Eva mengerjapkan kedua matanya dan melihat di samping sudah ada sang ibu dan ayah yang tertunduk lesu. Seketika dia tersadar dengan apa yang baru saja terjadi. Eva berharap itu adalah mimpi buruknya, tapi sayang sekali, itu adalah kenyataan pahit yang harus dia telan.
“Ibu!” rintihnya memegangi kepala yang berdenyut.
Rahma mendekat dan mendekap erat tubuh anak perempuannya yang sangat rapuh saat itu dengan hati yang hancur. Bagaimana tidak? Di saat mendekati pernikahan hanya menghitung hari saja, semuanya harus kandas karena sebuah kesalaha besar yang dilakukan anaknya.
“Ibu, aku nggak ingin begini! Aku tidak berharap seperti ini, Bu! Ryan meninggalkanku, aku sangat mencintainya, Bu!” raung Eva, memukuli perutnya.
“Sabar, Eva, sabar! Jangan melukai dirimu sendiri. Semua pasti ada jalannya, Nak!”
Rahma, yang menyadari bahwa semua itu telah terjadi, bagai nasi sudah menjadi bubur, memarahi anaknya pun percuma. Akhir dari perbuatan sang anak memang harus seperti itu adanya. Rahma melihat ke arah Pramono yang malah keluar dari rumah dengan rokoknya. Padahal, dia sudah menghabiskan beberapa batang rokok dan puntungnya memenuhi asbak. Rahma tahu bahwa pria itu sangat tertekan dengan perbuatan anaknya.
Eva meneguk air putih yang disodorkan oleh ibunya, lalu beristighfar. Dia masih belum bisa menerima kenyataan yang terjadi. Namun, atas sosok wanita yang berada di sampingnya, Eva merasa masih ada pengharapan. Rahma tak henti-hentinya membuat Eva melapangkan hati dengan apa yang telah terjadi padanya.
“Eva, semua ini adalah takdir. Kamu dengan kesalahanmu, jadikan itu semua pelajaran. Tidak semua hal yang buruk akan menjadi buruk untuk masa depan kita. Jangan sekali-kali ingin membunuh anugerah yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta pada kita. Mungkin anak itu akan menjadi penghapus dosa-dosamu kelak,” ujar Rahma, mengelus lengan anak perempuannya itu.
Eva tertunduk. Dia memikirkan kata-kata ibunya walau sesak masih memenuhi dada.
Dimulai dari hari itu, para tetangga sibuk membicarakan tentang Eva yang batal menikah. Eva semakin tertutup. Dia tidak lagi berani keluar dari rumah. Pramono pun masih bersikap tak acuh padanya. Dia merasa sangat malu pada tetangga sekitar.
“Ayah, jangan seperti itu pada anak kita. Dia adalah anak kita satu-satunya. Siapa lagi yang bisa membesarkan hatinya kalo bukan kita sebagai orang tuanya, Yah. Biarkan apa yang dia lakukan itu sebagai pelajaran—“
“Tidak! Aku tidak bisa! Aku tidak akan pernah memaafkannya, Bu! Dia telah mencoreng nama baik keluarga kita!” tukas Pramono, menepis tangan istrinya.
Pramono memilih untuk menyambar kunci mobil dan kemudian pergi entah ke mana. Rahma hanya bisa mendesah dan duduk di kursi. Dia menatap pabrik yang tutup. Selama satu minggu, dia tidak memproduksi karena sebelumnya akan mempersiapkan pesta pernikahan anaknya. Rahma jadi paham kenapa sang suami bersikap seperti itu. Langganan mereka cukup banyak dan pastinya undangan telah tersebar. Bagaimana Pramono akan menjelaskan pada orang-orang itu? Rahma tahu perasaan kacau suaminya. dia pasti sangat malu dengan peristiwa yang tidak terduga ini.
Eva yang mendengar itu semua, kembali terisak. Wanita itu berlari ke dapur. Dia menangis di dalam dapur. Merosotkan tubuhnya ke lantai dan menutup wajahnya.
“Aku ini hanya membuat orang tuaku malu saja!” keluhnya menggaruk kulit wajah dengan kuku-kuku panjangnya. Alhasil, beberapa goresan samar tercetak di wajah, tapi Eva tidak peduli. Dia ingin sekali melukai dirinya sendiri dan lupa akan ucapan ibunya.
Pikiran Eva sangat kalut. Dia beranjak lemah dan berjalan ke laci dapur. Dia membuka laci itu dan menemukan beberapa pisau di dalamnya. Eva menarik sebuah pisau dan kemudian dengan nekat menempelkan benda tajam itu ke urat nadinya. Pikiran Eva sudah buntu. Dia mendengar bahwa ayahnya tidak mau memaafkan dan dia merasa dirinya hidupnya memalukan bagi kedua orang tuanya.
“Aku tidak berguna, maafkan aku yang tidak berguna ini, Ayah, Ibu. Aku sayang kalian,” ucapnya lirih.
Lalu rasa perih mulai terasa di pergelangan tangan dengan darah menetes dari luka yang dia torehkan di sana. Eva merasakan perih tapi tidak seperih hatinya. Bajunya mulai terkena darah yang mengalir dari pergelangan tangan. Rasanya sangat lemas ketika beberapa menit dia kehilangan darah. Tubuhnya mulai pucat dan kulitnya terasa dingin. Eva terduduk dan kemudian tumbang di lantai dapur dengan pisau di sampingnya.
***
Rahma merasa perasaannya tidak enak. Dia tiba-tiba saja merasa haus yang teramat sangat, Rahma segera beranjak dan berjalan ke dapur. Namun, apa yang dia temukan bukan meredakan rasa hausnya, tetapi anak yang dia sayang sedang tergeletak bersimbah darah di pergelangan tangan dan lantai. Rahma sangat terkejut, dia merasa darahnya berdesir dari ujung kepala hingga ujung kaki melihat pemandangan mengerikan itu. Rahma menutup mulutnya. Rasanya semua hal berputar. Rahma akan limbung, tapi dia mencoba untuk tetap kuat.
“Eva, ini tidak boleh terjadi, Nak.”
Sekuat tenaga, Rahma menyobek kain yang ada di lemari dekat dapur dan mengikat pergelangan tangan anaknya. Rahman masih menemukan tanda-tanda bahwa Eva masih hidup. Dia tidak dapat menangis lagi. Rahma segera berlari mati-matian keluar demi sebuah pertolongan.
“Tolong! Tolong!” teriaknya sekencang-kencangnya.
Para tetangga keluar dan berdatangan lalu menanyai Rahma apa yang sudah terjadi. Rahma tidak dapat berbicara lagi dan menarik tangan salah satu tetangganya untuk memasuki rumah, dan kemudian menariknya ke dapur.
“Astagfirullah, Mbak Eva!” jerit mereka.
“Cepat kita bawa Mbak Eva ke rumah sakit!” tukas seseorang menyadarkan semua orang agar segera menolong Eva untuk menyelamatkan hidupnya.
***
Denis meraba dada. Hari ini, entah kenapa detak jantungnya berdentum tidak seperti biasanya. Dia sangat cemas akan dirinya sendiri. Denis menepuk-nepuk dada kirinya. Dia takut akan berita orang meninggal karena jantung. Bagaimana dengan ibunya jika dia sakit? Siapa yang akan mengurusi ibunya?
“Aku ini kenapa, kemarin aku merasa mual dan sekarang jantungku berdetak cepat. Apa aku harus ke dokter?” gumamnya. Namun, uang di dalam dompetnya menipis. Dia harus berpikir untuk bulan depan demi memeriksakan ibunya lagi. Denis menarik napas panjang agar merasa sedikit kelegaan di dada.
“Aku tidak boleh sakit.”
Denis melepaskan wearpack birunya lalu berganti dengan baju biasa yang dia pakai untuk berangkat ke pabrik setelah merasa agak lega.
“Kenapa, Nis? Kamu agak pucat?” tanya Niko, teman sepabriknya.
“Aku juga nggak tahu, Nik. Rasanya badanku agak kurang enakan,” sahut Denis.
Niko merasa iba dengan temannya itu. Dia merogoh tasnya, lalu mengeluarkan sebuah pack vitamin.
“Nih, minum. Mungkin kamu kecapekan, kurang vitamin,” ujarnya.
Denis tersenyum dan mengambil satu butir vitamin. Dia meneguknya bersama dengan satu botol air mineral yang selalu dia bawa untuk bekal.
“Makasih, Nik.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Machan
dengan kejadian ini, para tetangga pasti tahu. apa nanti dia bakal jadi bahan gunjingan😭
denis oh denis, jantungmu berdetak karena merasakan sesuatu yang terjadi pada ibu dari anakmu
2022-11-09
0
Machan
duuuh, saking depresinya eva
2022-11-09
0
☠🦃⃝⃡ℱTyaSetya✏️𝕵𝖕𝖌🌈༂နզ
Eva benar apa yang disampaikan Ibu kamu, mungkin Ryan bukan terbaik untukmu, dan akan ada kebahagiaan nanti kedepannya, jangan sampai sakiti diri sendiri dan dia yang tak bersalah, berdoalah dan minta ampun serta petunjuk dari Nya 🤗🤗🤗
2022-11-09
1