...🍀🍀🍀...
Setelah bicara dengan Mia, Ara memutuskan untuk pulang sendirian karena ia tidak mau diganggu oleh siapapun juga saat ini. Sudah cukup ia jantungan saat melihat fakta bahwa suaminya memiliki anak dengan wanita lain dan ditambah lagi, suaminya itu lebih memilih si pelakor daripada dirinya yang jelas-jelas adalah istri SAH.
Ara kembali ke rumahnya dengan mengendarai mobil taksi, wanita itu sedih, langkahnya gontai dan matanya sembab. Usia kandungannya sudah menginjak 3 bulan dan di masa-masa seperti ini. Ara sangat membutuhkan Bram, suaminya karena ia seringkali morning sickness parah. Tapi memang dasar suami sialan, Bram lebih peduli pada wanita yang hanya berstatus sebagai kekasihnya.
Apa Bram pikir hanya karena Ara diam saja maka dia tidak merasakan sakit? Maka dia membiarkan semua ini? Tidak! Hati Ara sakit, sangat sakit. Tapi dia bertahan karena apa saj karena siapa?
Pertama, mungkin karena cinta dan kedua karena anak yang ada didalam kandungannya. Bagaimana mungkin anak itu lahir tanpa sosok papanya? Pada dasarnya Ara adalah seorang wanita yang berpikiran ke depan dan berpikir masa depan. Dia tak mau bila nanti anaknya menanggung malu karena punya orang tua yang bercerai.
Sepulang dari rumah sakit, Ara jatuh terduduk di lantai dengan keadaan lemas. Air matanya tak terbendung lagi, Ara menjerit sejadinya, menumpahkan semua kesal dan sakitnya di rumah mewah itu. Beruntung tidak ada siapapun di rumah itu selain dirinya karena beberapa hari yang lalu, Bram memecat asisten rumah tangga yang selalu membantu Ara bersih-bersih rumah sebesar itu dengan alasan bahwa dia tak mau buang-buang uang dan Ara bisa melakukannya lebih baik dari seorang pembantu.
Sakit! Perih hati wanita yang bernama lengkap Haura Yameena Arandita itu.
"Hiks...hiks...tega sekali kamu Mas, kamu jahat padaku....kamu jahat pada aku dan calon anak kita. Meskipun kamu tidak mencintaiku, tapi setidaknya kamu hargain perasaanku sebagai istri sah mu mas...kenapa mas...kenapa....hiks..." Ara menangis tersedu-sedu, satu tangannya memegang perut yang masih datar itu. "Maafkan mama anak, maafkan mama...mama tidak bisa bertahan dengan papa kamu...rasanya sakit buat mama nak..Tolong izinkan mama egois sekali saja nak!"
Logika mengatakan bahwa dia tidak boleh menangis, tidak seharusnya menangis karena dokter bilang tidak baik untuk perkembangan bayinya. Tapi apalah daya, hatinya yang berkuasa dan menguasai tubuhnya saat ini.
"Aku cinta padamu Mas, tapi aku tidak mau jadi bodoh karena cinta...aku tidak mau terus-terusan kamu sakiti seperti ini. Aku punya hati!" Ara menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak.
Ketika Ara sedang menumpahkan air mata dan kekesalannya di rumah sendirian. Bram dan Giselle tengah berada dalam masalah besar karena berita tentang mereka viral si medsos. Ya, itu karena Giselle adalah seorang public figur dan Bram pengusaha terkenal.
Mereka berdua malah menyalahkan Ara atas semua yang terjadi hari ini. Giselle bahkan menangis dan takut masa depannya sebagai model akan berakhir.
"Bram, gimana ini? Hiks...hiks...karirku akan hancur, aku dipanggil pelakor! Aku gak sudi! Padahal wanita kampungan itu yang merebutmu dariku." Giselle menangis terisak didalam pelukan Bram.
Bram tengah menepikan mobilnya dijalankan sepi yang tak jauh dari rumahnya. Ia pun menghibur Giselle untuk tidak menangis lagi.
"Sayang, kamu jangan nangis lagi. Semuanya akan baik-baik saja karena kamu masih punya aku."
"Ini semua gara-gara istri kamu Bram, pokoknya aku gak mau tau! Kamu harus menceraikan dia!" teriak Giselle merajuk pada kekasihnya.
"Iya, kamu benar...ini semua gara-gara dia dan teman kampungannya itu! Kamu tenang saja sayang, aku akan berikan dia pelajaran!" seru Bram kesal, ia mengepalkan tangannya dengan kuat. "Ara! Awas kamu!" geramnya.
Giselle tersenyum mendengar kemarahan Bram. "Akhirnya setelah ini aku bisa menjadi nyonya Wiratama."
Sebagai pengusaha berpengaruh, tentu saja Bram bisa membungkam berita itu dengan uang. Walau tidak semuanya terbungkam, Bram bisa pastikan bahwa kakeknya tidak mendengar semua ini. Ya, Aryan tidak mendengar berita itu dan sibuk terapi di rumah bersama dengan terapisnya.
****
Malam itu Bram pulang ke rumah yang ia tinggali bersama Ara. Tanpa mengucap salam, ia juga menendang pintu itu dengan kasar. Ia melihat Ara sedang makan sate dengan teman lontong disana.
"Oh! Jadi malam ini kamu pulang ke rumah Mas?" sindir Ara yang berbeda dari biasanya.
Bram menatap istrinya dengan marah, kemudian dia membanting sate beserta piringnya sampai jatuh ke lantai.
Prang!!
Ara terlihat datar, tidak seperti biasanya dia akan menangis ketika Bram mengamuk seperti ini. Ara mencoba menguatkan hatinya untuk menangis.
"Haaahh...kenapa kamu banting piringnya Mas? Anak kita sedang makan," ujar Ara dengan bibir gemetar menahan marah.
"Berhenti mengatakan anak kita anak kita! Anakku hanya dari Giselle saja! Bukan KAU!" teriak Bram seraya menunjukkan jarinya tepat di wajah Ara.
"Baiklah terserah mas saja, jadi mas mau menikahinya?" tanya Ara dengan nada bicara meremehkan dan Bram terlihat tidak menyukainya.
"Tentu saja dan aku akan menceraikanmu sekarang juga!"
"Silahkan mas... silahkan kalau mas bisa menceraikanku." Ara tersenyum pahit dengan ucapannya sendiri. Dia menahan tangis dengan tawa, sungguh rasanya sangat sakit.
"Kau pikir aku tidak BiSA?" bentak Bram marah.
"Berisik Mas, aku juga mendengarnya tanpa kamu harus membentak!"
Bram mendengus marah, lalu dia menampar Ara dengan keras. Ara mendongak dan balas menampar suaminya. "Kamu menamparku, Ara?!"
"Ya, aku menamparmu dan aku akan melakukannya lagi." ucap Ara sakit hati, mencoba berani ternyata tak mudah. Hatinya masih saja lembut.
"Kau BERANI!"
Ketika Bram hendak melayangkan tamparannya kembali pada Ara. Sosok Giselle sudah berada diambang pintu, lalu ia berjalan menghampiri Bram. Giselle membawa kopernya yang berwarna pink. Fokus Ara teralihkan padanya.
"Bram, kenapa aku ditinggal sendirian?"
"Maaf sayang, ayo duduk dan istirahatlah. Kamu tidak boleh berdiri lama-lama sayang, nanti anak kita kecapekan," ujar Bram lalu membantu Giselle membawa kopernya dan meminta wanita itu duduk di sofa empuk.
Sungguh hati Ara tersayat lagi dan lagi oleh kelakuan suaminya dan Giselle. Ketika dirinya berjuang seorang diri dalam keadaan morning sickness, ia diperlakukan seperti babu sedangkan Giselle mendapatkan perlakukan bagai Ratu oleh Bram.
Cukup! Sudah cukup Ara!
Batinnya berteriak tak tahan. Bahkan luka disudut bibirnya saja dia tak sadar.
"Apa maksudnya semua ini mas?" tanya Ara dengan suara tegas dan atensi begitu tajam pada Giselle dan Bram.
"Apa yang harus aku jelaskan padamu? Giselle akan segera jadi istriku, jadi dia akan tinggal disini." kata Bram dingin.
"Jadi kamu mau tinggal disini dengan si pelakor ini?"
"Jaga mulutmu!" sergah Bram dengan tatapan tajam pada istrimya.
"Maaf ya Haura, tapi aku juga sedang hamil anak Bram. Aku benar-benar minta maaf karena aku--"
"Jangan meminta maaf, tolong! Ini juga salah suamiku karena tergoda olehmu."
"Haura Yameena Arandita! Kenapa bicaramu kasar sekali?!" suara bariton itu kian meninggi manakala ia mendengar Ara semakin berani padanya. "PERGI kau dari rumah ini sekarang juga!"
Tanpa kata, Ara membawa koper yang memang sudah ia sudah siapkan dari tadi sore. Setelah memikirkannya matang-matang, ia memang harus pergi dari tempat yang bernama rumah tapi tak pernah jadi rumah untuknya, hanya neraka.
Menjadi istri tak dianggap, akhirnya ia berada dititik lelahnya. Yaitu saat ini.
"Baik mas, aku pergi.... terimakasih mas karena aku tidak perlu repot-repot meminta izinmu. Ingatlah mas, bahwa kau yang mengusirku! Kamu akan menyesal MAS!" tegas Ara pada suaminya, namun sedikit pun Bram tidak peduli pada Ara dan malah sibuk dengan Giselle yang merengek ingin makan soto babat.
Ara pun pergi dari rumah itu dengan mengucapkan salam pelan-pelan, ia bahkan mendoakan Bram semoga pria itu bahagia bersama Giselle. Doa Ara tulus padanya tapi dianggap ejekan oleh pasangan pezina itu.
*****
Hujan deras mengguyur jalanan itu pada malam hari. Terlihat seorang wanita dengan rambut panjang, mendorong kopernya di jalanan dan ia kehujanan. Ya, dia adalah Ara yang baru saja diusir oleh suaminya.
Air matanya bercampur dengan derasnya air hujan, membasahi seluruh tubuhnya. "Baiklah Ara, ini sudah batasnya...batas kesabaranmu...semuanya sudah cukup! Aku tidak bisa selalu sabar, aku bukan malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu dan amarah. Aku manusia, aku punya hati...aku punya batas kesabaran!" teriak wanita itu dalam derasnya air hujan. Dia menangis terisak meratapi nasibnya.
"Sudahlah Ara, lebih baik kamu hidup berdua saja bersama anakmu...daripada hatimu membatin tinggal bersamanya." Ara mengelus perutnya. "Nak, kamu akan hidup berdua dengan mama...mama akan merawatmu dengan baik, mama akan menjadi mama sekaligus papa untuk kamu. Mama bisa nak, mama bisa..." Ara meyakinkan pada dirinya sendiri, bahwa ia bisa hidup bersama dengan anaknya tanpa Bram.
...****...
Jangan tanya kapan Bram menyesal ya 🤧🤧
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Shinta Dewiana
tapi belum di talak ini..walaupun blm resmi berpisah krn lg hamil
2024-05-03
0
Desi
ya nga sah perpisahan mereka apalagi ara menikah
ada can la ara nga nikah nikah
2024-01-18
0
Endang Oke
hamil begitu msh muda tdk bahagia stress. bahaya utk bayinya. bisa kena penyakit sindrom atau keterbelakangan mental.
hamil hrs bahagia. gizi yg baik.
ini stress begitu
2023-12-31
0