“Ibu, kenapa rasanya mual sekali?” keluh Eva memegangi perutnya sambil berdiri di depan wastafel yang ada di dekat kamar mandi rumah.
Rahma memijat tengkuk Eva, berharap rasa mual itu segera dikeluarkan dan terasa lega, tapi sayang Eva tidak dapat mengeluarkan apapun dari mulutnya. Hanya rasa mual yang teramat sangat.
“Mungkin kamu masuk angin,” ucap Rahma, melihat wajah anak perempuannya yang agak pucat siang itu.
Eva meringis, rasanya lemas dan dia ingin muntah.
“Ibu punya obat?” tanya Eva lagi.
“Ayah antar ke dokter saja, Eva. Jangan minum obat sembarangan. Sebentar lagi kamu akan menikah dan tubuhmu harus fit. Dokter akan memberikan obat dan vitamin. Biar dicek secara keseluruhan tentang penyakitmu itu,” tukas Pramono.
Eva mengangguk, apa yang dikatakan oleh ayahnya benar. Dia tidak bisa meminum sembarangan obat di saat menjelang pernikahan. Dia harus memeriksakan diri ke dokter yang lebih tahu tentang keadaannya dan memberikan obat yang tepat.
“Yuk, kita siap-siap ke dokter,” ajak Rahma, meraih kerudung berwarna hitamnya lalu mengganti gamisnya.
“Iya, Bu. Aku juga akan ganti baju dulu,” sahut Eva.
Tak berapa lama, mereka pun bersiap ke klinik dokter yang dekat dengan rumah. Meski begitu, Pramono mengemudi mobilnya untuk mengantarkan anak kesayangannya ke tempat yang berjarak lima kilometer agar Eva yang merasa lemas tidak pingsan lagi di jalan.
Mereka sampai di sebuah klinik dokter yang cukup bagus di kampung itu. Pramono memapah anaknya turun dari mobil dan masuk ke ruang pendaftaran.
“Bu, pandanganku berkunang-kunang,” ujar Eva, makin pucat.
“Iya, tahan Eva, nanti kalo udah dipanggil dan diperiksa, kamu bisa minum obat lalu istirahat. Kan Ibu udah bilang jangan bantu dulu. Tuh, buktinya kamu kecapekan kan?” ujar Rahma dengan penuh penyesalan kenapa dia membiarkan Eva membantunya di pabrik tadi.
Seorang asisten dokter memanggil nama Eva, lalu dengan Rahma, dia masuk ke ruang periksa. Dokter memeriksa tekanan darah, berat badan, detak jantung dan bagian mulut Eva.
“Semua normal,” ucap dokter.
“Tapi kenapa ya dokter, tiba-tiba saya pusing dan mual,” ucap Eva lagi, heran dengan tubuhnya sendiri.
Dokter berhenti menuliskan resep dan tersenyum pada Eva.
“Mungkin saja kamu kecapekan, karena kamu masih lajang, tentu ini bukan gejala kehamilan,” kekeh dokter itu, ingin bercanda lalu menuliskan lagi resep yang berisi vitamin-vitamin untuk Eva.
Namun, candaan itu membuat wajah Eva makin pucat pasi. Ada rasa cemas yang mendera kali ini mendengar ucapan dokter. Eva menggigit bibirnya, dengan dada yang berdentum gelisah.
“Kenapa, Nak?” tanya Rahma melihat gelagat anaknya. Keringat dingin menetes dari dahi Eva.
“Ng-nggak apa-apa, Bu. Kita segera pulang ya, aku mau tiduran. Pusing banget, Bu.”
Rahma mendesah perlahan. Pandangannya bergeser pada dokter yang selesai menuliskan resep. Dia menerima kertas itu dengan rasa bimbang.
“Benar kah Dok, anak saya baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir.
“Iya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Vitamin itu nanti diminum sehari satu kali ya, Bu? Besok anak Ibu akan segar kembali. Mungkin dia banyak pikiran dan kecapekan saja.”
Dirasa cukup, Rahma mengangguk-angguk, lalu mengajak Eva keluar dari ruang periksa. Eva merasa sekujur tubuhnya lemas karena memikirkan ucapan dokter tadi.
‘Mungkinkah aku....’
Eva meraup wajahnya dan mengacak rambut dengan perasaan kacau. Berharap ini tidak akan terjadi karena sebentar lagi dalam hitungan hari dia akan menikah. Ini tidak boleh terjadi. Pikiran Eva kacau hingga apa yang ditanyakan oleh sang Ibu dan ayah tentang keadaannya pun tidak dijawab.
“Eva, Ibu tanya apa kamu salah makan kemarin-kemarin, Nak?” tanya Rahma, membuat Eva terperanjat.
“Oh, nggak, Bu. Bu, nanti resepnya beli di apotek. Aku sendiri aja, Ibu tunggu di mobil sama ayah ya? Aku udah nggak apa-apa,” ujar Eva.
Rahma yang tidak mengerti apa maksud Eva hanya terdiam, mengangguk perlahan dengan menyimpan rasa heran.
Eva turun dari mobil dan berjalan dengan berdebar ke apotek. Dia menyerahkan selembar kertas dari dokter lalu menatap sang apoteker dengan ragu.
“Ada yang lain yang perlu dibeli, Mbak?” Seolah membaca pikiran Eva, apoteker itu bertanya pada Eva.
Eva meringis dan meneguk saliva, menengok ke kanan dan kiri seperti melakukan kesalahan. Dia sedikit mendekat pada sang apoteker.
“Tambah test pack satu ya, Mbak?” pintanya setengah berbisik.
“Oh, baik.”
Apoteker itu paham dan membawa kertas masuk lalu mengambilkan vitamin dan sebuah test pack untuk Eva. Dia membungkus dua benda itu dalam sebuah plastik putih. Eva segera menyambar plastik dan memasukkannya ke dalam tas. Dengan tergesa dia membayar apa yang dibeli dan segera keluar dari apotek.
***
Keesokan harinya, Eva terbangun setelah hanya tidur selama dua jam semalam karena dia tidak dapat memejamkan matanya semalam dengan memikirkan perkataan dokter. Dia gelisah tidak karuan saat melihat kalender dan menyadari bahwa tanggal datang bulannya telah lewat.
“Ya Tuhan, semoga ini tidak terjadi,” ucapnya, berharap dengan sangat.
Untuk keperawanannya yang telah hilang, bisa dia katakan sebuah alasan bohong tentang masa kecilnya jatuh dari sepeda pada Ryan, tapi jika janin dalam perutnya? Itu tidak akan bisa membohongi Ryan karena sebelumnya mereka tidak pernah melakukan hubungan suami-istri.
Dengan hati berdebar, Eva mencelupkan benda berwarna biru itu ke dalam cawan yang berisi urine paginya. Sedetik, dua detik dan selanjutnya, pandangan Eva tidak dapat beralih dari benda itu. Tiba saat tampak garis merah yang mulai terlihat jelas. Tangannya bergetar hebat melihat benda itu menunjukkan dua garis merah yang sangat jelas.
Eva menjatuhkan cawan dan test pack dengan kepala berdenyut kencang. Seketika pikirannya kacau, sangat kacau. Dia tidak tau lagi harus bagaimana. Eva bersandar di tembok kamar mandi, menghidupkan shower dan merosot turun dengan terisak. Eva menangis di bawah guyuran shower tanpa suara agar tidak ada seorang pun yang mendengar tangisannya.
“Bagaimana ini,” isaknya, meraup wajah dengan dua telapak tangan dengan pandangan ke bawah.
Eva merasa bingung dan cemas. Dia memukul-mukul perutnya dengan sangat kacau.
“Sialan! Janin sialan! Kenapa kamu bisa datang di saat kebahagiaanku akan dimulai? Aku akan menikah! Kenapa kamu harus ada!” isaknya.
Eva menangis sesenggukan sambil menahan suaranya. Masih di bawah guyuran air shower, dengan berpakaian lengkap, dia tidak mengerti harus bagaimana. Seketika pikiran Eva koyak, hatinya hancur, membayangkan pernikahannya yang entah bagaimana akan terlaksana.
“Denis, cowok sialan!” racau Eva, memukul tembok kamar mandi dengan kesal. Kedua matanya sembab karena menangis terlalu lama di kamar mandi.
Tidak ada yang mengerti apa yang terjadi. Orang tua Eva sedang sibuk mempersiapkan pesanan terakhir sebelum acara yang akan mereka selenggarakan beberapa hari lagi.
Boleh donk kasih like and komentarnya buat semangatin Othor yaa... Makasih kesayangan semuaa...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
𝐚inong°⛦⋅ <_
cemungut mami😗
2022-10-31
0
Ety Nadhif
kasian banget kamu Eva,,,,punya temen ga ada yg waras syirik semua
2022-10-31
2
kopi pahit
kasian banget nasib kamu Eva, jdi ikut sedih deh.
semangat thor
2022-10-30
1