Spica yang dari tadi berdiam diri dalam kebingungan, akhirnya menyetujui ajakan Vano. Mereka berempat, Vano, Agung, Dian, dan Spica menaiki mobil Terios milik Vano.
Agung duduk di samping Vano yang sedang menyetir sedangkan Dian di kursi belakang bersama Ica, yang sedari tadi berdiam diri.
Dian yang aslinya senang bercanda dan jahil terhadap teman-teman merasa tidak nyaman berdiam diri.
"Bro nanti kalau mba cantik sudah di rumah mu, jangan di goda yaa.. Ica untuk saya aja." Pinta Dian tanpa rasa malu.
"Hahaha.." Gelak Agung dan Vano bersamaan.
"Aman bro." Timpal Vano.
Ica hanya senyum-senyum kecil melihat candaan tiga sekawan itu. Namun kalau di perhatikan dari wajah Ica masih terlihat kesedihan yang mendalam mengingat apa yang terjadi dengan dirinya saat ini.
Ica tidak tau apa yang harus dikatakan nanti kepada kedua orang tuanya. Mimpi yang selama ini ia usahakan belajar dan berdoa, kadang Ica tidak berat tangan untuk membantu ibunya semampu dia.
Pada saat ini jangan kan untuk memikirkan apa yang akan dikatakan kepada orang tuanya. Untuk menelpon orang tuanya saja Ica kebingungan karena handphone nya hilang dan tidak memiliki uang sepersen pun.
Jauh Ica memikirkan akan nasibnya hari esok. Tidak terasa mobil Vano sudah berhenti di depan rumah megah bernuansa putih. memiliki pagar tembok yang kokoh, itulah rumah milik pengusaha David dan nyonya Lusi, Bibi sekaligus orang tua angkatnya Vano.
Tiittt tiiiitt
Suara klakson Vano. Dari balik Gerbang ada seorang Bapak setengah baya sekitar 40 tahunan, badannya masih sehat dan tegap. Dia adalah Pak Yon satpam kepercayaan keluarganya Vano.
"Sudah sampai mbak, Ini rumah Bunda." Kata Vano sambil keluar mengambilkan koper milik Ica yang berada didalam bagasi.
"Pak ini tolong bawakan kopernya mbak ini, sekalian tolong bilang sama bunda, ini teman yang Vano maksud, Vano menghantar teman-teman Vano dulu." Kata Vano kepada Pak Yon.
"Siap Den." Jawab Pak Yon singkat.
"Ayo neng saya antarkan." Pak Yon sambil berjalan diikuti Ica dari belakang.
"Iya Pak." Sahut Ica.
Mereka berdua masuk di ruang tamu yang megah bernuansa putih dan ada sedikit corak keemasan di sudut ruangan. Dengan lampu gantung terpasang mewah dan anak tangga yang berwarna silver, menambah kesan megah di rumah tersebut.
"Nyonya.." Panggil Pak Yon kepada pemilik rumah.
"Iya, ada apa Pak Yon?" Seorang muncul dari lantai atas menuruni anak tangga.
"Ini Nya, teman nya Den Vano, Den Vano nya masih mengantar dua temannya yg lain." Jelas Pak Yon.
"Saya Ica Bu." Ica mengulurkan tangan.
"Iya, saya Lusi Ibu nya Vano." Lusi bersalaman dengan Ica.
"Mari saya antarkan ke kamar, sekalian Pak Yon tolong bawakan kopernya Ica ke kamar tamu." Lanjut Lusiana.
"Baik Nyonya." Jawab Pak Yon.
"Ini kamarnya silahkan istirahat, Saya nanti mau pergi,makanan sudah disiapkan Bi Nina silahkan di dimakan." Jelas Lusi mengakrabkan diri.
"Iya Bu, terimakasih kasih banyak Bu." Jawab Ica sambil sedikit menundukkan kepala tanda tanda Terimakasihnya.
"Oh ya satu lagi nanti habis kamu makan gak usah cuci piring yaa nak, biar Bi Nina yang kerjakan, hanya saja Ibu minta tolong antar kan makanan ke kamarnya anak Ibu di atas, namanya Marvin." Jelas Bunda Lusi.
"Iya Bu, sekali lagi terimakasih." Jawab Ica.
Setelah Itu Nyonya Lusi pergi meninggalkan Ica di kamar. Ica yang sudah sangat lelah akhirnya berbaring sejenak ranjang yang menurutnya sangat luas berbeda jauh dengan yang di milikinya di rumah di desa. Ica terus membayang kan perjalanan hidupnya sekali-sekali ia mengeluh lalu bersyukur sampai akhirnya Ica tertidur pulas.
Setelah hampir dua jam Ica datang ke alam mimpi, Ia berusaha mengumpulkan kesadarannya dan mengangkat tubuhnya yang masih terasa lelah.
Ica masuk ke kamar mandi membersihkan tubuhnya, setelah itu berganti pakaian. Ia juga memakai sedikit make up di wajah nya agar terlihat segar dan natural.
Tiba-tiba Ica teringat pesan orang tua Vano itu kepadanya. Seperti apa sih keadaan saudara Vano itu.
Ica segera keluar kamar, dilihatnya Bi Nina sedang beres-beres ruang dapur. Ica mencoba menyapa wanita setengah baya itu agar ia tidak kaget.
"Selamat sore Bi, oh iya dimana makanan untuk tuan Marvin?" Tanya Ica hati-hati dan sopan.
"Dimeja meja makan nak, hanya saja Den Marvin jangan dikasih sup soalnya dia alergi sama kol." Jelas Bi Nina.
"Iya Bi sudah, Saya antar dulu yaa Bi." sahut Ica.
Ica langsung naik ke lantai atas tanpa mendengar jawaban dari Bi Nina lagi. Ada empat kamar dan satu ruang tamu di lantai ini. Ica bingung kamar yang mana milik tuan Marvin. Syukur ada gantungan kecil di atas pintu Marvin yang bertulisan huruf M, mungkin pintu yang ini pikir Ica karena malas turun lagi untuk bertanya dengan Bi Nina.
Tok tok tokkk
Ica mengetuk pintu yang ada gantungan kecil berinisial tersebut. sebenarnya Ica agak takut karena sedari tadi Ica belum melihat Marvin yang katanya sakit. apa mungkin dia sakit parah pikir Ica.
"Iyaaa Masuk." jawab suara berat dari dalam.
Spica segera membuka pintu dengan pelan, ditangannya ada piring besar berisikan makanan untuk anak pemilik rumah tempat dia tinggal sekarang.
"Ini tuan makanannya." Kata Ica hati-hati.
Ica tak sengaja melihat wajah orang yang terbaring di depannya tersebut. Hm.. ganteng juga pikir Ica dalam hati, tapi sakit apa dia. Mukanya pucat dan sembab seperti itu.
"Iya.. Suapin saya Bi." Jawab Marvin tanpa menoleh.
"Iya tuan..." Ica menjawab agak merasa takut.
Marvin seolah baru sadar mengapa bibi Nina yang sudah bertahun-tahun hidup dengan keluarganya biasa memanggil dengan sebutan Den bukan tuan. Dia sadar akan hal itu tapi otot nya seakan tidak berdaya untuk menggerakkan anggota tubuhnya. Itu dipengaruhi pikirannya yang terus memikirkan kekasihnya Jasean, yang telah meninggalkannya tanpa kabar setelah Marvin melihat Sean bermesraan di sebuah kafe.
Ica mengarahkan sendok berisi makanan kearah muka Marvin. Marvin kaget melihat bukan Bi Nina yang menyuapinya.
"Siapa kamu?" Tanya Marvin marah.
"Maaf tuan, saya Ica pembantu baru disini, habis tuan tidak melihat ke arah saya dari tadi." Kata Ica menyebutnya pembantu baru untuk cari aman.
"Letak di meja saja makanannya." Perintah Marvin dengan nada tinggi.
"Iya tuan." Jawab Ica buru-buru.
Ica yang hendak cepat-cepat meninggalkan ruangan itu, Tiba-tiba saat ia hendak berdiri kakinya tersandung kursi yang ia duduk tepat di samping ranjang dimana Marvin tidur.
Naas tubuh Ica yang terbilang Langsing terpelanting ke depan, dan bibirnya yang kenyal bewarna pink keorenan tepat mengenai mata milik Marvin.
Dada Ica begitu Marvin berdegup kencang, namun Marvin seolah menutupinya. Ica berusaha bangkit untuk berdiri.
"Apa-apan ini? Cepat keluarrrrr..!" Teriak Marvin.
"I-ya tuan, maafkan saya." Kata Ica sambil keluar ketakutan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Nono
tetap semangat😘
2022-10-29
3