Pagi ini Andika benar-benar sangat manis sekali, bahkan saat dia sudah masuk ke dalam mobil pun dia malah menarik tubuhku dan mendudukkan aku di atas pangkuannya.
Tanpa ragu dia menyatukan kembali bibir kami, bibir yang terasa hangat dan basah itu seakan melebur menjadi satu dalam sebuah kenikmatan yang seakan memancing hasrat.
"Sudah jangan mancing-mancing terus, mending kamu berangkat!" ucapku setelah pagutan kami terlepas.
"Iya, jaga diri baik-baik." Andika mengecup keningku dengan penuh kasih.
Setelah itu, aku langsung turun dari mobil milik Andika. Kemudian, aku melambaikan tanganku saat dia mulai melajukan mobilnya.
***
Semenjak hari itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan Andika, dia juga tidak pernah menemuiku di apartemen mewah yang dia berikan untukku.
Aku juga tidak pernah berusaha untuk menemui dirinya, bahkan aku tidak pernah mengirim pesan chat ataupun menelpon lelaki yang sudah menjadi suamiku itu.
Karena aku memang lupa meminta nomor ponselnya, ada rasa kecewa yang menyeruak ke dalam hatiku. Karena dia tidak pernah datang sama sekali.
Namun, ada juga rasa senang. Karena itu artinya aku tidak perlu melayani sahabatku yang kini menjadi suamiku itu, walaupun terkadang aku rindu sentuhan lembutnya.
Namun, pada satu sisi aku juga merasa senang karena itu artinya jika suatu saat nanti aku berpisah dengan suamiku, tidak akan ada rasa ketergantungan dan tidak akan ada rasa tidak ingin untuk melepaskan, semoga.
Terkadang ibu akan bertanya, ke mana lelaki yang sudah menikahi aku itu. Namun, aku hanya bisa menjawab jika mas Andika mungkin sibuk.
Dia sibuk dengan pekerjaannya, dia sibuk mengurusi istrinya yang sudah melakukan operasi pengangkatan rahim. Mungkin saja Andika juga sibuk mengurusi istrinya itu.
Dua minggu sudah berlalu, dua minggu sudah aku tidak bertemu dengan suamiku itu. Suamiku, rasanya aku ingin tertawa jika mengatakan hal itu.
Pantaskah aku menyebut dirinya suamiku? Karena pada kenyataannya aku menikah dengan lelaki yang sudah beristri.
Rindu?
Tentu saja aku merasakan rindu terhadap lelaki yang sedari dulu aku cintai itu, bahkan dia sudah mengambil keperawananku, mahkotaku.
Namun, aku harus segera menepis rasa rindu itu. Aku takut nanti malah aku akan sakit, karena terlalu memikirkan dirinya.
Lagi pula hari ini ada pertemuan penting dengan klien, aku harus ikut meeting bersama dengan pak Jaka di salah satu hotel yang tidak jauh dari tempatku bekerja.
Sebenarnya aku merasa aneh, kenapa klien kali ini meminta bertemu di hotel. Karena terkesan tidak baik, menurutku.
Namun, pak Jaka berkata jika hotel itu adalah milik dari klien kami. Dia sedang mengurusi hotel itu dan tidak bisa pergi karena masih banyak tugas yang harus dikerjakan di sana.
Pak Jaka hanya berkata, ini adalah proyek besar. Kami harus menuruti apa kata klien itu, karena jika proyek ini lepas maka keuntungan besar yang sudah ada di depan mata bisa saja terlepas.
"Ya Tuhan, dari selepas subuh elu bengong mulu sih, Kak! Udah ngga usah banyak pikiran, buruan sarapan. Habis itu elu berangkat, takutnya elu malah dipecat gara-gara bengong mulu," kata Adisha yang tiba-tiba saja datang dan menepuk bundaku dengan cukup keras.
Aku benar-benar kaget mendapatkan perlakuan seperti itu dari Adisha, mungkin benar kata dia, jika aku terlalu banyak melamun. Sehingga hal itu membuat diriku tidak menyadari kedatangan adik tercintaku itu ke dalam kamarku.
Namun, mau seperti apa pun dia bersikap, aku tidak bisa berkata apa-apa. Karena adikku itu memang kelakuannya selalu saja seperti itu, tapi hatinya sangat baik.
"Iya, ini gue udah siap. Tinggal sarapan doang, habis itu berangkat. Oh ya, Ibu udah baikan?" tanyaku.
Selama satu minggu ini aku begitu sibuk dalam bekerja, berangkat sangat pagi dan pulang saat malam ketika ibu sudah tidur. Maka dari itu aku tidak sempat memperhatikan ibu.
Aku merasa sangat beruntung karena Adisha akhir-akhir ini tidak begitu banyak pekerjaan, dia bahkan bisa pulang tepat waktu.
"Sudah, kondisi Ibu sudah lebih baik. Dia terlihat lebih sehat, bahkan dia sudah mulai bisa berjalan sendiri. Kalau mau apa-apa dia pasti ambil sendiri," jawab Adisha.
Aku benar-benar bisa bernapas lega dengan apa yang dikatakan oleh Adisha, karena ternyata semangat ibu untuk sembuh sangatlah baik, sehingga dia bisa sembuh walaupun tidak total.
Walaupun aku sangat tahu jika umur ibu tidak mungkin lama lagi, karena dokter juga sudah berkata jika ibu hanya akan bisa memperpanjang waktu saja.
Namun, penyakitnya tetap berkembang. Karena penyakit yang ibu derita sudah tidak bisa disembuhkan lagi. Kanker otak yang ibu derita sudah stadium akhir.
Satu hal yang ingin aku lakukan untuk ibu, di sisa usianya aku ingin membahagiakan ibu. Sepertinya aku harus mengatur ulang jadwal kerja aku, agar aku bisa menghabiskan banyak waktu dengan ibu.
Atau mungkin aku harus menebus kesibukanku di hari Sabtu dan Minggu untuk mengajak ibu berjalan-jalan, agar dia bisa merasakan kebahagiaan. Walaupun tidak banyak waktu yang bisa aku berikan.
Sebenarnya aku bisa saja berhenti bekerja, karena dengan seperti itu akan banyak waktu yang aku berikan untuk ibu.
Karena uang yang diberikan oleh Andika saja sangatlah besar, tapi aku tidak bisa mengandalkan hal itu saja.
Jika nanti aku sudah berpisah dengan Andika, aku pasti memerlukan biaya yang sangat banyak untukku dan juga ibu.
"Syukurlah kalau begitu, ayo kita sarapan. Sekalian sama ibu juga," ucapku.
"Ya, Ibu udah nunggu dari tadi di ruang makan. Dia udah kelaparan, elu sih bengong mulu dari tadi. Laki orang mulu dipikirin!" kata Adisha seraya pergi dari kamarku.
Aku hanya bisa membulatkan mataku dengan rasa tidak percaya di dalam diriku, bisa-bisanya dia berkata seperti itu padaku.
Walaupun Andika adalah suami orang, tapi dia juga suamiku. Ya, walaupun tidak ada orang yang tahu jika aku adalah istrinya.
Ingin sekali aku menimpali apa yang dikatakan oleh Adisha, tapi rasanya itu hanya akan membuat daftar perdebatan yang panjang saja.
Akhirnya aku memutuskan untuk diam dan segera keluar dari kamarku, lalu aku pun langsung melangkahkan kakiku menuju ruang makan di mana di sana ada ibu dan juga Adisha yang kini sudah duduk dengan anteng.
"Sarapan dulu, Sayang. Katanya hari ini akan banyak pekerjaan," kata Ibu.
"Ya, setelah meeting selesai. Aku akan langsung ke lapangan untuk mengecek lokasinya," kataku.
"Kalau begitu sarapan yang banyak, biar kamu tidak sakit," kata Ibu.
"Iya, Bu." Tanpa banyak bicara lagi akhirnya aku langsung ikut sarapan bersama dengan ibu dan juga Adisha.
Tidak ada obrolan yang serius di antara kami bertiga, hanya sesekali Adisha yang menggodaku. Adikku yang satu itu memang senang sekali menggodaku.
"Inget, bekerjalah yang benar. Jangan ngelirik suami orang lagi," kata Adisha seraya berlari.
"Astagfirullah, mulut anak itu!"
***
Selamat sore Ayang, satu bab menemani sore kalian. Jangan lupa like dan komentnya, sayang kalian selalu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
Mom La - La
nah inilah resiko dari keputusan untuk menjadi istri kedua
2023-02-09
0
Sandisalbiah
resiko jadi istri simpanan ya gitu Aulia, lo si nekat...
2023-01-08
0
💜Ϝιαℓσνα💜
suka tumpis deh mulut adisha ini😂😂
2022-12-27
0