...🍀🍀🍀...
Keesokan harinya, Ara bangun dari tidurnya dengan kondisi yang sudah lebih baik dari semalam. Ia bahkan tak ingat kapan dirinya sampai di rumah Mia.
Pasti pak Regan yang mengantarku kemari, aku harus berterimakasih padanya nanti.
Usai mandi dan shalat subuh, Ara keluar dari kamar Mia. Ara pergi ke dapur dan melihat Ratih tangan menyeduh susu hangat. "Kamu udah bangun, Ra?"
"Udah Bu, baru aja beres mandi sama shalat subuh." jawab Ara sembari tersenyum.
"Minum susu hangat dulu ya. Ini sih susu biasa bukan susu hamil, tapi kata dokter Arga...kamu harus minum susu biar bayinya kuat dan sehat." Ratih begitu perhatian pada Ara, ya seperti pada anaknya sendiri.
Hati Ara dibuat terenyuh saat mendapatkan perhatian dari ibu sahabatnya itu. "Iya Bu."
"Kita ke ruang tengah yuk?" ajak Ratih pada Ara.
Kini dua wanita itu tengah duduk berhadapan, Ara meneguk secangkir susu vanilla itu pelan-pelan karena masih panas. Sejujurnya, ia tak suka susu tapi demi bayinya, dia membiasakan itu.
Selama kehamilannya, Bram tidak pernah memperhatikan Ara. Apa yang ia makan, apa yang terbaik untuk bayi mereka. Tidak ada satupun perhatian darinya. Bram tidak pernah menganggap kehadiran bayi itu dalam hidupnya. Jelas saja, Bram bahkan pernah membawa Ara ke tempat aborsi. Tapi hal ini hanya Ara saja yang tau, ia tak mau ada yang tau aib suaminya. Dan selalu saja Ara menutupi semua itu.
Miris, sakit, saat Ara mengingat kejadian kemarin siang dan tadi malam. Rasanya ia tak sanggup lagi hidup bersama Bram yang sudah berulang kali menyakitinya. Tak cukup berselingkuh, selingkuhannya juga hamil. Perih, tapi ia tak berani menceritakan hal ini pada siapapun. Memendam sendirian, menyelesaikannya sendiri, selalu menjadi sifatnya.
"Ra...bisa kamu ceritakan apa yang terjadi semalam? Bram yang mengusir kamu, atau kamu yang pergi dari rumah?"tanya Ratih begitu peduli pada Ara.
Ara tercekat, netranya bertemu pandang dengan Ratih. Ara agak ragu untuk bicara yang sebenarnya, entah ia harus mulai dari mana.
Tak kunjung mendapatkan jawaban dari Ara, Ratih kembali bertanya. "Ra...apa Bram suka memukul kamu?"
"Ti-tidak Bu!" sangkalnya dengan terbata dan kedua matanya membola lebar.
"Jadi benar dia suka mukulin kamu?" tanga Ratih lagi, yang yakin bahwa Ara berbohong bila dia menyangkal dengan cepat begini.
"Enggak Bu!"
"Ara, bohong itu dosa nak." Ratih menatap sendu pada wanita itu.
Lalu tanpa sadar air mata mengalir deras begitu saja dari kedua mata Ara. Tangannya meremass rok panjang yang ia kenakan.
"Ra..." Ratih beranjak dari tempat duduknya dan mengambil alih untuk duduk disamping Ara. Tangannya mengelus kepala Ara dengan lembut.
"Mas Bram tidak pernah...me-memukulku Bu...dia baik...hiks..."
Ratih tidak tega mendengar penyangkalan demi penyangkalan yang dilakukan oleh Ara terhadap suaminya. Ia memeluk wanita yang tengah terisak itu. Mengingat Ara mengigau semalam tentang Bram yang memukulnya dan ingin membunuh bayinya, membuat hati Ratih terluka.
"Nak, kalau kamu tidak kuat dengan pernikahan ini...maka--"
"Bu, jangan katakan itu! Kumohon." Ara sudah tau kata yang akan diucapkan oleh Ratih selanjutnya.
"Ara..."
"Tidak semudah itu untuk berpisah Bu, aku punya anak dari mas Bram. Aku sedang hamil dan ini berat untukku Bu." Ara mengusap air matanya, berusaha tegar didepan Ratih. Tanpa sadar Mia ada diambang pintu kamar dan mendengar itu semua.
Berat memang, seandainya kalau Ara tidak hamil pasti akan mudah jalannya untuk berpisah. Tapi keadaannya tengah berbadan dua dan anaknya membutuhkan seorang ayah. Sebenarnya saat Ara pergi dari rumah tadi malam, Ara memang ingin berpisah dan hidup berdua bersama anaknya. Tapi ia mendapatkan mimpi tentang anaknya yang hidup tanpa seorang ayah.
Lagipula perceraian memang bukan hal yang mudah.
"Lalu Lo mau bagaimana, Ra? Mau terus disakiti sama dia kayak orang bego?" kata Mia sedikit sarkas, kalau sudah emosi Mia bisa mengeluarkan makian dan umpatan.
"Mia! Jaga bicara kamu nak." tegur Ratih pada Mia.
"Ra, apa Lo bakal bertahan sama dia dan pelakor yang lagi hamil itu? Ra, Lo itu manusia bukan malaikat!"
"Aku...aku..." Ara terlihat ragu.
"Gue cuma kasihan sama Lo, sama batin Lo dan bayi Lo. Kalau Lo terus-terusan sama dia, Lo pasti menderita, bayi Lo juga pasti bakal kenapa-napa." tutur Mia kesal. "Ah...apa jangan-jangan Lo masih cinta sama si bajingan itu?"
Ara tercekat, ia tak mampu menjawab pertanyaan itu. Seakan membenarkan apa yang dikatakan oleh Mia. "Ra! Lo itu--"
"Memang benar, aku masih memiliki cinta untuk Mas Bram. Tapi alasan aku bertahan karena bayi kami." jelas Ara jujur. Ara memang sudah sedikit hilang cintanya pada Bram, tapi alasan dia bertahan karena anak yang dikandungnya.
"Ara, ibu sama gue bisa bantu Lo ngurus bayinya. Mending Lo pisah deh sama dia, Ra! Hubungan toxic ini gak bisa dipertahankan." Mia duduk di depan Ara dan berusaha mengubah pikiran Ara yang ragu untuk berpisah.
"Mia, udah...Ara butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Lebih baik kamu siap-siap kuliah. Biar Ara izin dulu satu hari ini." tegas Ratih memotong percakapan ini. Ratih tau Ara butuh waktu berpikir.
Hari pun berganti menjadi siang, matahari mulai terik. Mia pergi ke kampus, sementara Ara berada di rumah Mia dan merenungkan nasibnya.
Ratih yang kebetulan tidak bekerja, dia stay menemani Ara di rumah. "Ra, ibu jemur dulu pakaian ya. Kamu tunggu disini."
"Aku bantu ya Bu."
"Gak usah, kata dokter kamu harus bed rest jangan banyak gerak dulu." Ratih tersenyum, kemudian meninggalkan Ara di depan teras rumah dan pergi ke halaman belakang untuk jemur pakaian.
Ara terdiam dan melamun, tiba-tiba saja dia terkejut melihat Bram dan Aryan sudah ada dihadapannya.
"Opa..." Ara terperanjat melihat kedatangan Aryan dan Bram.
Aryan langsung memeluk Ara sambil menangis. "Kenapa kamu pergi nak? Kamu tega sama opa?"
"Opa...opa jangan nangis," Ara melemah ketika berhadapan dengan pria tua itu.
"Kita pulang ya nak, opa sudah mengusir wanita jallang itu dari rumah kalian! Opa tidak akan membiarkanmu bercerai dari Bram, selamanya hanya kamu cucu nanti perempuan opa." Aryan memegang tangan Ara, buliran air mata terlihat di wajah keriput Aryan.
Ya Allah....Ara jadi tidak tega.
"Ara...ayo kita pulang sayang." kata Bram dengan suara lembut pada wanita itu. Namun tatapan matanya dingin dan tajam.
Mas Bram? Dia pasti berpura-pura. batin Ara kesal.
"Maaf Opa, tapi Ara gak bisa pulang."
Dengan berat hati, wanita itu menolak keinginan sang kakek.
"A-apa?" Aryan terbelalak mendengarnya.
"Ara gak bisa pergi, Ara tidak bisa tinggal bersama mas Bram lagi," tegas wanita itu yang membuat Bram dan Aryan terkejut dengan keputusannya.
Huh beraninya wanita ini menolak ajakan ku!. Bram kesal.
Dan ya, setelah melihat suaminya yang berpura-pura, rasa cinta itu kalah oleh benci. Ara mengubah keputusannya untuk tinggal terpisah dengan Bram.
Tidak bisa Mas, aku tidak sanggup lagi bila harus hidup satu atap bersama pria yang memperlakukanku dengan kasar dan dingin. Aku tidak mau stress dan membuat bayiku kenapa-napa.
"Ara! Kamu jangan---ugghhh..."
Bram dan Ara terkejut melihat Aryan tiba-tiba memegang dadanya, pria tua itu kesakitan. "OPA!!"
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
MUSFIRA
Klo pnya suami tukang selingkuh...jngn pernah menangis..apalgi baik..suami selingkuh mah di tendang ajha baru benar..jadi perempuan jngn lemah ARA..apalagi baru hmil pertama
2023-08-15
1
⚘️💙⚘️ Neng Gemoy ⚘️💙⚘️
nah ... gitu donk Ra ... tegas !! 👍
2023-02-07
0
⚘️💙⚘️ Neng Gemoy ⚘️💙⚘️
Ara ngapain masih melindungi penjahat ?
2023-02-07
0