Ke Kota

Rumah Pramono masih tertutup saat Eva telah pulang dari rumah sakit. Mereka masih menutup diri dari pada tetangga yang akan mendatangi rumah mereka untuk menjenguk. Pramono dan Rahma belum siap menjawab segala pertanyaan para tetangga soal kegagalan pernikahan anaknya hingga percobaan bunuh diri itu. Kang Totok yang biasanya bercanda itupun, sekarang menutup mulutnya rapat-rapat.

 

“Kabarnya, Eva itu hamil duluan dengan lelaki lain,” celetuk salah satu tetangga saat mereka melintasi jendela rumah Eva yang ternyata itu adalah jendela kamar Eva.

 

Eva menghela napas panjang. Dia menatap sendu pada pergelangan tangannya yang masih terbungkus oleh kain kassa. Eva menampar pipinya sendiri. Betapa sekarang dia dan orang tuanya harus menghadapi kesulitan karena kesalahannya. Eva merutuki diri sendiri, kenapa memasuki tempat yang penuh dengan maksiat itu, padahal dia sendiri tidak pernah melakukan hal bodoh semacam itu.

 

“Kenapa aku menuruti kata-kata Vonda,” gumamnya saat menyadari siapa yang membujuknya saat itu.

 

Vonda berdalih, dia tidak bisa datang ke pesta lajang yang akan diadakan oleh Eva waktu malam naas itu. Dia bilang bahwa dia sedang bekerja dan tidak bisa ijin. Namun, Eva ingin sekali mentraktir teman-temannya. Jadi, Vonda membujuk Eva agar dia mau menghabiskan malam di klub malam di mana dia bekerja, yang dekat dengan hotel. Kepala Eva kembali berdenyut kala mengingat hotel itu.

 

Kata teman-temannya, mereka memang memesan hotel karena Eva sangat mabuk dan kepayahan. Jadi, mereka tidak sanggup membawa Eva pulang ke kost-nya.

 

Eva menggelengkan kepala, tidak ingin lagi mengingat semua kejadian yang bermula dari itu, dia sekarang menjadi orang yang paling merasa kecewa sekaligus mengecewakan kedua orang tuanya. Eva keluar dari kamar dan melihat kedua orang tuanya hanya duduk dan berdiam diri. Dia memandang keduanya dengan rasa sedih. Mereka seperti kehilangan keceriaan. Eva yakin, mereka tidak akan tahan dengan gunjingan tetangga sekitar dan orang-orang yang dikenal, walau ibunya seringkali menunjukkan bahwa dia sangat kuat dan sering menguatkan Eva. Namun, dari kedua mata Rahma, Eva tahu bahwa ibunya itu sangat rapuh. Eva kembali menutup pintu kamarnya dengan hati-hati.

 

“Aku harus menemui lelaki brengsek yang membuatku hamil itu,” gumam Eva usai berpikir akan apa yang harus dia lakukan untuk menutup aib yang telah terjadi.

 

Eva teringat akan perkataan Denis yang mengatakan bahwa dia akan bertanggung jawab jika terjadi kehamilan yang waktu itu disanggahnya. Ternyata kata-kata Denis menjadi kenyataan. Eva membulatkan tekad, karena kepalang basah, dia ingin meminta pertanggung jawaban, setidaknya mengentaskan kedua orang tuanya dari rasa malu yang teramat sangat.

 

“Aku harus segera menemukan lelaki itu sebelum perutku membesar,” gumam Eva.

 

Eva bangkit dan mengemasi beberapa bajunya untuk bersiap ke kota. Dia membawa beberapa barang yang cukup untuk bekal karena dia tidak akan lama di sana. Dia hanya ingin menemui Denis saja.

 

“Mau ke mana, Eva?” tanya Rahma yang kebetulan melewati pintu kamar Eva yang baru saja dibuka dan anak perempuannya itu membawa tas punggung dengan baju yang biasa dia pakai untuk bepergian.

 

“Bu, aku mau pergi sebentar ke kota. Ada urusan penting yang harus aku lakukan,” sahut Eva.

 

Rahma merasa trauma ketika membiarkan Eva pergi. Dia masih terbayang saat Eva tergeletak bersimbah darah di lantai dapur. Dia tidak ingin Eva melakukan hal nekat lagi.

 

“Eva, jangan pergi dulu. Kamu harus istirahat di rumah, Nak.”

 

Eva menghela napas. Dia tahu ibunya sangat khawatir akan dirinya, terlebih setelah kejadian beberapa hari yang lalu saat percobaan bunuh diri itu terjadi.

 

“Ibu jangan khawatirkan aku. Aku hanya ingin menemui seseorang, aku tidak akan lagi membuat Ibu sedih,” ujar Eva merengkuh pundak ibunya dan memeluknya erat.

 

Meski hal itu menenangkan, tapi Rahma masih tidak bisa melepas rasa khawatirnya.

 

“Oke, tapi Kang Totok akan menemanimu ya?” ujar Rahma.

 

Eva menarik napas dan mengembuskannya sambil melirik ke bawah. Rasanya tidak nyaman jika pergi dengan orang lain, tapi untuk mendapatkan ijin ibunya, dia menurut saja.

 

Rahma tersenyum lega, lalu menemui pria yang datang membersihkan pabrik, tapi belum ada pekerjaan yang bisa dia lakukan. Wanita paruh baya itu menepuk pundak Totok.

 

“Eh, Bu Rahma. Ada apa, ya?” tanya Totok.

 

“Kang, bisa nggak kalo sekarang nemeni Eva ke kota? Nggak tahu dia mau ketemu sama siapa, tapi aku minta kamu temeni ya?” pinta Rahma.

 

“Oh, baik, Bu. Saya nggak ada acara kok, jadi saya bisa antar Mbak Eva ke kota. Nggak nginep kan, Bu?” tanya Totok.

 

“Nggak,” sahut Rahma.

 

“Baik Bu, saya ganti baju dulu biar agak wangi,” ujar Totok meringis mengusap kedua ketiaknya.

 

“Iya, ini kunci mobilnya, kamu bawa aja biar nggak banyak tetangga yang bertanya-tanya sama Eva sepanjang jalan kalo harus naik bis.”

 

Rahma mengangsurkan sebuah kunci mobil yang biasa dipakai oleh keluarganya untuk pergi acara. Totok menerimanya dengan menganggukkan kepala.

 

“Tok, nanti aku minta tolong kamu perhatikan siapa yang ditemui sama Eva, ya?” pesan Rahma, sedikit berbisik pada Totok.

 

“Oh, beres, Bu.”

 

“Oke, sekarang kamu bisa ganti pakaian. Urusan beberes, biar nanti aku aja. Yang penting sekarang kamu antar Eva. Tolong jaga dia baik-baik ya, Tok!”

 

“Iya, Bu Rahma.”

 

Rahma merasa lega karena ada orang kepercayaannya yang bisa menjaga Eva. Biasanya anak perempuan itu pergi sendiri ke kota, tapi kali ini rasa was-was Rahma menjadi. Dia tidak mau sedikitpun lengah. Bisa saja Eva merencanakan sesuatu yang buruk untuk dirinya sendiri jika mendengar atau diperlakukan buruk oleh orang lain. Eva sedang dalam hati yang begitu lemah.

 

***

 

Denis berjalan seperti biasanya di jalan yang dilalui setiap hari. Dia menenteng sebuah bungkusan berisi bubur ayam yang akan diberikan untuk ibunya. Dengan langkah ringan dia menelusuri jalanan di depan hotel. Langkahnya terhenti saat seorang wanita telah berdiri di depannya dengan tatapan yang tajam, mengarah padanya.

 

“H-Hai,” ujar Denis yang gugup melihat Eva di depannya sedang berdiri dengan memasukkan kedua tangan ke dalam kantong jaket.

 

“Denis, aku nggak akan basa-basi. Aku mau bicara denganmu. Bisa kita bicara ke pinggir jalan?” sahut Eva melirik ke arah pembatas jalan dan trotoar, yang ada pohon besar di sana.

 

“Oh, oke, tapi aku harus segera pulang—“

Denis ingat akan bubur yang akan segera dingin jika dia berlama-lama berbincang dengan Eva meski rasanya berdebar sekali.

 

“Aku juga nggak akan berbicara banyak padamu, hanya saja aku tidak ingin mengganggu lalu lalang orang lain!” ujar Eva ketus dan bergegas berjalan ke tepian jalan.

 

Denis mengangguk dengan gugup dan mengikuti langkah Eva. Dia bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan disampaikan oleh wanita yang membuat degup jantungnya tidak teratur itu. Denis mengelus dadanya agar lebih tenang.

 

Terpopuler

Comments

Machan

Machan

gimana reaksi denis ya pas nanti eva bilang minta tanggung jawab🤔🤔

2022-11-14

0

☠🦃⃝⃡ℱTyaSetya✏️𝕵𝖕𝖌🌈༂နզ

☠🦃⃝⃡ℱTyaSetya✏️𝕵𝖕𝖌🌈༂နզ

Denis, sekarang Eva menagih janjimu, kamu bisa kan menepatinya 🤔🤔🤔

2022-11-11

1

Rini

Rini

yo denis halalin eva

2022-11-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!