Ketika Pulang Kerja

Vonda mengerutkan kening saat melihat layar ponselnya ketika dia hendak berangkat ke club lebih awal. Dia berdecak membaca nama yang tertera di sana. Eva, menghubunginya dan dia sangat malas sekali untuk berbicara dengan wanita itu. Namun, Vonda memilih untuk mengangkat ponselnya.

 

Paling juga mau minta tolong. Ini kan waktu dekat dengan pernikahannya.

 

“Halo,” sambut Vonda usai berdecak malas.

 

“Vonda, kamu lagi apa? Boleh aku minta tolong?” tanya Eva, terdengar mendesaknya.

 

Vonda memutar kedua bola matanya, lalu menyengir malas. Menyiratkan bahwa tebakannya benar sekali, jika Eva hanya ingin dia menolong saja.

 

“Iya, boleh,” sahutnya, tapi menyesal dalam hati kenapa dia mengangkat panggilan Eva di ponsel.

 

“Vonda, apa kamu tau di mana tempat untuk menggugurkan kandungan?” tanya Eva dengan cepat hingga Vonda harus memasang telinga dengan saksama. Jika saja itu bukan hal yang menarik, Vonda pasti akan menolak dan beralasan dia akan pergi bekerja. Namun, meski kata-kata Eva menarik, dia harus meminta Eva untuk mengulangi agar jelas di telinganya.

 

“Maksudmu apa, Eva? Siapa yang hamil?” tanya Vonda yang mulai tertarik dengan obrolan karena dia menebak siapa yang hamil. Vonda bergegas meletakkan tasnya lalu berjalan ke tembok dan menyobek kalender yang disadarinya telah berganti bulan. Dia menutup mulut dan menahan tawanya melihat satu bulan lebih saat kejadian jebakan itu terjadi.

 

“Ya... ada hal yang ingin aku bicarakan, tapi itu nanti. Ini penting sekali, Vonda. Kamu harus carikan aku cara untuk menggugurkan kandungan!” desak Eva.

 

Vonda makin merasa penasaran. Tebakan keduanya mungkin juga benar.

 

“Bilang dulu, Eva. Siapa yang hamil?” desaknya, bagai itu adalah sesuatu yang penting baginya.

 

Hanya terdengar suara ******* di ujung sana dan Vonda memilih untuk terlambat datang ke club demi menunggu kabar dari Eva. Kabar yang tidak dia sangka sama sekali, yang membuatnya senang.

 

“A-Aku,” sahut Eva lirih mengakuinya.

 

Dasar bodoh.

 

Vonda nyaris melompat-lompat kegirangan jika tidak menyadari bahwa jawabannya sedang ditunggu oleh Eva. Vonda menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan apa yang dia rasakan saat ini.

 

“Eva, kamu jangan bercanda. Beberapa hari lagi adalah hari pernikahanmu,” tukas Vonda seolah dia memang kaget dengan perkataan Eva.

 

“Vonda, aku serius! Carikan aku cara untuk menggugurkan kandungan ini,” rengek Eva, sangat terdesak apalagi mendengar kata-kata Vonda bahwa beberapa hari lagi adalah hari pernikahannya.

 

“Eva, itu anak siapa? Kalo anak Ryan, kamu nggak perlu khawatir, kan?” ujar Vonda dengan tersenyum licik.

 

“Ryan menyuruhku mencari cara untuk menggugurkan janin ini. Tentu saja ini buah hatinya, tapi dia ingin menunda kehamilan dulu, apalagi ini bakal mencoreng nama baiknya jika semua orang tau bahwa aku hamil dulu sebelum menikah,” kilah Eva.

 

Raut wajah Vonda agak berubah. Dia mengerutkan dahi dan bertanya-tanya dalam hati apa benar perkataan Eva itu. Jika benar, maka dia tidak bisa lagi menggagalkan pernikahan mereka.

 

“Oh, begitu. Baiklah, aku akan cari cara, tapi kamu sabar ya? Besok aku akan menghubungimu, Eva,” sahut Vonda.

 

“Baiklah, aku tunggu ya Eva. Oh ya, berita ini jangan sampai ke telinga orang lain. Kamu harus menjaga rahasiaku,” pinta Eva.

 

“Tenang aja, nggak akan bocor,” ujar Vonda.

 

“Makasih, Vonda.”

 

Vonda menutup hubungan telepon itu dengan pikiran di kepalanya. Dia agak ragu bahwa tebakannya memang tidak tepat. Namun, dia sendiri tidak yakin dengan kata-kata Eva. Vonda duduk di kamar kostnya, lalu berpikir.

 

“Kenapa dia hubungi aku kalo itu anak Ryan? Bukan membicarakan dengan Ryan?” gumamnya mencoba mengolah kejadian.

 

“Hm, aku nggak yakin dengan apa yang dikatakan oleh anak itu,” imbuhnya lagi. Mencibir dan menarik napas panjang dengan wajah sinis.

 

***

 

Beberapa karyawan berjalan keluar dari kantor sebuah perusahaan dengan cepat. Sore itu, mereka telah mendapatkan gaji dengan berbagai niat di dalam pikiran mereka. Para karyawan melangkah dengan semringah. Bagitu juga Ryan sebagai pengelola perusahaan ayahnya. Dia berdiri di depan perusahaan dan berniat pulang untuk mempersiapkan dirinya karena beberapa hari kemudian dia akan mengakhiri masa lajangnya.

 

“Wah, Pak Ryan. Semoga lancar sampai hari H ya, Pak?” ucap seorang karyawan yang kebetulan melewatinya.

 

“Iya, makasih.”

 

Hari itu adalah hari di mana Ryan mengambil cuti bekerja. Dia akan fokus pada acara yang akan diadakan beberapa hari tentunya. Ryan ingin menghabiskan waktu dengan beristirahat agar kesehatannya fit saat hari pernikahan tiba.

 

Ryan membuka layar ponsel dan tersenyum saat melihat siapa yang membuat panggilan tak terjawab di layar ponselnya. Gadis yang akan dia persunting beberapa hari lagi untuk menjadi ibu dari anak-anaknya kelak. Sungguh indah. Ryan menekan tombol hijau untuk menelepon gadis yang dia puji sebagai wanita tercantik di dunia itu.

 

“Halo, Sayang. Kamu tadi telepon?” tanya Ryan saat sambungan itu disambut oleh siempunya nomor.

 

“Iya, Sayang. Aku kangen,” ucap Eva yang entah kenapa hanya ingin mengatakan rasa rindunya pada pria itu.

 

“Iya, nanti juga kita jadi satu rumah. Simpan rasa kangenmu itu, ya? Tinggal tunggu waktu aja kok,” sahut Ryan yang juga tidak dapat menahan rasa rindu sebenarnya.

 

“Sayang, aku nggak sabar ingin segera bertemu,” rengek Eva.

 

Ryan merasa gadisnya sangat kolokan. Namun, memag belum saatnya untuk datang ke kampung Eva karena beberapa hari lagi dia akan datang. Tentu saja dia akan menahan diri dulu, tidak akan bolak-balik karena hal itu akan terasa konyol.

 

“Kamu gadis yang hebat, Eva. Aku yakin kamu bisa menahan diri untuk tidak bertemu aku dulu. Gimana? Kamu udah memanjakan diri di salon atau malah dipingit sama Ibu dan ayah?” goda Ryan.

 

Eva tertawa di ujung sana. Tawanya miris, tapi Ryan tidak tahu akan hal itu. Ryan hanya mendengar tawa seperti biasanya karena dia tidak menggunakan video call karena dia masih berada di sekitar kantor dan malu dengan karyawannya jika terlihat menghubungi calon istrinya. Bukan malu beristrikan Eva, tapi akan ada banyak karyawan yang menggodanya sebagai calon pengantin baru.

 

“Iya, Sayang. Kamu janji nggak bakal ninggalin aku?” oceh Eva, membuat Ryan tertawa mendengar kekonyolan yang diucapkan oleh wanita itu.

 

“Jangan kayak novel-novel, Sayang. Aku ini benar-benar akan mendatangimu untuk menjadikanmu istri. Aku akan datang, kamu jangan khawatir aku lari,” ucap Ryan. Jika saja ada Eva di dekatnya, dia akan menjentikkan jarinya di dahi gadis itu.

 

“Iya, Sayang.”

 

Ryan tersenyum dan dia menyadari bahwa dirinya masih berada di depan kantor.

 

“Sayang, aku masih ada di depan kantor. Gimana kalo aku pulang dulu dan nanti aku akan menghubungimu lagi?” ucapnya, merasa tidak bebas berada di tempatnya berdiri sekarang.

 

Bukankah lebih nyaman jika dia pulang, membersihkan diri lalu menghubungi calon istrinya via video call agar bisa melihat Eva untuk sekadar mengobati rasa rindunya?

 

“Oke, hati-hati di jalan. Jangan lupa, nanti hubungi aku lagi, Sayang,” pinta Eva.

 

“Baik.”

 

Terdengar suara kecupan di antara keduanya mengakhiri pembicaraan. Ryan menutup ponsel lalu memasukkannya ke dalam saku. Dia berjalan ke arah mobilnya dan membuat suara siulan mobilnya lalu membuka handle pintu mobil dan saat itu, ada sesuatu yang menundanya masuk.

 

“Ryan.”

 

Terpopuler

Comments

Machan

Machan

nah, siapa tuh

2022-11-05

0

Machan

Machan

vonda

2022-11-05

0

Machan

Machan

ah, si ulet kegirangan

2022-11-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!