Irwan.
Irwan yang pura-pura tidur, membuka matanya. Dia menatap ke samping. Irene tampak sudah memunggunginya.
Irwan beringsut duduk. Dia merasa bersalah karena dia sudah memarahi Irene habis-habisan tadi.
"Maafkan aku sayang," ucap Irwan sembari mengusap rambut Irene.
Irene diam. Dia malas untuk membuka matanya. Biarlah Irwan akan bicara apa. Irene lelah dan tidak mau bertengkar lagi. Besok dia harus kerja lagi. Karena hutang yang harus dia lunasi masih sangat banyak. Dan dia harus membayar semua hutangnya pada Ifan dengan bekerja dengan Ifan.
****
Pagi ini, Irene dan Irwan tampak masih bercakap-cakap di teras depan rumah. Irwan masih duduk di teras, sembari berjemur di sana.
Matahari pagi saat ini sudah bersinar sempurna. Cahayanya sudah memancar sampai ke depan teras rumah Irene. Setiap pagi sebelum Irene kerja, dia selalu mengajak suaminya untuk berjemur.
"Mas, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan sama kamu," ucap Irene tiba-tiba.
Irwan menatap istrinya lekat.
"Kamu mau bicara apa? soal semalam? kan aku udah minta maaf Ren. Jangan di perpanjanglah masalah semalam. Aku semalam memang sedang emosi Ren."
"Oh, bukan soal yang semalam Mas. Sebenarnya aku punya rencana," ucap Irene.
Irwan mengernyitkan alisnya.
"Rencana apa?" tanya Irwan penasaran.
"Aku ingin mengadopsi seorang anak Mas."
Irwan terkejut mendengar ucapan Irene.
"Apa! mengadopsi anak?"
"Iya Mas. Kamu setuju kan kalau kita mengadopsi seorang anak?"
"Anak siapa yang mau kamu adopsi sayang?" tanya Irwan.
"Kita ambil anak saja dari panti asuhan."
"Aku ngga setuju."
Irene terkejut mendengar ucapan suaminya. Irene fikir, Irwan akan mendukungnya. Tapi ternyata, Irwan tidak setuju. Itu semua membuat Irene jadi sedih.
Padahal dia sudah berharap banget untuk punya anak walau hanya anak adopsi. Yang penting, Irene bisa merasakan punya anak.
"Kok kamu nggak setuju sih. Bukannya kamu juga pengin banget kita punya anak?" Irene menatap lekat suaminya.
"Tapi aku cuma pengin anak yang lahir dari rahim kamu Irene. Bukan anak adopsi."
"Tapi itu susah Mas. Kita kan sudah berkali-kali mencoba. Tapi nggak ada hasilnya kan. Aku sudah berkali-kali ikut program hamil. Tapi, aku nggak hamil-hamil juga."
"Kenapa kita tidak coba sekali lagi Irene. Kamu harus ikut program hamil lagi."
Irene menghela nafasnya dalam. Irene bingung juga, bagaimana cara membujuk suaminya agar suaminya mau menyetujui keinginan Irene untuk mengadopsi anak di panti asuhan. Karena sudah berkali-kali Irene mencoba program hamil, tapi tidak ada hasilnya. Membuat Irene pasrah dan menyerah.
"Mau sampai kapan kita program hamil terus. Aku sudah berkali-kali melakukannya. Tapi nggak ada hasilnya sama sekali. Aku lelah Mas."
"Pokoknya aku nggak setuju kamu mengadopsi anak. Apalagi yang mau kamu adopsi itu anak yang nggak jelas sekali asal usulnya. Aku nggak mau anak itu nanti, akan menjadi beban di kehidupan kita Irene."
"Mas, kamu jangan bilang seperti itu. Di panti asuhan itu banyak anak yatim piatu. Justru dengan kita mengadopsi anak yatim piatu, rezeki kita itu akan bertambah berkah."
"Irene. Tapi kamu kan tahu kondisi aku. Aku nggak bisa kerja. Aku saja nggak bisa ngasih kamu nafkah, bagaimana aku bisa menafkahi anak adopsi kamu nanti. Aku nggak mau, bebanku bertambah banyak dengan kehadiran anak adopsi itu. Kalau anak kandung kita sendiri sih nggak masalah untuk aku. Itu sudah jadi tanggung jawab aku."
Irene tampak berfikir. Ucapan suaminya memang ada benarnya. Sekarang mereka dalam masa-masa sulit. Hutangnya saja ke Ifan masih dua puluh juta.
"Ya udah kalau kamu nggak setuju. Aku nggak akan maksa. Tapi, setidaknya kita periksa ke dokter dulu Mas," ucap Irene.
"Periksa apa?"
"Periksa kesuburan kita."
"Aku nggak mau. Untuk apa kita buang-buang biaya untuk periksa seperti itu. Sudahlah, jangan aneh-aneh deh Ren. Aku itu udah nggak kerja. Kita harus bisa berhemat. Nggak usah kebanyakan menghambur-hamburkan uang lagi."
Irene diam. Irwan memang susah untuk dibujuk. Fikirannya juga tidak pernah sejalan dengan Irene istrinya. Mungkin itu, yang membuat Irene dan Irwan sering bertengkar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments