Rahma menatap wajah pucat anaknya dengan pandangan yang tidak bisa diartikan. Dia mengalihkan pandangannya ke bawah, di mana benda bergaris merah itu terjatuh dan berniat ingin memungutnya.
“M-Maafkan aku, Bu,” rengek Eva. Kedua tangannya terjalin dan rasanya ingin amblas ke bumi waktu itu. Namun, dia menyadari cepat atau lambat orang tuanya akan tahu hal ini, terutama dengan Ryan yang dia pun bingung akan bagaimana.
“Eva, ikut Ibu duduk,” ajak Rahma yang telah memegang sebuah test pack bergaris dua itu.
Langkah lemah Eva bergerak mengikuti ibunya yang mengajaknya duduk di ruang makan. Bau sedap masakan sang Ibu yang belum sempat ditutup dengan tudung saji itu, membuat Eva merasa lapar. Rahma mengerti akan hal itu. Wanita paruh baya itu mengambilkan sebuah piring dan mengisinya dengan nasi dan sayur yang telah dia buat tadi pagi.
“Eva, Ibu telah mengajarkan kamu tentang tata krama. Seharusnya kamu mengerti akan hal itu. Seorang wanita akan lebih baik menjaga kehormatannya,” ujar Rahma mengawali obrolan mereka.
Rahma menyodorkan piring berisi nasi dan sayur itu ke hadapan Eva, lalu menyilangkan kedua tangannya dan menatap test pack di depannya. Eva meneguk saliva melihat apa yang dilakukan ibunya dan mendengar wejangan itu. Dia ingin menjerit dalam hati bahwa dia telah menjaga amanat ibunya selama ini dengan menahan diri untuk tidak melakukan hal yang melampaui batas dengan kekasihnya. Namun, yang disayangkan hal itu justru terjadi dengan seseorang yang tidak dia kenal dengan posisi dia pertama kali menghabiskan waktu di klub malam atas ajakan teman-temannya.
Seketika nafsu makan Eva terhenti. Dia tidak lagi berhasrat ingin menyentuh makan paginya. Rasanya sesak di dada. Napasnya bagai tercekat di dalam, membuat netranya menghangat seketika tidak kuasa menahan rasa menyesak itu. Bulir-bulir hangat mengalir dari kedua netranya dan dalam waktu singkat membasahi kedua pipinya yang putih.
“Udah, nggak usah kamu sesali, Nak. Nasi telah menjadi bubur. Sebentar lagi, kamu menikah. Jadikan ini pelajaran. Rawat anak itu sebaik mungkin. Kesalahan itu adalah kesalahan kalian, jadi kalian harus menebusnya dengan merawat benih itu baik-baik. Penyesalan akan tidak berguna jika hanya ditangisi. Perbaikilah semua kesalahan itu,” tutur Rahma melihat Eva tidak mau menyentuh makanannya dan tampak depresi.
Rahma tidak ingin membuat Eva menjadi seorang wanita yang akan mengalami baby blues dikarenakan penyesalan atau stress dengan kehamilan. Di masa sekarang, mungkin hal itu lumrah terjadi meski batas-batas yang dia ungkapkan sejak Eva mendapatkan datang bulan pertamanya itu masih dia tekankan sampai detik ini. Saat di mana Eva akan menikah. Mungkin terdengar kolot, tapi itulah kehormatan perempuan harus dijaga sampai dia dipinang oleh seorang lelaki, menurut Rahma.
Bukan mereda, tetapi Eva malah makin menangis sesenggukan di hadapan ibunya. Dia menutup kedua wajah dan isakannya terdengar sangat memilukan.
“Eva, waktunya kamu makan yang bergizi agar janinmu itu sehat dan berkembang. Stress akan mempengaruhi perkembangannya,” tutur Rahma yang merasa makin mengkhawatirkan putrinya itu. Seketika dia memutuskan untuk tidak membicarakan hal ini pada suaminya, karena takut jika kemarahan pria itu hanya akan membuat Eva tambah depresi.
“Bu,” rintih Eva di sela tangisnya.
“Iya, udah jangan nangis, Eva.”
“Apa yang harus kulakukan?” tanya Eva, tercekat di tenggorokannya. Semua yang ada di pikirannya tidak bisa dia katakan secara gamblang. Dia takut menyakiti hati ibunya yang pasti sudah kecewa dengan apa yang menimpanya. Ibunya sudah melapangkan dada untuk hal ini, tapi jika dia tau hal yang sebenarnya? Apa yang akan dia rasakan sebagai seorang ibu yang baru akan menyongsong pernikahan anak perempuan satu-satunya itu?
“Ibu kan udah bilang, kamu harus bertanggung jawab untuk merawat anak itu bersama Ryan—“
“Bu, ini bukan anak Ryan.”
“A-Apa?”
***
Mendung sore itu membuat Denis berjalan cepat-cepat untuk pulang. Dia harus segera tiba di rumah karena ibunya harus meminum obat segera dan hanya dialah yang bisa meminumkan obat pada ibunya. Untuk bergantung kepada tetangga tidak akan mungkin. Usai meninggalkan Vonda dengan mengembalikan uang yang wanita itu berikan, langkahnya sangat ringan, merasa lega sekali. Dua minggu dia menahan diri untuk tidak menggunakan uang itu dan akhirnya penantiannya berakhir juga hari ini dengan adanya Vonda yang menghadang di depan hotel itu.
Sebuah bis tiba dan Denis segera menaiki kendaraan itu. Biasanya dia memilih untuk berjalan, tapi kali ini untuk mengejar waktu, dia menaiki bis yang melewati gang rumahnya agar menyintas waktu.
“Ibu, makan dulu ya?” tutur Denis saat sampai di rumah, bahkan jaketnya pun belum sempat dia lepas.
Denis menghela napas melihat kondisi sang ibu yang masih belum juga menampakkan kemajuan setelah melakukan therapy. Dia sendiri tidak mampu melakukan apapun dan merasa bodoh dengan hal itu dan memilih untuk berpasrah diri menyerahkan pada ahlinya, tapi entah kenapa waktu atau keinginan ibunya yang masih belum menunjukkan kemajuan.
Pria itu membawa kresek berisi bubur kesukaan ibunya yang setiap disuapkan hanya akan bisa masuk beberapa sendok saja. Sampai miris melihat tubuh kurus sang Ibu. Denis menyemangati dirinya sendiri.
“Kalo bukan aku yang memberi semangat pada ibu, siapa lagi? Aku tidak akan bisa memberikan rasa optimis jika aku sendiri pesimis,” gumamnya menyiapkan mangkuk dan menaruh isi kotak stereofoam itu ke dalam mangkuk untuk beberapa sendok.
“Ayo, Bu, buka mulutmu,” ujar Denis memasang wajah ceria di hadapan ibunya. Dia melihat garis kerut di wajah sang ibu yang menyiratkan kekecewaan dan kesedihan dengan hidup mereka. Jika saat seperti itu, dalam hati Denis timbul rasa kesal pada ayahnya yang telah meninggalkan kesengsaraan pada mereka.
Namun, dia harus tetap bersikap baik agar sang ibu tidak down gara-gara wajahnya yang turut sedih. Marni membuka sedikit mulutnya dan Denis tau seberapa dia bisa memberikan bubur untuk bisa masuk ke dalam mulut ibunya.
Denis menyuapi dengan sabar dan di saat pertengahan waktu makan itu, Denis merasa perutnya sangat mual. Dia tidak tahan dan segera berlari ke kamar mandi untuk mencoba menumpahkan, tapi tidak ada yang bisa dia keluarkan.
“Kenapa aku ini?” gumamnya memegang perut yang tidak terasa nyaman itu. Tambah lagi, dia malah terbayang wajah Eva di benaknya saat merasakan mual.
“Ada apa dengannya?” gumam Denis, meraup wajah. Segala rasa ingin tahunya seketika harus ditepis, walau saat itu dia ingin sekali mendengar kabar wanita itu. Denis menatap kalender dan tersenyum paksa saat teringat bahwa itu tepat satu bulan setelah pertemuan mereka di hotel dan mungkin hari-hari ini Eva sedang tersenyum bahagia karena dia akan menyongsong sebuah ikatan suci bersama dengan pria yang pantas untuknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
Machan
waah, denis terikat banget ya ma kehamilan eva. moga kedepannya baik" aja
2022-11-02
0
Machan
duuh, pasti si ibu terkejut bukan main. anak yang dikandung eva bukan anak ryan, melainkan pria asing🥲
2022-11-02
0
☠🦃⃝⃡ℱTyaSetya✏️𝕵𝖕𝖌🌈༂နզ
Wah Denis mengalami kehamilan simpatik. Senoga yang terbaiknbuat semuanya 🤗🤗
2022-11-02
1