7. TRAGEDI RENGAS 7

Akhirnya Alek, Jasri dan Giman berangkat juga menyusul rekan rekannya yang sudah lebih dulu ke tambang emas rakyat di desa Rengas 7, kecamatan Tumbang Titi. Beberapa rekannya sudah ada yang pulang membawa hasil meski baru seminggu disana. Mereka bertiga berangkat bersama rombongan dari desa Harapan Baru Air Upas mengendarai truk. Sampai di kecamatanTumbang Titi , perjalanan disambung dengan kapal kelotok, jenis angkutan air di Kalimantan berkapasitas sekitar 10 orang. Perjalanan menyusuri hutan tropis yang sudah gundul akibat pembalakan liar beberapa tahun lalu. Kini yang tersisa tinggal pohon pohon kecil berdiameter antara 20 sampai 30 cm.

Mereka bertiga tercengang begitu sampai dilokasi penambangan yang berada ditengah hutan. Kini lokasi itu menjadi semacam pemukiman baru berpenduduk lebih dari 2000 jiwa yang didominasi kaum pria. Warung warung kaget berdiri disepanjang jalan membelah area penambangan. Dibelakangnya berdiri tenda tenda darurat dari terpal berbagai ukuran dimana para penambang tidur. Mereka bertiga menuju blok khusus warga asal desa 4 Air Durian. Ada sekitar 100 tenda yang sudah berdiri disitu. Rekan rekan tampak masih bekerja di sungai yang mengalir dari hulu di Tumbang Titi melewati area penambangan. Usai mendirikan tenda Alex menghampiri Beno yang tengah melenggang puya, pasir hitam lembut hasil penyaringan pasir kasar. Diantara puya tersebut terdapat serbuk emas.

"Mana emasnya Ben?" tanya Alek.

Beno memiringkan lenggangnya kemudian mengetuk ngetuk sisi lenggang hingga puya dalam lenggang berbentuk melengkung, disepanjang lengkungan itu tampak serbuk emas menguning.

"Wow....mantap! Gimana cara ngambilnya."

Beno mengambil raksa padat dan menuangkannya dalam lenggang kemudian meremas remas raksa sampai tercampur rata dengan puya. Selanjutnya diperas dengan kain kasa dan terbentuk seperti bakso. Puya yang sudah bercampur raksa padat dibawa ke tukang emas yang ada disitu.

"Ayo Lek."

Alek mengikuti Beno. Puya yang keras berbentuk bulat itu ditaruh di mangkuk kecil dari gerabah kemudian dicor dengan alat semacam las karbit, beberapa saat kemudian puya dan raksa padat menguap tinggal emas sebesar biji jagung.

"800 mili Ben." kata tukang emas seraya membayar harga emas itu. Alek tercengang. 400 ribu itu upah empat hari kerja buruh harian lepas diperkebunan sawit.

"Ayo Lek ngopi dulu."

Mereka ngopi di warung Kadar, warga desa 4 Air Durian yang semula jualan sayur keliling kini buka warung disitu.

Diwarung sudah ada beberapa rekan lain satu desa diantaranya Hadi, Aswad dan Asep.

"Sama siapa Lek kesini. Sendirian aja ?!" tanya Asep.

"Sama Jasri dan Giman."

"Istirahat dulu. Besuk baru mulai kerja. Dar, surya 16." kata Asep.

Wah, surya 16. Alek senang dikasih sebungkus rokok sama Alek. Sudah berbulan bulan tidak mampu ngisap rokok mahal seperti itu.

Alek, Hadi dan Asep ngobrol di warung Kandar membicarakan bagaimana pertambangan ini beroperasi. Lokasi pertambangan diatas tanah seluas 5 hekrar ini adalah tanah adat milik Pingkui berada ditengah tengah hutan. Artinya pemerintah daerah tidak punya wewenang untuk ikut mengatur operasional penambangan kecuali pengawasan pada standar penambangan sesuai aturan yang berlaku. Pingkui beserta keluarga membuat aturan sendiri dalam operasional penambangan secara simpel dan saling menguntungkan. Para penambang yang bekerja manual dikenai retribuai 10.000 rupiah sehari. Sedang penambang yang menggunakan domping, mesin pompa dikenai 50.000 sehari. Ada pun bagi penambang yang melakukan penggalian vertikal, satu kapling seluas 3 meter persegi ditarik 5 juta perkapling.Bila melihat Beno tadi memang menggiurkan, satu hari bekerja dapat 800 mili gram kadang lebih. Tapi Alek belum tau kalau pengeluaran dilokasi penambangan tidak kurang dari 200 ribu perhari untuk satu orang. Semua harga yang ada dilokasi itu harganya dua kali lipat dari harga normal. Sedangkan disitu untuk makan tidak cukup tiga kali sehari karena kerjanya dari pagi hingga petang berendam dalam air hingga sebentar sebentar merasa lapar. Kopi setidaknya empat gelas sehari. Belum penganan kecil. Hiburan nonton film atau karaokenan. Yang lebih parah lagi bila kecanduan judi. Disitu ada bermacam jenis perjudian yang ada setiap malam. Ada lagi hiburan yang lebih ekstrim yaitu pelacuran. Alek garuk garuk kepala mendengar cerita Asep. Pantesan banyak teman teman yang pulang tidak membawa uang sepeser pun padahal sudah berminggu minggu di pertambangan.

"Itu hanya sekedar pandangan agar kamu hati hati." kata Asep.

"Makasih infonya kang ."

Asep duluan ke tendanya untuk istirahat. Tinggal Alek dan Hadi.

"Nggak kerja di Ketapang lagi mas ?" tanya Alek pada Hadi.

"Proyek macet, pemborongnya kabur."

"O...Nadia sama siapa ?"

"Ikut buliknya."

Hadi punya adik di jalur 3,Istrinya Mujahid. Alek ikut bersyukur mengetahui anak Hadi tidak sampai terlantar meski pun ibunya pergi.

Pukul empat pagi Alek dikejutkan oleh suara berisik orang orang yang sudah bangun. Ada yang nongkrong di warung, ada yang sudah turun ke sungai mulai mengumpulkan pasir kasar untuk diayak, ada juga yang menumbuk batu dari galian. Alek bingung saat mau buang air besar karena tidak mungkin di sungai yang sudah dipenuhi penambang. Setelah tanya Maman, ternyata orang orang buang air besar hanya di semak semak belakang pemukiman. Pantes sejak ia datang mencium aroma kurang sedap. Alek ke semak semak belakang tenda permukiman membawa senter dan seember air. Dari permukiman kesemak semak jaraknya sekitar 20 meteran. Begitu masuk ke permukiman ribuan lalat berterbangan menimbulkan suara seperti lebah. Semakin kedalam semak aroma kas itu makin mencolok. Sekembalinya dari semak semak Jasri dam Wagiman sudah tidak ada ditenda. Kata Maman ia diajak Aswad ke warung Kadar. Alek menyusul. Diwarung Kadar sudah banyak rekan rekannya yang ngopi disana.

"Tenang aja Lek, nggak usah buru buru. Hari ini kalian liat liat aja dulu bagaimana cara kerja kita sambil membuat andang. Soal makan, minum, rokok kawan kawan pasti ngerti." kata Jupri demi melihat mereka bertiga tampak gelisah karena tidak bawa uang cukup. Dulu Jupri juga begitu saat baru datang.

Kurang dari dua jam Jasri dan Giman selesai membuat andang untuk tatakan karpet bludru. Cara kerjanya sederhana. Tatakan karpet diletakkan miring bertumpu pada andang berukuran 60x60 cm. Diatas andang terdapat box dari papan untuk menampung pasir kasar dari sungai, selanjutnya disiram air pelan pelan agar pasir kasar turun melewati karpet yang dihampar diatas tangga. Serbuk emas dan puya akan tertahan disela sela karpet sedang pasir kasar langsung turun. Setelah puya dirasa penuh disela sela karpet, ditampung dulu dibak plastik. Begitu seterusnya. Bila dirasa cukup baru dilenggang seperti Beno kemarin. Alex hanya berdua dengan Jasri sedang Giman gabung dengan Hadi. Sekitar pukul lima Alek dan Jasri naik. Dengan hati hati mereka berdu melenggang puya mengendapkan serbuk emas. Selesai meraksa dan ngecor, mereka berdua tercengang hampir tak percaya kalau usahanya membuahkan hasil. Mulanya mereka ragu, ada jugakah peroleh emas karena sejak pagi hingga sore tidak ada tanda tanda adanya emas disela sela karpet mereka. Begitu ditimbang ada 1 gram 200 mg.

Terpopuler

Comments

astri rory ashari

astri rory ashari

bayangin kehidupan mereka ...demi cuan segitunya ngenes sampe2 mau pup aja ke semak2...gw jd waspada kalo ketemu semak2 takut ada jebakan batmen mereka..njirrr bau kali y😂😂😂

2021-07-14

0

sugengprasetyo2

sugengprasetyo2

bagus

2021-06-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!