Chapter 18 Maria Aggy

Setelah ku pikir-pikir

dengan berbagai pernyataan, aku tahu juga siapa aku.

Tepat dan benar sekali pernyataan kakak. Aku memang di adopsi oleh keluarganya. Serta perkataan bu Neny itu, rasa-rasanya benar. Aku mulai mencari informasi mengenai Marcues di mana-mana. Bahkan buku filosofi Marcues juga banyak tersebar di media manapun.

Salah satu buku filosofi dari luar negeri yang di terjemahkan dalam bahasa daerahku, dengan judul "Cerdas layaknya Marcues". Aku mendapatkan versi fotocopy paman Agung di kiosnya. Buku ini di karang oleh Gladis. Aku rasa wanita ini menggunakan bahasa yang mudah di pahami, apalagi dalam bahasa keseharianku.

Beberapa halaman awal menceritakan siapa Marcues itu. Sialnya nama ini turun temurun dari masa ke masa. Misalnya seperti nama keluarga, nama turunan. Aku juga tak tahu Marcues siapa yang di maksudkan bu Neny.

Aku juga merangkum versiku tersendiri (hanya kemungkingkan). Bisa saja Marcues dan ibu kandungku ingin menjadikanku sebagai kelinci percobaan, kemudian bu Neny mencoba memisahkan aku dari orang tua kandungku, sehingga aku sampailah di temukan oleh ibu dan kakak. Hanya kemungkinan. Aku menduga-duga bu Neny adalah ilmuwan yang baik. Tapi tetap saja, aku tak akan percaya terhadap siapapun. Karna sungguh aku tahu, kekecewaan itu berasal dari kepercayaan atau harapan kita terhadap sesuatu. Jadi, kau tak akan kecewa kalau tak berharap (secara berlebihan).

***

Hujan mengguyur deras, membasahi bumi. Ulangan matematika kini selesai juga akhirnya. Aku menghembuskan napas lega setelahnya. Percayalah, sob, aku tak menghafal rumus manapun. Hanya ngawur mengerjakan soal dan ketika selesai, aku akan berlagak lega sekali bagaikan maniak matematika.

Bel pulang itu berbunyi. Hujan masih saja deras tak henti-henti. Untung saja aku membawa payung. Ku pandang-pandangi lagi alamat di ponselku, alamat laboratorium milik bu Neny. Katanya, lab miliknya telah resmi pindah di dekat gedung. Jadi kesimpulannya, dulu laboratorium itu bukan di alamat ini tempatnya.

Singkat saja. Setelah menunggu bus di halte, dan turun di halte lainnya, aku kemudian berjalan sejauh 3 kilometer, hingga kini sampai di laboratorium itu. Baru pertama kali ini aku melihat laboratorium sebesar ini, dan baru pertama kali juga bu Neny mengundangku.

Aku masih memakai seragam. Belum juga makan siang, apalagi pulang ke rumah. Ahhh...betapa senangnya diriku di undangnya ke sini. Bagiku, dia hendak menyelamatkan hidupku yang membingungkan. Mungkin bu Neny dapat menyembuhkan kelainan filter merah ini dalam tubuhku.

Tapi aku salah. Salah besar. Hal yang mengejutkan terjadi. Memang saat ini aku berjalan dengan santainya sambil menggendong tas sekolah, dan dengan memakai jaketku. Semuanya juga terlihat normal dengan bau-bau kimia dan beberapa orang yang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Tak ada yang mempersoalkan kedatanganku. Lumrah dan tak mencurigakan, atau, belum tepatnya.

"Aggy" bu Neny menyapaku dari salah satu ruangan. Bau kimianya makin tercium pekat saat dia mendekat padaku. Serta jas putih itu kelihatan pas di tubuhnya. "Selamat datang," dia menyambut baik. Boleh juga.

"Bu Neny tadi tidak mengajar di kelas?"

"Tidak, Maria Aggy. Hari ini ada penemuan yang penting. Aku butuh banyak waktu di lab"

"Katanya bu Neny sedang rehat?".

Tak di jawabnya pertanyaanku itu. Dia menyeringai sebentar kemudian memintaku untuk mengikutinya ke sebuah ruangan lain. Disini hanya terdapat 4 orang mengenakan jas dan kacamata lab, di tambah 2 orang yaitu aku dan bu Neny. Ruangan ini tak terlalu luas. Kemungkinan seluas kelasku saja. Atau mungkin lebih kecil. Terdapat gelas ukur, tabung reaksi, dan berbagai alat laboratoriun lainnya.

Salah satu barang menyita perhatianku. 10 buah jarum suntik dengan isi cairan warna merah pekat. Yang membuatku bergidik ngeri, adalah jarum suntik yang paling besar. Jarum suntik itu di letakan di salah satu meja, terletak tepat di dekat tabung reaksi. Sesekali para ilmuwan mengeceknya, lalu mencatat, dan mengeceknya lagi, mencatat lagi. Sibuk sekali kelihatannya.

"Untuk apa jarum suntik sebanyak ini, bu?" Aku bertanya. Wanita itu tak menjawab sambil membelakangiku.

Duduklah kami akhirnya di sepasang bangku dan satu meja yang tak terlalu besar. Meja itu kosong. Hanya ada satu vas bunga.

"Mari kuceritakan kau tentang Marcues..." katanya memulai. "Ya. Aku yakin kau akan mencari banyak informasi tentangnya"

"Dia ilmuwan hebat beberapa tahun yang lalu. Pememuannya banyak dan jadi sorotan media. Tapi tahun-tahun itu berlalu begitu cepat, sehingga ajal menjemput keluarganya. Isunya, tanaman maut entah apa itu menelan seisi keluarga di rumah Maecues. Apakah itu benar, bu? Siapa keluarga itu?" Aku menceritakan informasi singkat dan tak lengkap yang aku dapatkan dari internet. Tetap saja, website manapun kadang berisi hoax.

"Tepat sekali, Aggy. Marcues memang sudah mati, atau entah hilang kemana aku tak tahu. Kabarnya, diduga dia juga mati bersama istri dan anaknya. Ngomong-ngomong soal istrinya itu aku tak bisa pastikan yang mana ibumu. Bisa saja istri pertamanya di madu. Hanya kemungkinan".

Kemudian aku mengangguk mengerti dan mengeluarkan buku filosofi dari kios paman Agung. Bu Neny membolak-balik halamannya sambil menyeringai.

"Sepertinya dia tokoh yang di hormati saat itu," kataku.

"Ya" . "Dan, Aggy. Aku akan bahas soal penglihatanmu yang mendadak jadi merah".

Saat itulah tumbuh semangatku untuk mendengar. Aku melipat tangan di meja dan benar-benar ku perhatikkan dan ku cerna semua omongan bu Neny.

"Tetap saja ini hanya argumen. Setelah aku pelajari lebih lanjut dengan alat kimiaku, aku temukan banyak kemungkinan. Kau pasti bayi tabung, aku yakin itu.

"Marcues menyuntikkan zat-zat aneh dan DNA lain, yang pastinya bukan berasal dari manusia. Betulan dia itu sembrono." Bu Neny menarik napas panjang, sambil berjalan ke belakang untuk memberi sesuatu pada rekannya, kemudian sehabis itu ia duduk kembali ke bangku.

"DNA terletak di dalam sel. DNA juga menentukan sifat organisme yang diturunkan. Jadi apabila mencampur jenis DNA hewan maupun manusia juga mempengaruhi organisme yang di turunkan. Hal itu gila, tapi berhasil. Marcues memang nekat.

"Seperti yang ku cari selama beberapa hari ini, kemungkinan DNA harimau, singa, dan elang itu di suntikkan dalam janin ibumu. Serta mata merah itu, aku beranggapan masih jadi misteri. Tapi aku kaitkan ini dengan legenda asal Inggris. Black dog (anjing hitam)" lanjutnya. "Kau sudah pernah dengar?"

Aku menggeleng sambil terus melanjutkan mendengar dengan seksama. Dan bu Neny menjelaskan.

"Black dog, atau anjing hitam. Sebuah legenda dari Inggris. Anjing berwarna hitam, bertubuh besar, serta bermata merah. Anjing ini agresif, suka menyerang, tampangnya galak dan menyeramkan.

"Legenda ini bermulai dari tahun 1127. Ada sekelompok pemburu dari Inggris yang berburu pada waktu malam hari. Mereka menggunakan kuda dan di temani anjing-anjing hitam ini. Tubuhnya yang besar itu sekilas terlihat seperti monster. Matanya yang merah membawa kesan horor," bu Neny sesekali terus memberi instruksi pada pegawai-pegawainya yang terus-terusan sibuk meneliti hasil percobaan kimia.

"Kalau tak salah, pada tahun 1577, teror black dog ini bermulai. Tepatnya ya...terjadi di Inggris. Aku kurang tahu tentang legenda ini, kurang ku pelajari. Mungkin kau dapat cari di internet.

"Nah, pada tanggal 4 Agustus 1577 anjing hitam ini menyerang 2 gereja di Suffolk. Entah bagaimana korbannya aku tak paham, Aggy. Tapi yang pasti aku mengaitkan black dog ini denganmu"

"Apa maksud ibu?"

"Matanya merah. Ya...mungkin Marcues mengambil DNA si monster ini. Bisa saja, karna aku tahu betul betapa nekat dan sintingnya lelaki ini".

Aku mencatat semua ini dalam memori pikiranku. DNA harimau, DNA kelelawar, DNA singa, DNA elang, serta sebuah argumen, 'DNA black dog'. Masuk akal? Tentu tidak. Tapi untuk sementara ini, aku hanya bisa mempercayai hal-hal di luar nalar semacam ini.

"Agak mengandung kesan supranatural menang" lanjutnya.

"Apa maksudnya saya itu termasuk monster?" Tanyaku mencari tahu. Bu Neny menggeleng, kemudian mengangguk.

"Entah. Bisa jadi" lanjutnya.

"Untuk sekarang, apa yang bisa saya lakukan?"

Bu Neny tak membalas. Malahan wajahnya itu kelihatan berseri-seri. Kemudian di panggilnya 4 pegawainya itu untuk mendekat padaku. Aku memandang sekeliling. Ada yang tak beres.

Bu Neny nampak berjalan ke belakang, ke arah meja yang di atasnya terdapat jarum suntik dan alat-alat laboratorium tadi. 4 pegawainya ini menatapku lekat-lekat seakan bersiap menerkam.

Dan kecurigaan serta kegundahaknku itu benar. Perasaan senangku itu berbelok tajam. Sekarang aku di kepung. Bu Neny dengan tampangnya yang mengerikan itu kini mendekatiku dengan jarum suntik yang di dalamnya terdapat cairan merah pekat. Tak lain. Niatnya untuk mencoblos jarum mengerikan itu ke dalam tubuhku.

Entah apa fungsi vaksin itu. Yang jelas dia bukan berniat baik. Aku menyesal untuk datang ke jebakan ini. Sungguh! 4 Pegawainya malah bergairah menerkamku. Tanganku di cengkeram oleh mereka secara kuat-kuat. Aku tak berdaya. Aku terkunci. Meski tubuh ini ku goyahkan, tak mampu untuk melepas kuncian 4 wanita edan ini. Dan bu Neny, dengan senyum mematikannya sudah mulai mendekat. Dekat. Dekat sekali.

Dan BUUUKK!!! Aku menendang perut wanita gila itu. Dia jatuh, beserta jarum suntik itu. Detik-detik berharga untuk melepas cengkeraman 4 pegawainya yang kendor.

"JANGAN BIARKAN GADIS ITU KABURRR!!!" Bu Neny berseru. Sontak 4 pegawai itu berusaha mengejarku. Aku sudah lari. Meja tempat meletakkan tabung reaksi, zat-zat kimia, termometer, serta alat kimia lainnya itu kini sudah aku tendang. Kocar-kacir dan beberapa di antaranya pecah. Mereka terhalang.

Aku terus melanjutkan kabur dari tempat ini. Tak ada gunanya jauh-jauh datang ke jebakan maut. Aku berhasil keluar dari ruangan itu. Tapi bodoh. Hanya sia-sia. Di luar ruangan tadi, pegawai lebih banyak, dan mereka sudah siap untuk menangkap tubuh kecilku.

Dengan sirgam sebuah larutan asam solfat kini sudah ada di tanganku. Mereka semua, sebanyak puluhan orang mengejarku, tak akan membiarkan celah untukku keluar dari laboratorium.

Asam solfat itu sekarang aku siramkan ke salah satu tubuh lelaki dengan jas putih dan kacamata lab yang tepat di belakangku. Salah sendiri dia menarik tas ranselku. Meski tak semua kulitnya terkena, paling tidak kepala lelaki itu sudah tersiram. Dia meronta-ronta dan segera terkapar.

Aku harus berhati-hati dengan cairan ini. Lanjutlah aku berlari saat itu. Segalanya benar-benar kacau, aku menggunakan cara melawan yang lebih nekat. Aku tak membawa senjata jadi, sebuah kapak yang tersimpan di dalam kaca itu kini ku rampas paksa. Mereka semua refleks terhenti. Aku mengangkat kapak setinggi mungkin memberi peringatan.

"Letakan itu bocah!" Seorang dari mereka berseru. Percuma.

Perlahan aku mundur, mundur dan BRUUKK. Aku menabrak bu Neny. Posisinya betulan tepat di belakangku dan ini tiba-tiba. Dia menangkapku, tapi sekarang kapak itu ku tancapkan ke kakinya. Darah mengalir deras diiringi seruannya. Dia terkapar, menangisi salah satu kakinya.

Aku keluar dengan selamat membawa kapak ini. Mereka tak berniat mengejar lagi. Lebih sigap untuk menyelamatkan bosnya yang edan itu.

***

Tak butuh waktu selama beberapa hari. Laboratorium besar dan paling terkenal itu kini sudah di sorot oleh media manapun. Crhistine Neny, wanita usia 45 tahun yang masih bugar dan cantik itu harus merelakan salah satu kakinya untuk di amputasi. Beliau tidak memberitahukan pada media siapa serta kejadian apa kemarin yang terjadi di dalam lab. Nampaknya, pegawai-pegawai juga merahasiakan. Begitu kata salah satu saluran berita yang ramai di televisi. Bu Neny serta pegawai-pegawainya itu seperti mengasingkan diri. Entah sekarang di mana keberadaan wanita itu, tak kupedulikan sama sekali. Lab itu di tutup. Segala kekacauannya masih menjadi misteri bagi masyarakat luar.

***

Kembali ku rangkum gagasan-gagasan sulit ini. Baik. Baik.

Dugaanku yang kemarin-kemarin salah. Aku bukan remaja biasa seperti umunya. Aku bukan kelainan, tapi diciptakan sengaja, yang untuk apa itu tak ku ketahui penyebabnya. Yang pasti, aku ciptaan kimia juga. Aku bayi tabung, ibuku mandul.

Aku lahir dari suntikan DNA harimau, singa, kelelawar, elang, dan soal anjing hitam itu entah benar atau tidak. Yang pasti aku bukan manusia biasa.

Mulai hari, aku mulai dapat mengendalika filter merah yang mematikan ini. Tak perlu aku bunuh orang, tak perlu. Aku sudah tak meronta-meronta berteriak minta tolong kala kelainanku itu kambuh. Bakal hilang dengan sendirinya.

Lantas, mengapa anak seusiaku dapat saling membunuh? Itu simple saja. Pengaruh dendam dan kebencian sesungguhnya. Mungkin karna aku spesial, jadi saat dendam itu sudah pada batasnya mampu membuat filter merah itu muncul kembali, membuatku ingin mengayunkan cutter ke tubuh korban.

Dan soal dari mana cutter itu tiba-tiba muncul, sebenarnya bukan suatu keajaiban atau sulap, atau cutter itu turun dari langit. Bukan. Tanpa aku sadari, yang tiba-tiba lenyap sudah dalam ingatanku. Aku suka mengoleksi cutter dengan warna kuning. Padaha aku tertarik dengan wanra merah. Aneh. Aku membeli cutter-cutter itu setiap hari. Aku mengumpulkannya dan mengapa tiba-tiba aku tak sadar sekalipun.

Ini aneh, tapi nyata dan tak dapat ku bantah.

Dan. Untungnya kakak angkatku masih saja menjadi baik. Dia tetap mengirim uang bulananku, meski aku melarang. Dia menyuruhku tinggal di rumah terpencil ini dan aku setuju. Sungguh, aku sangat berterimakasih dengan wanita itu.

***

Aku sudah genap menyelesaikan season 2 Dead in my room. Jean harus menemukan jaket pemberian dari neneknya di rumah ibunya. Rumah itu jelas enggan untuk di masuki seorang Jean, sang sulung yang di kucilkan, bahkan di usir dari keluarga itu. Jean mendatangi rumah kediaman orang tua dan adik-adiknya di luar kota. Dia datang seperti zombie dengan berlumuran darah sehabis mengobrak abrik sekolah dengan senjata. Cerita ini terhenti saat Jean membuka rumah keluarganya. Lanjutan ada di season 3 dan aku harus segera membacanya. Baru saja terbit satu minggu lalu! Dan entah saja paman Agung belum membuat versi bajakannya.

Tapi sore ini aku dengan sepedaku, menuju kios paman Agung. Hanya butuh waktu beberapa menit hingga aku sudah memarkirkan sepedaku dengan rapi di depan kios itu.

Aku memasukinya dan paman Agung sudah menyeguh secangkir kopi di meja kasir sambil membaca koran. Sebelumnya aku ucapkan selamat sore dengan ramah, dan lelaki paruh baya itu menjawab pula dengan senyum.

"Saya sudah tamat membaca Dead in my room, paman. Sekarang apakah anda sudah menjual season 3-nya?"

"Season 3? Kau tak tahu, Agg?" Dia malah ketawa. "Mark Stefanno di tentang oleh penerbit buku saat seasom 3 itu mau terbit. Padahal menurut pihak lain, cerita itu bagus. Dan sekaligus semua jawaban dari kejanggalan Jean dan musuh-musuhnya".

"Benarkah? Bukannya sudah terbit minggu lalu ya?" Bantahku tak percaya. Paman Agung ternyata lebih tahu, dan tentunya lelaki ini sudah mengikuti buku Dead in my room karya Mark Steffano.

"Berita bohong. Aku lebih tahu, karena mengikuti penerbit dan pencipta buku-buku terkenal. Entah apa isi buku itu, aku tak tahu. Tapi masih ada novel horor karya Mark lainnya. Tempatnya seperti biasa".

Aku manggut-manggut mengerti. Betul-betul kecewa perasaanku. Namun, sekaligus penasaran, mengapa novel Mark Stefanno yang kupikir tak ada unsur mengkritik itu bisa di tentang oleh penerbit buku. Sudahlah. Masih ada banyak novel horor untuk mengalihkan penasaranku dengan kelanjutan perjalanan Jean Martin.

Jam menunjukan pukul 5 sore. Masih ada beberapa pengunjung. Mungkin sekitar 9 orang. Hanya ada orang dewasa.

Aku berjalan menghampiri rak buku kumpulan genre horor dan misteri, mencari-cari beberapa novel yang bisa ku jadikan bacaan selama beberapa waktu ke depan.

"Kau membaca buku bajakan?" Suara itu. Familiar. Agam. Aku langsung menoleh.

"Ya. Kau juga" jawabku langsung ketika sebuah buku dengan cover warna di biru muda di genggam olehnya. Agam menyenderkan punggungnya di rak.

"Kau harus baca buku ini" dia menunjukkan salah satu buku padaku. Memang covernya cukup menarik dan dibilang berkesan. "Baru-baru terbit. Dan aku mendapat spoiler dari internet. Mereka bilang buku ini terinspirasi dari kisah nyata. Kau tahu?". Aku menjawabnya dengan menggeleng.

"Nama tokoh utamanya Agam. Haha. Aku menyukainya karna namaku mirip dengan tokoh utama" jawabnya.

"Cukup menarik, Agam. Tapi tahukah kau novel Dead in my room?" Aku mengalihkan, mempertanyakan novel favoritku agar pembicaraan lebih menyenangkan.

"Karya Mark Stefanno? Aku tahu. Aku membaca baru season-1 dan katanya season-3 sudah di tentang oleh penerbit"

"Ya, ya kau betul. Aku bahkan baru tahu hari ini. Menurutmu mengapa novel itu di tentang?"

"Entahlah, Agg. Tapi bagaimana kalau kita duduk di sana dulu?" Dia menunjuk bangku di luar kios. Memang kios milik paman Agung tak terlalu luas, tapi dia menyediakan kulkas dengan aneka ragam minuman dingin dan camilan ringan di rak lain.

Aku mengambil novel horor lain dan segera membayar, begitu juga Agam. Kami akhirnya memutuskan mengobrol ringan di bangku luar.

"Untukmu," dia menyodorkan minuman soda di hadapanku.

"Aku membaca benerapa komentar dari penggemar Mark, dan dari mereka menafsirkan mungkin saja season-3 terlalu kejam dan menyeramkan. Kau tahu kan? Series dari Dead in my room ini terlalu seram. Bahkan orang yang sensitif tak di anjurkan untuk membaca, dan aku juga baru tahu kau penggemar buku ini". Begitu penjelasan panjang lebarnya. Dugaannya mungkin saja memang benar.

"Oh ya, kabar panas hari ini, kau sudah tahu?"

"Apa itu?" Sekali lagi bocah ini membuatku penasaran.

"Pelaku dari kasus pembunuhan Emmi sudah tertangkap dan di urus pihak berwajib".

Bulu kudukku berdiri saat itu juga. Bahkan minuman soda yang dingin itu kini terjatuh di tanah. Pembunuh Emmi? Aku? Apa maksut dari 'tertangkap'?

"M-maaf" kataku sambil memungut kaleng soda itu. "Apa maksudmu dengan 'tertangkap'?"

"Apa? Kau tak tahu? Baru siang tadi si pelaku tertangkap. Desas-desusnya sih dia menyerahkan diri. Seorang pria usia 30-an katanya. Tubuhnya kurus tinggi dan berkulit gelap" Agam menjelaskan.

Betulan kaget. Masalah-masalah yang belum ada ujungnya ini mengerubuti kepalaku. Banyak hal aneh yang terjadi setiap harinya, dan aku tak mengerti satupun.

"Jujur aku kasihan dengan gadis malang itu. Meninggal di belakang sekolah yang sepi tanpa ada yang mengetahui".

Aku masih saja diam dengan tatapan kosong. Jantungku berdetak kencang. Kepalaku pusing dan seluruh badanku merinding.

"Untung saja pelaku sudah di adili, Aggy. Tentu saja berita ini langsung menggemparkan seluruh media"

"Agam..."

"Ya?"

"Kau berkata apa adanya? Kau betulan serius?"

"Ya."

Aku tak tahan dan tangisku pecah saat itu. Di bawah penerangan lampu di sore hari yang agak redup. Di saksikan oleh Agam dan beberapa orang yang pulang dari kios paman Agung. Aku menangis tersedu-sedu. Haruskah begini? Orang yang tak membunuh Emmi itu di penjara, tapi akulah pelakunya dengan santai hari ini membeli buku bajakan dan mengobrol dengan Agam. Andai Agam tahu akulah pembunuhnya, apa dia akan melapor? Apa semua orang akan menjauhiku apabila aku mengaku ke pihak berwajib? Tidak! Aku harus berlaku egois, aku harus bisa menjadi jahat, aku penjahat, aku pembunuh, dan selamanya begitu.

"Agg!!" Agam dengan wajah seriusnya memandangiku. "Ada apa dengamu?"

Aku yang masih terisak bahkan tak dapat menjawab pertanyaan yang bisa ku buat-buat jawabannya. Baru aku sadar betapa payahnya aku hari ini. Sudah banyak dosa yang ku perbuat. Baik pada Tuhanku, maupun pada sesama umatku.

Agam mengelus punggungku dengan halus seakan mengerti apa yang aku rasakan. Setidaknya membuatku sedikit tenang, dan aku menyeka air mataku.

"Aku paham dia sahabatmu yang baik". Omong kosong! Emmi? Sahabatku? Yang ada dia setan! Penyesalanku terhadap pembunuhan itu kini hilang begitu saja. Hanya ada kemarahan, kekecewaan, dan dendam yang terus menyala. Kau memang bodoh, Agam.

"Oh ya, mulai minggu depan, hari Rabu sekolah kita mengadakan upacara penghormatan pada murid teladan. Emmi, dia berprestasi, cantik, berbakat, dan selalu membanggakan sekolah. Dia pantas mendapatkan itu".

Sungguh aku muak sekarang. Semua hal hanya tentang Emmi, Emmi, dan Emmi. Tanpa menjawab apapun, aku meninggalkan Agam sendiri di bangku itu. Aku buru-buru mengambil sepedaku dengan kasar dan meninggalkan tempat itu. Upacara penghormatan macam apa? Pantaskah arwah pembully mendapat penghargaan sedemikian rupa?

Episodes
1 Prolog
2 Chapter 1 Steyfano Marcues
3 Chapter 2 Steyfano Marcues
4 Chapter 3 Steyfano Marcues
5 Chapter 4 Steyfano Marcues
6 Chapter 5 Steyfano Marcues
7 Chapter 6 Steyfano Marcues
8 Chapter 7 Steyfano Marcues
9 Chapter 8 Steyfano Marcues
10 Chapter 9 Steyfano Marcues
11 Chapter 10 Steyfano Marcues
12 Chapter 11 Maria Aggy
13 Chapter 12 Maria Aggy
14 Chapter 13 Steyfano Marcues
15 Chapter 14 Maria Aggy
16 Chapter 15 Steyfano Marcues
17 Chapter 16 Maria Aggy
18 Chapter 17 Steyfano Marcues
19 Chapter 18 Maria Aggy
20 Chapter 19 Steyfano Marcues
21 Chapter 20 Maria Aggy
22 Chapter 21 Steyfano Marcues
23 Chapter 22 Maria Aggy
24 Chapter 23 Steyfano Marcues
25 Chapter 24 Maria Aggy
26 Chapter 25 Steyfano Marcues
27 Chapter 26 Maria Aggy
28 Chapter 27 Steyfano Marcues
29 Chapter 28 Maria Aggy
30 Chapter 29 Steyfano Marcues
31 Chapter 30 Maria Aggy
32 Chapter 31 Steyfano Marcues
33 Chapter 32 Maria Aggy
34 Chapter 33 Steyfano Marcues
35 Chapter 34 Maria Aggy
36 Chapter 35 Steyfano Marcues
37 Chapter 36 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
38 Chapter 37 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
39 Chapter 38 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
40 Chapter 39 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
41 Chapter 40 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
42 Chapter 41 Maria Aggy
43 Chapter 42 Steyfano Marcues
44 Chapter 43 Maria Aggy
45 Chapter 44 Steyfano Marcues
46 Chapter 45 Maria Aggy.
47 Chapter 46 Steyfano Marcues
48 Chapter 47 Maria Aggy
49 Chapter 48 Steyfano Marcues
50 Chapter 49 Maria Aggy
51 Chapter 50 Steyfano Marcues
52 Chapter 51 Maria Aggy
53 Chapter 52 Steyfano Marcues
54 Chapter 53 Maria Aggy
55 Chapter 54 Steyfano Marcues
56 Chapter 55 Maria Aggy
57 Chapter 56 Steyfano Marcues
58 Chapter 57 Maria Aggy
Episodes

Updated 58 Episodes

1
Prolog
2
Chapter 1 Steyfano Marcues
3
Chapter 2 Steyfano Marcues
4
Chapter 3 Steyfano Marcues
5
Chapter 4 Steyfano Marcues
6
Chapter 5 Steyfano Marcues
7
Chapter 6 Steyfano Marcues
8
Chapter 7 Steyfano Marcues
9
Chapter 8 Steyfano Marcues
10
Chapter 9 Steyfano Marcues
11
Chapter 10 Steyfano Marcues
12
Chapter 11 Maria Aggy
13
Chapter 12 Maria Aggy
14
Chapter 13 Steyfano Marcues
15
Chapter 14 Maria Aggy
16
Chapter 15 Steyfano Marcues
17
Chapter 16 Maria Aggy
18
Chapter 17 Steyfano Marcues
19
Chapter 18 Maria Aggy
20
Chapter 19 Steyfano Marcues
21
Chapter 20 Maria Aggy
22
Chapter 21 Steyfano Marcues
23
Chapter 22 Maria Aggy
24
Chapter 23 Steyfano Marcues
25
Chapter 24 Maria Aggy
26
Chapter 25 Steyfano Marcues
27
Chapter 26 Maria Aggy
28
Chapter 27 Steyfano Marcues
29
Chapter 28 Maria Aggy
30
Chapter 29 Steyfano Marcues
31
Chapter 30 Maria Aggy
32
Chapter 31 Steyfano Marcues
33
Chapter 32 Maria Aggy
34
Chapter 33 Steyfano Marcues
35
Chapter 34 Maria Aggy
36
Chapter 35 Steyfano Marcues
37
Chapter 36 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
38
Chapter 37 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
39
Chapter 38 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
40
Chapter 39 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
41
Chapter 40 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
42
Chapter 41 Maria Aggy
43
Chapter 42 Steyfano Marcues
44
Chapter 43 Maria Aggy
45
Chapter 44 Steyfano Marcues
46
Chapter 45 Maria Aggy.
47
Chapter 46 Steyfano Marcues
48
Chapter 47 Maria Aggy
49
Chapter 48 Steyfano Marcues
50
Chapter 49 Maria Aggy
51
Chapter 50 Steyfano Marcues
52
Chapter 51 Maria Aggy
53
Chapter 52 Steyfano Marcues
54
Chapter 53 Maria Aggy
55
Chapter 54 Steyfano Marcues
56
Chapter 55 Maria Aggy
57
Chapter 56 Steyfano Marcues
58
Chapter 57 Maria Aggy

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!