...🍀🍀🍀...
Tubuh pria tua itu ambruk di depan Ara, nafasnya tersengal sembari memegang dada. Bram dan Ara jadi panik saat melihatnya, mereka takut terjadi sesuatu pada Aryan.
"Opa...opa!!" teriak Ara sambil berusaha membopong tubuh Aryan, Bram juga tidak diam saja dan ikut membantu membopong Aryan.
"Ini semua gara-gara kamu!" ujar Bram seraya menatap sinis pada Ara. Kata sayang dan sikap lembutnya yang tadi menghilang dalam sekejap. Ya, dan Ara juga sudah tau kalau tadi Bram hanya berpura-pura dan kini Bram menunjukkan sifat aslinya.
"Berhenti menyalahkan ku, Mas! Sekarang lebih baik kita bawa opa ke rumah sakit."
Malas berdebat, Ara mencoba bersikap untuk lebih datar dan dingin pada Bram. Ia lebih mementingkan bagaimana kondisi opanya saat ini yang lebih gawat, daripada menghabiskan waktu untuk berdebat dengan suaminya.
Tidak banyak bicara, Ara, Aryan dan Bram masuk ke dalam mobil sedan berwarna hitam itu. Di kursi kemudi, terlihat Pak Seno bersiap-siap untuk menyalakan mesin mobilnya. Seno terlihat mencemaskan Aryan.
"Tuan besar kenapa?"
"Udah deh, kamu tidak usah banyak tanya! Cepat jalankan mobilnya pergi ke rumah sakit!" serka Bram ketus pada Seno.
Seno pun segera tancap gas membawa mobilnya menuju ke rumah sakit. Di dalam perjalanan, Ara baru teringat bahwa dia belum meminta izin pada Ratih karena ia begitu panik dengan kondisi Aryan.
Beberapa menit kemudian, mereka pun sampai di depan ruang UGD rumah sakit di kota tersebut. Bram dan Seno membawa Aryan ke atas brankar yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit. Wajah pria itu terlihat sangat pucat, bibirnya berwarna putih seakan tidak memiliki darah.
"Opa...opa harus baik-baik saja!" pinta Ara kepada pria tua itu dengan mata yang berkaca-kaca. Ia berdoa dengan setulus hatinya, semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Aryan.
Kini Aryan sudah dibawa ke dalam ruang UGD untuk segera mendapatkan penanganan dari dokter. Tepat di depan ruang UGD, Ara dan Bram duduk di kursi yang ada disana. Mereka saling memandang dengan tidak suka.
"Kalau terjadi sesuatu pada Opa, Aku tidak akan tinggal diam!" jari Bram menunjuk-nunjuk pada wajah Ara dengan emosi.
"Kenapa jadi salahku Mas? Apa salahku?"
"Kamu tanya, apa SALAHMU?" suara Bram mulai meninggi kurang lebih satu oktaf. Sekarang Ara sudah mulai terbiasa dengan suara Bram yang selalu membentaknya.
Suara bentakan suaminya, tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya. Rasa sakit, saat atau suaminya mempunyai anak bersama wanita lain.
"Ya, apa salahku Mas? Sehingga kamu menyalahkanku," ujar Ara yang tidak mau disalahkan karena ia merasa tak salah. Ia juga tak mau mengalah lagi kepada pria ini.
"Kalau kamu tidak menolak ajakan opa, mungkin penyakit jantung Opa tidak akan kumat. Apa kamu tolol? Tidak bisakah kamu paham situasi? Opa sedang sakit dan kamu malah mengatakan sesuatu hal yang bisa memicu penyakitnya kumat." hardik Bram pada istrinya. Dia menyalahkan semua pada istrinya atas yang terjadi pada Aryan.
Bram memang egois.
"Hahaha..." Ara tertawa miris, namun dia menangis. Sungguh sakit hatinya harus menerima hinaan dari Bram.
Bram menoleh ke arah istrinya, dia melotot tajam. "Aku merasa tidak ada yang lucu di sini."
"Ada Mas, kamu...kamu lah yang lucu!" wanita itu kontan menoleh dengan mata berkaca-kaca pada suaminya yang duduk tepat di seberangnya. Tapi tak ada sedikitpun rasa iba dalam diri Bram pada calon ibu dari anaknya itu.
"Apa? Jadi kamu menyalahkanku?!" ucap Bram tak terima dengan tatapan tajam dari Ara.
"Ya, ini semua salahmu. Kalau saja kamu tidak berselingkuh, kalau saja kamu tidak mengusirku dan kalau saja pelakor itu tidak hamil, opa pasti--"
Plakk!
Sebelum Ara menyelesaikan kata-katanya, sebuah tamparan keras keras mendarat di pipi Ara, hingga wanita itu jatuh tersungkur ke lantai. Hal pertama yang selalu Ara lindungi adalah perutnya, setelah mendengar Mia mengatakan apa yang dikatakan dokter tentang kandungannya yang lemah. Ara tidak akan membiarkan terjadi sesuatu pada kandungannya.
"Beraninya kau menyalahkanku!"
Beruntungnya tidak ada siapapun yang melihat kejadian itu, kecuali kamera CCTV yang ada disana. Mungkin.
Ara kembali berdiri setelah tamparan yang luar biasa sakitnya itu, sampai ia jatuh bahkan sampai bibirnya terluka. Padahal semalam bekas tamparan Bram juga belum kering.
"Ya, ini memang salah Mas. Aku sama sekali tidak salah...kamu yang mengusir aku, ya aku pergi. Lalu dimana salahku?" tanya Ara memberanikan diri walaupun sebenarnya dia gemetar ketakutan.
Dia tidak menyangka bahwa Aryan yang sebaik itu bisa mempunyai cucu yang seperti iblis. Kenapa ia bisa menikah dan jatuh cinta pada sosok berwujud manusia ini? Bahkan sampai mempunyai anak dengannya, harusnya Ara berhati-hati. Ada sesal di dalam hatinya. Kalau dia bisa memilih takdir, ia memilih untuk tidak dipertemukan dengan Bram dan keluarganya. Seandainya saja ia tidak pernah memberikan hatinya pada Bram yang belum selesai dengan masa lalunya dan tidak mencintainya, ia tak akan sesakit ini. Salahnya adalah menyerahkan hati pada suaminya.
Seandainya saja dia tidak hamil...ah tidak. Ara tidak bisa menyalahkan kehadiran bayi didalam perutnya. Dia tidak bersalah, dia adalah anugerah dan hadiah dari Allah SWT, amanah yang harus ia jaga.
Tak lama kemudian, pintu ruang UGD pun terbuka. Atensi Ara dan Bram pun tertuju seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu.
Wajahnya tidak terlalu baik, bahkan terdengar helaan nafas berat dari sang dokter.
"Dok, bagaimana keadaan Opa saya?" tanya Bram pada dokter itu.
"Alhamdulillah pak Aryan telah melewati masa kritisnya, namun tekanan darah dan kondisi jantungnya belum bisa dikatakan aman. Sebisa mungkin, tolong jangan buat pak Aryan tertekan, stress, karena suasana hati akan sangat berpengaruh untuk kesehatan jantungnya."
Kontan saja Bram menoleh pada Ara dengan sinis."Kamu dengar itu, Ara?"
Ara hanya mengusap dada, menahan marahnya. Sungguh tak tahu malu, Bram yang salah dan malah menyalakannya.
"Oh iya, pak Aryan menyampaikan pada saya, bahwa beliau ingin bertemu dengan cucu dan cucu menantunya." lanjut sang dokter pada Ara dan Bram.
Setelah Aryan dipindahkan ke ruang perawatan, barulah Ara dan Bram akan menemuinya. "Hey! Ingat, jangan bicara macam-macam pada opa. Kamu dengar sendiri kan, apa kata dokter?"
"Aku tau." jawab Ara ketus, lalu berjalan mendahului Bram dan masuk ke dalam ruang rawat Aryan.
"Wanita kampungan sialan!" pria itu berdecih kesal melihat sikap Ara yang sekarang. "Padahal dulu dia selalu bersikap lembut dan menurut, tapi kenapa sekarang dia jadi pembangkang begitu?" Bram terheran-heran.
Lalu ia pun ikut masuk ke dalam ruangan kakeknya di rawat, mengikuti Ara yang sudah lebih dulu berada didalam sana.
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Dewi Nurani
deuh si kakek malah nambah derita ara
2024-05-05
0
Shinta Dewiana
heee...opa aryan jangan kau siksa ara....cucumu itu biadap
2024-05-03
0
Hotma Gajah
Tua bangka sumber penderitaan orang lain
2023-12-28
1