Dugaan Harun benar bahwa Kunti pulang kerumah orang tuanya di Jogya.
"Maaf kang mas, jangan terburu buru mengambil kesimpulan dulu." ujar Harun saat menanyakan Kunti pada ayahnya.
"Satria memang salah, tapi permasalahannya tidak sesimple ini. Saya yakin bila mengetahui duduk persoalannya kang mas Sadewo bingung."
"Bagaimana kalau mas Harun ke Jogya agar kita bisa ngobrol dengan leluasa. Etung etung gantian, tahun lalu kan saya dengan ibunya ke Semarang, sekarang mas Harun dan mbak Wanti ke Jogya."
"Dengan senang hati kang mas."
Harun, istrinya, Rama dan Satria berangkat ke Jogya Carter mobil. Ia ingat saat pertama kali ke Jogya untuk melamar Kunti, waktu itu mereka berangkat bertiga Carter mobil juga.
Sepanjang perjalanan Satria tampak gelisah harus menemui mertuanya apalagi dengan membawa masalah. Jangankan membawa masalah, tanpa masalah pun ia enggan menghadap mertuanya karena harus menyesuaikan diri dengan tata Krama keluarga mereka yang masih kental akan adat istiadat keraton.
Ayah Kunti masih trah ke 17 dari silsilah keturunan Sultan Agung, maka tidak heran bila gelar bangsawan menempel didepan namanya yaitu Raden Mas Sadewo Cokrokusumo atau biasa disingkat RM. Sadewo Cokrokusumo, sedangkan Kunti bergelar Raden Rara atau biasa disingkat Rr. Kunti Wulandari. Ayah Kunti seorang pengusaha batik meneruskan bisnis kakeknya.
Pertemuan Satria dan Kunti berlangsung saat mereka sama sama kuliah di UGM fakultas ekonomi. Selesai meraih gelar S1, mereka menikah. Harun kemudian membeli kios di pasar Krempyeng Semarang untuk Satria dan Kunti sementara menunggu pekerjaan yang sesuai dengan bidang akademisnya, namun hingga tahun keempat peluang tersebut belum juga didapat, akhirnya mereka berdua pasrah harus menggeluti usaha yang tidak pernah diimpikan sebelumnya. Tapi bila dipikir pikir, penghasilannya dagang sembako di pasar Krempyeng mungkin lebih tinggi bila Satria bejerja dengan jenjang akademis yang dicapai.
Ini yang membuat Satria merasa terpenjara bila berada dirumah sang mertua, segala tindak tanduk harus mengikuti adat Keraton. Baik soal bicara, sikap makan, bila perlu ke toilet pun mengikuti aturan.
Usai berbasa basi ala keraton, Harun menceritakan sejak ia bertugas di Kalimantan dan bertemu dengan Farida. Saat itu Harun tidak tau sama sekali kalau Farida adalah keturunan penganut ilmu macan kumbang.
"Tunggu mas, setahu saya khodam macan kumbang memang ada, tapi tidak sampai sedramatis itu," kata Sadewo setelah Harun bercerita panjang lebar mengenai riwayat perjalanan hidup Nikky hingga lahirnya Rama.
"Apa benar asalnya dari Kalimantan?"
"Kalau khodam macan kumbang asalnya dari hutan Darupono, Kendal. Tapi kalau yang dimiliki Nikky saya kurang tau. Tapi menurut saya itu bukan kutukan, semacam konsekuensi bila mempelajari ilmu tersebut akibatnya hanya bisa berhubungan dengan saudara sedarah seperti Satria dan Nikky."
Satria menggerutu dalam hati mendengar Harun dan Sadewo malah asyik membicarakan soal ilmu macan kumbang dan bukannya membahas soal Kunti. Mau keluar takut tidak sopan meninggalkan orang tua ngobrol.
"Jadi apa kelebihan khodam macan kumbang itu!" tanya Harun.
"Konon katanya meningkatkan kewibawaan, pengasihan, ucaoannya didengar orang, bicara lantang didepan orang banyak dan sebagainya."
"Entah bagaimana kelebihan ilmu macan kumbang tersebut sehingga kakeknya Nikky rela mempelajari sampai berani mengambil konsekuensi segitu tragis."
"Kalau melihat ceritanya tentu untuk kadigdayan."
"Selama di Semarang tempo hari Nikky tampak wajar wajar saja tidak ada tanda tanda kalau ia memiliki kelebihan."
"Mungkin itu hanya digunakan dalam situasi darurat."
Sadewo jadi penasaran, ia minta Harun menginap barang semalam. Sadewo ingin membawa Rama pada eyang Jogoboyo untuk melihat seperti apa kekuatan yang tersimpan dalam tubuh Rama.
Sementara itu diruangan terpisah istri Harun dan istri Sadewo tengah merayu Kunti agar ikhlas menerima kenyataan ini. Mungkin benar kata Satria bahwa Tuhan mengirim Rama untuk mereka berdua.
Kunti belum bisa memberi keputusan, mungkin ia masih butuh waktu untuk itu karena rasa sakit hatinya belum terobati.
"Bu, tolong suruh Denok menyiapkan kamar untuk mas Harun dan istri serta Satria," kata Sadewo pada istrinya.
"Baik pak."
Istri Sadewo menyuruh Denok, pembantunya untuk menyiapkan dua kamar.
"Kita mau nginep tho pak?" tanya istri Harun.
"Saya yang minta mbakyu, sore nanti mau bawa Rama ke padepokan eyang Jogoboyo untuk melihat kadigdayan Rama," kata Sadewo, semua tidak ada yang berani membantah.
Setelah istirahat siang, sorenya Sadewo, Harun dan Rama berkunjung ke padepokan eyang Jogoboyo.
Melihat kedatangan Sadewo, eyang Jogoboyo meninggalkan murid muridnya yang tengah latihan olah batin.
"Teruskan Gani, saya mau menemui Raden mas Sadewo." ujar eyang Jogoboyo pada asistennya.
"Pantesan dari tadi prenjaknya ngganter," kata eyang Jogoboyo menyambut mereka.
Sebagian masyarakat Jawa masih percaya bahwa suara burung prenjak yang berkicau terus menerus disekitar rumah pertanda akan ada tamu.Sebelum Sadewo datang memang terdengar suara burung prenjak bersahut sahutan, entah kebetulan atau tidak hanya orang orang selevel eyang Jogoboyo yang bisa membaca isyarat alam.
"Begitulah eyang, saya hanya mengkhawatirkan kalau memang betul cerita ibunya Rama ini," kata Sadewo setelah bercerita panjang tentang ilmu macan kumbang yang dimiliki kakek buyutnya Rama dan konon ilmu turun temurun.
Eyang Jogoboyo menatap mata Rama sambil komat kamit disertai gerakan tangan entah apa maksudnya, sementara itu Rama berada dipangkuan Satria.
Mulanya Rama layaknya bocah balita yang tidak tau apa apa, namun beberapa saat setelah ditatap matanya oleh eyang Jogoboyo, ia bereaksi. Pupil mata Rama menyipit nyaris hilang tinggal saebaris seperti bentuk padi. Kemudian ia menggeram seraya membuka mulut, seketika itu juga eyang Jogoboyo terdorong kebelakang sejauh dua hasta. Semua terperanjat. Satria reflek mau melepas Rama dari pangkuannya namun tubuh bayi tersebut seakan melekat ditangannya.
"Duh Gusti kang akaryo jagat. Ini eyang nak. Eyang hanya ingin menyapamu," gumam Eyang Jogoboyo pada Rama seakan bayi itu mengerti apa yang diucapnya.
"Gimana eyang?" tanya Sadewo tak sabar.
"Den mas liat sendiri kan, saya tadi sengaja memancing emosinya dan yang terjadi den mas liat sendiri."
Sadewo mengangguk angguk seraya menepuk nepuk pundak Harun. Ia tersenyum lebar punya cucu sehebat itu. Masih bayi saja ia sudah bisa memukul orang paling disegani dikalangan kerabat keraton hanya dengan tatapan matanya, bagaimana nanti kalau dia sudah dewasa.
"Bisakah eyang mengubah ketentuan yang disandangnya bahwa ia hanya bisa berkumpul dengan saudara sedarah. Karena bila ia melanggal ketentuan itu dan berkumpul dengan wanita yang tidak sedarah, Rama akan berubah wujud menjadi macan kumbang."
"Saat ini saya belum tau den mas. Nanti saya coba cari tau lewat jalan batin. Bila den mas Sadewo berkenan, sebaiknya anak mas Rama diasuh di padepokan ini agar ada yang mengawasi setiap saat."
Sadewo dan Harun serta Satria bersiskusi untuk memutuskan menerima atau menolak saran eyang Jogoboyo. Akhirnya mereka bertiga setuju Rama diasuh di padepokan eyang Jogoboyo.
Ketika mereka pulang kerumah tanpa Rama, bukannya istri Harun atau istri Sadewo yang marah, tapi Kunti. Padahal sebelumnya ia sudah menyatakan tidak bersedia menerima Rama. Mereka jadi bingung. Apakah akan mengambil Rama kembali dari padepokan atau membiarkannya tinggal disana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments