Irene sejak tadi cuma mengaduk-aduk makanannya saja. Dia sama sekali tida nafsu makan. Sejak kejadian kemarin, saat pertengkaran kecil dengan suaminya, membuat selera makan Irene jadi berkurang.
Irene masih kefikiran saja dengan ucapan suaminya yang menganggap Irene itu wanita gampangan. Rasanya masih sakit banget hati Irene setelah mendengar ucapan suaminya kemarin.
"Ren. Kenapa makanannya cuma diaduk-aduk gitu? dimakan dong! Tuh lihat, Alma aja udah mau habis. Masak kamu kalah sama anak kecil," ucap Ifan.
Irene menghela nafasnya dalam. Dia kemudian menatap Alma.
"Wah, Alma hebat ya. Makannya udah hampir habis. Tante Iren masih separuh." Irene menunjukkan piringnya pada Alma
"Hehehe..itu karena aku udah lapar banget Tante." Alma hanya terkekeh.
"Oh...gitu ya?"
Alma mengangguk sembari mengunyah makanannya.
"Sebenarnya aku memang lagi ada masalah Mas. Tapi bukan dengan suami aku," ucap Irene tiba-tiba sembari menatap lekat mantan suaminya.
"Kalau bukan dengan suami kamu, lalu kamu punya masalah dengan siapa?" tanya Ifan penasaran.
"Orang tua aku Mas."
"Kenapa lagi dengan orang tua kamu?" tanya Ifan.
"Selama ini, mereka masih ikut campur aja urusan rumah tangga aku. Mereka juga selalu meminjam uang dan tidak pernah mengembalikannya. Terakhir tadi pagi, mereka ke sini dan meminjam uangku dengan paksa."
"Oh, jadi orang tua kamu itu dari dulu sampai sekarang nggak pernah berubah ya. Apa suami kamu itu tahu?"
Irene menggeleng.
"Mas Irwan belum tahu Mas. Dia nggak tahu apa-apa soal ini. Kalau saja dia tahu kelakuan orang tuaku, pasti dia akan marah besar sama aku. Bagaimana kalau nanti dia tidak membolehkan aku ketemu orang tuaku lagi. Mas Irwan itu orang yang sangat keras kepala."
"Oh gitu?"
"Selain itu, aku juga masih punya cicilan rumah dan mobil. Tapi, orang yang biasa aku andalkan sekarang sakit dan nggak bisa kerja. Jadi terpaksa aku yang harus ikut membantu melunasinya. Dan beban aku sekarang semakin bertambah sejak aku pinjam uang kamu."
Ifan hanya manggut-manggut
mendengar ucapan Irene. Ifan merasa iba pada mantan istrinya.
Ifan meraih tangan Irene dan menggenggamnya erat.
"Kamu jangan khawatir. Setiap orang punya rezeki masing-masing kok. Setiap masalah pasti akan ada jalan keluarnya. Kamu nggak usah sedih. Dan nggak usah terlalu memikirkan hutang kamu sama aku."
Ifan melepaskan tangan Irene. Dia mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang. Dia kemudian menyodorkan uang itu pada Irene.
"Ambilah ini," ucap Ifan.
"Lho. Apa ini Mas? uang untuk apa?" tanya Irene.
"Kamu jangan tersinggung ya! kamu terima saja uang ini. Aku ikhlas membantu kamu Ren. Aku tahu, pasti sekarang kamu sedang dalam kesulitan ekonomi. Karena suami kamu sekarang sudah tidak bisa kerja lagi. Dan orang tua kamu juga selalu merecoki hidup kamu. Aku nggak tega melihat kamu seperti ini Ren," ucap Ifan.
"Nggak Mas. Aku nggak mau menerima uang dari kamu. Aku masih punya uang kok. Dan uang itu juga masih cukup untuk biaya kehidupan aku dan suamiku."
Ifan tersenyum.
"Ren, kamu harus terima uang ini. Anggap aja ini gaji kamu untuk bulan ini."
"Gaji aku?" Irene menatap Ifan lekat.
Ifan mengangguk.
"Iya. Nggak apa-apa kan kalau gaji kamu aku bayar sekarang. Siapa tahu kamu butuh untuk kontrol kaki suami kamu ke dokter."
"Baiklah Mas. Terimakasih."
Irene akhirnya mau juga menerima uang pemberian Ifan. Dia memang sangat membutuhkannya sekarang.
****
Bruaak...
Irene terkejut saat mendengar suara benda jatuh dari dalam kamarnya. Irene yang sejak tadi masih memasak di dapur, segera berlari ke kamar untuk melihat apa yang terjadi di sana. Irene takut terjadi apa-apa dengan suaminya.
Irene terkejut saat melihat suaminya sedang meringis kesakitan karena terjatuh dari tempat tidur.
"Mas Irwan...!" seru Irene sembari berlari masuk ke dalam kamar.
"Apa yang terjadi sama kamu Mas?" Irene segera menolong suaminya. Dia mencoba untuk mengangkat tubuh suaminya dan mengembalikannya ke tempat tidur seperti semula.
Irene menghela nafasnya dalam. Dia duduk di sisi tempat tidurnya sembari menatap lekat suaminya. Dia benar-benar sedih saat melihat kondisi suaminya sekarang.
"Kamu nangis Mas?" tanya Irene.
Tidak biasanya Irene melihat Irwan menangis. Irene tidak tahu apa yang menyebabkan suaminya itu menangis. Mungkin saja karena saat ini, Irwan sedang menahan sakit akibat terjatuh tadi.
Irene kemudian buru-buru mengusap air mata suaminya.
"Kenapa kamu nangis Mas. Apa yang terjadi?" tanya Irene lagi.
"Aku sekarang sudah menjadi lelaki yang tidak berguna Irene. Mengambil gelas untuk minum saja aku nggak bisa," ucap Irwan penuh kesedihan.
"Jadi, kamu mau mengambil gelas itu Mas? Terus kamu terjatuh? kenapa kamu nggak nunggu aku dulu sih? kamu bisa kan minta tolong sama aku untuk ngambilin kamu minum."
"Bagaimana aku akan nunggu kamu Iren. Sementara aku haus banget dan kamu dari tadi di panggil-panggil juga nggak dengar."Irwan terlihat sangat kesal.
"Maafkan aku Mas. Aku tadi lagi masak. Jadi aku nggak dengar kamu manggil aku. Ya udah, sekarang aku sudah ada di sini Mas. Apa kamu mau minum? biar aku ambilkan."
Irwan mengangguk.
Irene kemudian mengambil gelas yang ada di atas nakas. Dia kemudian membantu Irwan untuk minum.
Setelah selesai minum, Irwan kemudian kembali berbaring di atas ranjangnya. Irwan tiba-tiba saja mengendus-endus seperti mencium sesuatu.
"Ren, kamu nyium bau gosong nggak?" tanya Irwan.
"Bau gosong?" ucap Irene.
Irene tiba-tiba saja teringat kalau dia sedang menggoreng ikan. Dan dia tinggal lari ke kamar.
"Duh Mas. Jangan-jangan ikan aku gosong. Tadi aku lupa matiin kompornya," ucap Irene.
Tanpa aba-aba, Irene segera berlari ke arah dapur. Dia melihat dua ekor ikan yang ada di atas wajan sudah menghitam karena gosong.
Irene tidak tinggal diam. Dia langsung mematikan kompornya.
"Huh, untung tidak semua ikan gosong. Cuma dua ekor aja yang gosong."
Irene kemudian mengambil ikan gosong itu dan membuangnya ke tong sampah.
Setelah selesai memasak, tiba-tiba saja suara ketukan pintu dari luar rumah Irene terdengar. Irene buru-buru melangkah ke depan untuk melihat siapa yang datang.
Irene membuka pintu depan. Tampak Fatma adik kandung Irwan sudah berdiri di depan pintu. Irene melebarkan senyumnya. "Fatma. Tumben banget kamu pagi-pagi sekali sudah datang ke sini. Biasanya kamu agak siangan ke sini."
"Aku mau nengokin Kak Irwan Kak. Aku bawa sesuatu untuk dia," ucap Fatma yang sudah membawa bingkisan kecil untuk kakaknya.
"Bawa apa?" Irene menatap bingkisan yang ada di tangan Fatma.
"Ini ada kue bolu. Mama sengaja membuat kue ini untuk kak Irwan dan kakak," Fatma menyodorkan bingkisan itu pada Irene.
"Terus, mama nggak ikut ke sini?" tanya Irene sembari menerima bingkisan kue dari adik iparnya.
"Mama belum punya waktu luang Kak. Lagi banyak orderan soalnya," jawab Fatma.
"Oh. Syukurlah kalau gitu. Jadi, banyak ya yang pesan kue sama mama?"
"Iya Kak."
"Makasih ya. Ayo masuk Fat. Kakak kamu ada di dalam."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments