...🍀🍀🍀...
Pasangan suami-istri itu sama-sama terkejut dan kontan menoleh pada Aryan dengan mata membulat. Seakan tak terima dengan apa yang dikatakan Aryan. Intinya Aryan tak ingin Ara dan Bram berpisah.
"Opa! Aku harus menikahi Giselle, Giselle tidak bisa melahirkan tanpa kehadiranku opa. Aku ayah bayinya dan aku harus bertanggung jawab," Bram bersuara dan membuat Ara muak.
"Dimana otakmu Bram? Apa kamu tidak memikirkan perasaan istrimu? Istrimu sedang hamil dan kau abaikan, kenapa kau malah memikirkan wanita yang bukan siapa-siapamu? Kau lupa, kalau Ara istri SAHMU, dia sedang hamil." tegas Aryan dengan tatapan tajam pada Bram. Aryan tidak habis pikir dengan kelakuan cucunya ini, bagaimana bisa dia memikirkan tanggung jawab kepada wanita lain sedangkan istrinya sendiri sedang hamil.
"Ma-af opa, tapi aku hanya kasihan pada Giselle. Dia hamil karena kesalahan yang tidak sengaja aku buat, aku tidak mungkin membiarkan dia malu." ucap Bram memelas, berharap Aryan akan mengerti dirinya.
Tidak tahu diri, itulah satu kata yang pantas untuk Bram saat ini. Ara merasa sangat tidak dihargai sebagai seorang istri, apalagi dia sedang hamil. Tapi Bram menganggapnya angin lalu.
"Haaahh...opa gak mau berdebat sama kamu. Lakukan saja apa yang opa mau, kamu tidak boleh menikahi wanita itu sebelum dia melahirkan anaknya dan kalian berdua tidak boleh bercerai sebelum Ara melahirkan. Keputusan opa sudah final," ucap Aryan sambil menghela nafas berat, dadanya masih terasa sesak namun ia memaksakan untuk bicara.
Aryan tau Ara sakit hati dan tidak ingin bertahan dengan Bram. Melihat sikap cucunya yang masih terjebak dengan wanita masa lalunya, pasti Ara banyak menahan derita selama ini. Namun Aryan ingin memberikan kesempatan pada hubungan Ara dan Bram sekali lagi.
Dalam hati Aryan meminta maaf, mungkin dia egois tapi Aryan tak ingin Bram berpisah dengan Ara. Gadis baik, sholehah dan cerminan istri yang sempurna.
"Opa!" sergah Bram tak terima dengan keputusan Aryan.
Gimana ini, aku tidak bisa menikahi Giselle secepatnya. Dia pasti marah padaku.
"Cukup...Bram... ahhh..." Aryan memegang dadanya yang terasa sesak lagi. "Haahh... haaihhh..." nafas Aryan tersengal.
"Opa...opa gak apa-apa?" Ara beranjak dari tempat duduknya dan seketika wajahnya langsung berubah menjadi panik, ketika melihat pria tua itu memegang dadanya dengan nafas yang tersengal-sengal.
"Ra, cepat panggil dokter!" titah Bram pada istrinya.
"Iya mas." Sahut Ara singkat, kemudian dia berlari keluar dari ruangan itu untuk memanggil dokter.
Tak berselang lama, seorang dokter laki-laki spesialis jantung datang ke ruangan itu dan memeriksa kondisi Aryan. "Kondisi pak Aryan tidak baik, mohon untuk menjaga perasaannya karena perasaan lebih penting untuk membuat kondisi kesehatan pak Aryan membaik."
"Baik dok." jawab Bram, sementara Ara terdiam sambil menahan tangisnya sedari tadi karena sikap Bram.
Setelah itu, Bram dan Ara saling melihat satu sama lain. Lagi-lagi Bram menyalahkan Ara karena ketahuan pergi dari rumah dan Aryan jadi masuk rumah sakit. Tentu saja Ara tak terima di salahkan dan balik menyalahkan Bram. Tapi Bram tidak mau disalahkan.
"Mas! Cukup! Memangnya aku mau bertahan sama kamu? Aku juga tidak mau bertahan sama kamu, aku ingin cerai...tapi kamu dengar sendiri kan apa kata opa dan apa kata dokter?"
Bram terdiam sejenak, beruntung masih ada hati didalam pria tak berotak ini. Dia juga memikirkan kondisi Aryan.
"Wanita itu memang hamil, tapi aku juga hamil anak kamu mas, tapi kamu sama sekali tidak memperdulikan aku. Ingat mas, aku istri kamu!" tegur Ara mencoba menyadarkan Bram. Sebisa dan sekuat mungkin, ia menahan air mata itu agar tidak turun.
"Bukankah sudah kubilang, aku tidak menginginkan anak darimu! Kenapa kamu tak paham?!" hardik Bram pada Ara.
"Kalau tidak menginginkan anak, kalau tidak cinta padaku, kenapa kamu menjamah tubuhku mas? Kenapa kamu memberikan nafkah batin padaku?" wanita itu memegang-megang dadanya yang terasa sesak.
Bram menaikkan alisnya, dia tersenyum menyeringai kemudian berdecih. "Hah! Itu kan karena kamu yang menggodaku,"
"Apa?" Ara terperangah mendengar jawaban Bram yang ketus sekaligus menusuk ke dalam hatinya. Raut wajah Bram juga tampan memuakkan.
"Iya, kamu yang menggodaku! Apa kamu lupa kalau waktu itu kamu memakai pakaian tipis? Kamu pikir aku tidak tahu akal bulusmu? Wanita sepertimu adalah wanita yang tidak tahu diri, menikah dengan pria kaya lalu hamil anaknya dan ujung-ujungnya ingin uang, iya kan?"
Ara melotot menatap suaminya, sungguh sakit dia dituduh seperti itu. Bagaimana bisa ia mencintai Bram? Pria yang bahkan tidak pernah menghargainya karena kehadiran wanita dari masa lalunya.
"Aku tidak seperti apa yang kamu tuduhkan Mas!" seru Ara emosi.
"Apa yang dikatakan Bram memang benar, kamu tidak usah menyangkalnya. Kamu butuh uang berapa hah?" tanya Rania yang tiba-tiba saja sudah ada di tengah-tengah mereka.
"Kak Rania, saya tidak seperti itu kak." ucap Ara menyanggah.
Rania dan Kanaya melihat Ara seolah dia adalah serangga pengganggu. Sementara diantara mereka ada Olivia, adik Kanaya yang terbilang cuek. Dia tidak membenci ataupun memihak Ara.
"Alah....kalau kamu tidak begitu, kenapa kamu mau saja dijodohkan dengan Bram? Pasti karena Bram kaya dan dia satu-satunya anak laki-laki pewaris tunggal di perusahaan Wiratama."
"Dasar munafik! Sok polos, karenamu opa sampai masuk rumah sakit." cetus Kanaya ikut ikutan ibunya memaki Ara. Menyalahkan semua itu padanya.
Tatapan mata mereka begitu tajam pada Ara, kecuali Olivia yang biasa saja. Ara sakit hati oleh semua perlakuan keluarga suaminya, tapi dia lebih sakit karena Bram sama sekali tidak membelanya.
Aku terbiasa dengan caci maki mereka, aku terbiasa dengan tatapan mereka yang selalu tajam padaku. Hatiku sakit, tapi tidak sesakit saat kamu mengabaikan aku Mas. Kenapa dengan bodohnya, aku masih berharap bahwa kamu peduli padaku? Sedangkan rasa cinta saja tidak pernah ada di dalam hatimu untukku. Sakit hatiku Mas, aku istrimu dan kamu malah diam saja melihat istrimu disakiti seperti ini. Padahal dulu setidaknya kamu menghargaiku walau tak ada cinta.
Buliran bening akhirnya jatuh membasahi pipi Ara, tapi sayangnya hal itu tidak membuat Bram, kakak dan sepupunya menaruh simpati pada Ara.
"Malah nangis lagi?" decak Bram kesal melihat air mata Ara.
"Cengeng kamu!" kata Kanaya tidak ada sopan sopannya.
"Lebih baik kamu pergi dari sini!" usir Rania dengan ketus pada Ara.
"Sa-saya akan kembali..." Ara menguatkan hatinya, dia mengusap air matanya. Lalu memegang perutnya yang masih datar itu.
Sayang, maafkan mama...maafkan mama karena menangis nak. Maafkan mama...
Ara pergi dari sana dan memutuskan untuk pergi ke mushala rumah sakit, dimana ia mengadukan semuanya pada tuhan. Bram melihat kepergian Ara ke mushala rumah sakit yang tak jauh dari sana. Sementara Kanaya, Olivia dan Rania masuk ke dalam ruangan Aryan.
Tak lama kemudian, ponsel Bram berdering dan Bram langsung mengangkat teleponnya begitu melihat nama sayang tertera disana.
"Halo sayang," suara Bram lembut.
"Bram sayang kamu cepat kesini!"
"Kenapa sayang? Ada apa dengan suaramu?"
"Papa dan kakakku akan datang dari luar negeri, mereka mau ketemu sama kamu. Gimana ini? Aku takut Bram."
"Iya sayang, aku akan segera datang kesana dan menjelaskan semuanya."
"Aku tunggu ya sayang," ucap Giselle dengan suara mendayu-dayu.
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Dewi Nurani
si kakek gak punya hati
2024-05-05
0
Hera Edrina
Ara ..adalah lkon utama paling bodoh yg diciptakan author
2023-10-06
0
Julia Santoso
egois sekali si kakek.. kalau kakek sayang ara, kakek justru harus membebaskan ara dari bram..
2023-10-04
0