Tidak Boleh Mencintai

Empat orang cewek sedang duduk dengan wajah bersungut di dalam sebuah cafe. Mereka merasa apa yang direncanakan agak gagal. Vonda adalah cewek yang paling kesal di antara keempatnya.

 

“Gimana sih kamu, Dit?” omel Vonda pada Dita yang memberitahu mereka bahwa dia telah menunjukkan bukti Eva tidur dengan pria lain di dalam hotel, tapi Ryan tidak percaya padanya, malah hanya menyuruhnya pergi.

 

“Iya, nggak becus,” dukung Amel sembari menyeruput jusnya.

 

“Eh, jangan bilang gitu, Amel! Kamu nggak tau gimana dinginnya si Kulkas Ryan itu! Ternyata dia cinta banget sama Eva. Bahkan video yang aku tunjukkin disingkirkan sebelum dia lihat,” sanggah Dita, membela dirinya sendiri.

 

“Nggak tau apa kalian, perjuanganku masuk ke kantor si Ryan itu,” imbuh Dita lagi, membiarkan minumannya masih utuh karena rasa kesalnya dipojokkan oleh teman-temannya.

 

“Iya, Dita udah berusaha, kalian pikir dong cara lain!” bela Vani, mengambil kentang gorengnya dengan santai. Dia yang paling santai menanggapi tentang kegagalan rencana mereka. Baginya tidak ada untungnya juga mengurusi Eva.

 

Ketiganya melipat tangan dan menghela napas. Malam sebelum pesta lajang itu, mereka telah merencanakan untuk menggagalkan pernikahan Eva karena ucapan Vonda yang berdalih karena kesal dengan perubahan sikap Eva. Dia membeberkan beberapa sikap sombong Eva yang tanpa diduga, didukung oleh teman-temannya. Mereka setuju dengan apa yang disampaikan oleh Vonda dan gilanya mereka merencanakan hal yang jahat.

 

“Jadi kalo dengan video nggak berhasil, kita harus bikin Ryan melihat semuanya dengan mata kepalanya sendiri!” tukas Vonda menggebu-gebu.

 

Tiga gadis itu menoleh padanya dengan pandangan heran. Vonda ini nekat sekali dan sepertinya dia memiliki dendam pribadi dengan Evangeline.

 

“Apa lagi rencanamu?” tanya Dita dengan curiga.

 

“Membuat si Denis itu melakukannya lagi dengan Eva dan membuat Ryan melihatnya secara langsung,” ujar Vonda mengedarkan pandangannya pada teman-temannya.

 

“Gila, gimana bisa?” protes Amel dan Dita, nyaris bersamaan.

 

“Kita harus mencoba sebelum mengatakan tidak bisa,” sahut Vonda mengangkat kedua alisnya.

 

Dita mengerutkan dahinya, tanda tidak suka. Dia tidak ingin lagi jadi umpan untuk rencana Vonda seperti sebelumnya.

 

“Iya, kamu boleh merencanakan sesuatu, tapi aku tidak mau jadi umpan lagi. Pria kulkas itu tidak akan mau mendengarkan aku,” sungut Dita, melipat tangannya dan membuang pandang ke sembarang arah.

 

“Baik, kamu nggak usah khawatir. Aku yang akan turun tangan,” ucap Vonda, yakin.

 

Dita menatap Amel dan Vani. Mereka lalu mengangkat bahu dengan ucapan Vonda. Gadis itu sangat yakin dengan rencananya.

 

***

 

Denis mendorong kursi roda ibunya keluar dari ruangan dokter. Dia mendesah dan berjalan ke arah apotek yang ada di samping rumah sakit untuk pengambilan obat. Sambil menunggu, Denis merapikan rambut ibunya dan kemudian berjalan ke hadapan wanita paruh baya itu lalu berjongkok agar bisa saling bertatapan dengan sang ibu.

 

“Ibu, Ibu denger kan kata dokter tadi? Ibu harus bahagia dan optimis biar sembuh. Dokter bilang ada kemungkinan Ibu bisa sembuh, tapi kalo Ibu bersemangat. Yuk, Ibu yang semangat dong,” ujar Denis.

 

Pandangannya bergulir ke jemari sang ibu dan meraihnya untuk menggenggam erat tangan wanita paruh baya itu. Beberapa orang menatap haru melihat kasih sayang seorang anak pada ibunya. Denis membujuk sang Ibu dengan menyemangatinya. Senyum terbentuk di wajah para pengantar pasien dan beberapa pasien ikut terharu dengan sikapnya. Hingga saat nomor antriannya dipanggil untuk mengambil obat, Denis baru beranjak dari posisinya.

 

“Dua juta delapan ratus ribu rupiah,” ujar si apoteker.

 

Denis sudah mengira betapa mahal biaya untuk sekali terapi, obat dan periksa di rumah sakit terkenal di kotanya itu. Biasanya dia hanya mengandalkan periksa di puskesmas yang fasilitasnya kurang memadai di daerahnya. Sekarang, dengan uang yang diberikan untuknya saat mau tidur dengan seorang wanita cantik, dia bisa membayar semua itu.

 

“Ini, Mbak.”

 

Denis mengulurkan uang setelah sebelumnya menghitung jumlah uang yang ada di dalam dompetnya. Dia tersenyum dan berharap ibunya memperoleh kemajuan kala mendapatkan terapi dan obat dari dokter khusus.

Denis tersenyum miris ketika menyadari dirinya harus kotor untuk mendapatkan uang itu. Semalam adalah pertama kalinya dia menyentuh seorang wanita.

 

“Heh, jangan pernah berani mengatakan apa yang kita lakukan semalam pada calon suamiku,” ucap seseorang membuat Denis terperanjat setelah menerima bungkusan obat. Wajah ramah pada apoteker berubah kaget saat melihat di sebelahnya telah berdiri seorang wanita yang tadi dia temui di dalam lift.

 

“Iya, aku janji.”

 

Denis mengedarkan pandang, mencari sosok pria yang dimaksud oleh wanita itu. Namun, nihil adanya. Dia kembali menatap Eva dengan pandangan meyakinkan wanita itu bahwa dia tidak akan mengatakannya.

 

“Namanya Ryan, kan?” tebak Denis.

 

Wajah Eva berbalik kaget mendengarnya.

 

“Dari mana kamu tau?” tanyanya.

 

“Waktu itu kamu menyebutnya saat menarikku ke ranjang—“

 

Eva cepat-cepat meletakkan telunjuknya ke bibir Denis dengan kedua mata melotot agar pria itu tidak meneruskan kalimatnya. Dia kesal, pria itu polos sekali dan dari mana dia bisa masuk ke kamar hotel bersamanya.

 

“Diam!”

 

Eva memindahkan jarinya ke dahi dan memijat bagian tubuhnya yang sudah mulai berdenyut karena memikirkan kejadian semalam. Pusing rasanya jika membayangkan apa yang telah mereka lakukan. Eva tidak menaruh curiga pada keempat temannya, karena mengira mereka telah pulang saat pesta lajang itu. Denis pun tidak mengatakan padanya.

 

“Maaf, tapi tolong ini nomor teleponku. Kamu bisa menyimpannya,” desis Denis mengeluarkan ponsel karena untuk memberikan sebuah kartu nama, dia tidak punya.

 

“Nggak, masukkan ponselmu dan keluar dari apotek ini jika urusanmu telah selesai,” bisik Eva kembali menolak tawaran Denis, melihat seseorang yang keluar dari kamar mandi di lorong sebelah apotek.

 

“Ingat apa yang aku katakan! Aku akan menikah satu bulan lagi dan aku tidak ingin ada orang yang mengacaukannya,” bisik Eva terakhir kali di telinga Denis.

 

Pria itu hanya mengangguk-angguk dan meyakinkan Eva bahwa dia tidak akan mengatakan pada Ryan tentang kejadian semalam. Denis berjalan kembali ke arah ibunya yang menunggu sambil menatap padanya penuh tanda tanya di dalam benak, tapi tidak ada satu kata pun yang bisa keluar dari mulutnya yang tertahan.

 

“Ibu, pulang yuk!” ajak Denis, mendorong kursi roda keluar dari apotek setelah Eva pun juga keluar dan terlihat menggandeng pria yang memberinya kesempatan untuk masuk ke dalam lift bersama mereka.

 

Ada hal yang membuat Denis berdesir melihat pasangan itu. Dia merasa ada yang aneh dengan dirinya.

 

“Tidak, aku tidak boleh mencintainya. Itu pria yang sangat baik, pasti sangat pantas untuk wanita secantik itu. Sedangkan aku?”

 

Denis menertawai dirinya sendiri, mendorong kursi roda ibunya ke luar sambil menepis bayangan wajah Eva yang seharian membayangi pikirannya. Dia juga tidak melupakan noda merah di atas sprei kamar hotel.

 

“Bagaimana dengan malam pertama mereka jika si pria tidak mendapatkannya ya?” gumam Denis, sembari menunggu taksi datang untuk menjemput dia dan ibunya. 

Terpopuler

Comments

☠🦃⃝⃡ℱTyaSetya✏️𝕵𝖕𝖌🌈༂နզ

☠🦃⃝⃡ℱTyaSetya✏️𝕵𝖕𝖌🌈༂နզ

Apakah layak Vonda dikatakan sebagai teman 🤔🤔

2022-10-28

1

Machan

Machan

sialan emang temen"nya eva itu. kek ya itu cewek yang ngotot banget jerumisin eva suka deh ma ryan. iiih, pen bejek deh si vonda itu

2022-10-27

0

Ety Nadhif

Ety Nadhif

kesannya si Eva punya banyak teman tp yg sebenarnya musuh semua....
alurnya santai yh MB nita

2022-10-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!