Speaker music ku masih menyala. Lagu yang tak pernah aku jeda. Menyelimuti pagi ku yang suram. Dan selimut tebal ini masih setia memeluk tubuh ku. Dengan kasur yang sangat nyaman. Mengenang masa lalu bersama dengan lagu ini.
Aku bangkit dari tidur ku yang tak nyenyak. Menyisakan pegal di sebagian tubuh akibat pertarungan tadi malam. Sekarang aku lapar. Ini bahkan sudah melewati jam makan siang. Aku berjalan menuju dapur lantas memasak mie instan. Memakannya dengan lahap. Di meja yang penuh dengan kenangan buruk.
Sebuah lirik dari lagu Scorpions itu menyelubungi langit-langit. Kini aku tak dapat lagi menyuapkan mie itu ke dalam mulut ku. Aku tertahan oleh serangan rasa sakit masa lalu. Aku menggigit bibir ku. Berusaha untuk tak menjadi seperti ini lagi. Aku harus berusaha melupakan ini dan membuat kehidupan yang baru lagi. Tapi aku masih saja tenggelam dalam tangisan.
Aku tak tahan. Aku jatuh dari atas kursi ke lantai. Memegangi dadaku yang memberiku rasa sakit yang menyeruak. Masa lalu itu menggerogoti tubuhku. Menusuk ku hingga sedalam mungkin. Pada dasarnya tetap tak akan ada orang yang peduli akan hal itu. Penyakit ini lah yang paling di takuti manusia. Dan ironisnya, semua orang selalu mengalaminya. Tapi dari sebab yang berbeda-beda.
Jika seandainya, ayah ku lebih pintar. Ayah ku tidak ceroboh. Dan seandainya aku bisa lebih dewasa lagi saat itu. Aku akan menyuruh ayah bodoh itu untuk membuat obat penawar yang bisa menghapus kenangan buruk yang paling di benci manusia. Tanpa harus menghapus kenangan indah yang bisa membuat seseorang amnesia. Tapi semuanya telah tidak bisa di rubah. Begini. Dan akan tetap berjalan disini. Ini bukan lah cerita fantasi. Atau novel romance yang mengharuskan seseorang bereinkarnasi dan memperbaiki kehidupan nya yang amatlah buruk. Hidup ku tidak seperti itu.
Aku mematikan lagu itu. Dan melihat ke handphone yang tengah ku cas. Roni. Agh... Aku teringat kemarin. Dia menelpon ku tadi malam. Hingga sebanyak ini. Aku pikir dia ingin minta maaf. Aku tak ingin mengangkat telpon darinya karena aku sedang tidak ingin di ganggu siapapun malam itu. Dan aku tak dapat melakukan panggilan balik karena suasana hati ku yang tak bisa diajak berdamai. Tapi, aku tak bisa seperti itu. Edra. Aku teringat pada Edra yang menelpon ku sebelum dia mati.
Aku bergegas menelpon nya balik. Hal yang serupa. Hanya saja setelah aku menelpon nya yang ke tujuh kali, itu terangkat dengan cepat.
" Ron,... Kenapa kau menelpon ku? Ap.."
Dan lantas telpon itu mati begitu saja. Lantas apa yang dia lakukan jika dia ingin menelpon ku tapi tak ingin mendengarkan aku? Atau kah dia marah karena aku tak mengangkat telepon nya tadi malam?
Aku rasa dugaan ku benar adanya. Dia marah. Dia marah karena aku sangat lamban dalam menerima telepon seseorang. Dia marah. Dia marah sampai menggantungkan usus nya yang melilit di lehernya itu di pagar rumah ku. Tidak. Tidak lagi. Semuanya terjadi begitu saja, apa yang sebenarnya telah di lakukan anak-anak itu?
Semuanya telah menjadi lebih buruk. Keparat mana yang bisa melakukan hal yang sampai seperti itu?
" Apalagi sekarang? Aku sudah lelah. Terlalu banyak yang harus berkorban."
Aku juga tau itu. Aku tau apa yang telah di katakan Dimas itu barusan. Aku juga sudah mulai lelah. Ini bukan pembunuhan biasa. Ini adalah teror paradoks.
" Kenapa kau hanya diam? Atau jangan-jangan apakah kau sendiri yang membunuh Edra dan Roni? Aku tak ingin menyebut ini prasangka buruk tapi lihat lah segala bukti yang ada selama ini. Selama dua hari berturut-turut mayat ada di depan rumah ku. Dan tidak ada seorang pun yang tau siapa mereka. Dan bahkan siapa yang ahli bunuh-membunuh disini." Dimas menangis dengan kencang.
Aku sedikit tak percaya. Tapi yang di katakan Dimas benar adanya. Teori yang ia katakan juga sedikit masuk akal. Tapi apakah mungkin aku melakukannya saat aku tidur? Apakah aku punya kebiasaan tidur seraya berjalan? Tentu nya aku akan tau hal itu. Nyatanya pakaian ku tetap bersih selama aku bangun.
Aku kehabisan kata-kata. Aku haus kalimat untuk bisa menutup kemungkinan itu. Aku tak ingin menambah buruk diriku. Atau mungkin saja aku akan tetap hidup sendirian. Atnan bahkan tak menjawab apapun. Atau berkomentar tentang teori yang di katakan Dimas barusan. Dia hanya terdiam menunduk. Dengan air mata yang sulit untuk di hentikan.
Ternyata bermasalah dengan dunia cukup sulit dari kenyataannya. Tania menempelkan telapak tangan nya di atas punggung tangan ku. Dan kami saling tatap. Dia juga sama dengan ku tak ingin membuat ini menjadi lebih buruk lagi.
Tapi semuanya menimbulkan pertanyaan. Rasa kecurigaan ini semakin menyeruak-ruak perasaan dan pemikiran ku. Tentang teori-teori tentang bagaimana bisa seseorang dapat membunuh dengan selihai itu.
Malam itu aku pergi melintasi waktu yang aku sia-sia kan selama ini. Aku tak dapat melakukan lebih banyak lagi kecuali harus mendatangi tempat yang paling aku benci. Lantas dengan sigap para anak-anak kampungan seperti mereka itu tak berani bergutik setelah kejadian waktu itu.
" Apa yang kalian ingin kan? Membunuh teman-teman ku untuk mengurangi jumlah kami? Apa aku takut kalah? Aku takut kalah jumlah?? Untuk apa harus melakukan itu secara sembunyi-sembunyi, mengapa tak langsung kalian melakukannya di depan ku sekarang juga??"
Kataku dengan pengetahuan yang yakin bila itu adalah mereka. Tapi, mereka hanya saling tatap seperti tak percaya bila aku mengetahui semua itu dengan baik.
" Apa yang kau maksud it.."
Aku muak. Aku tak menyukai sebuah basa-basi yang sudah jelas penjelasan nya. Pertanyaan yang tidak berguna itu terhapus saat aku menghempaskan tajam pisau itu. Menyisakan kehangatan dan kepekatan darah yang terus-terusan menguncur.
" Katakan sekarang!! Apa yang kalian ingin kan?! Tidak cukup kah kalian menghina ku sejak kejadian itu??? Aku bukan pembunuh!! Aku bukan pembunuh!! "
Aku larut dalam emosi yang tak dapat terkendali. Seperti sebuah mobil yang hilang kemudi. Aku menusuk mayat orang di depan ku ini berkali-kali. Berharap untuk menuntaskan hasrat kegilaan ku atas segala yang terjadi. Wujud wajah nya sudah tidak beraturan lagi dan membuat jiwanya itu melayang seperti sia-sia.
" Aku bukan pembunuh!! Kau percaya aku bukan?! Aku bukan pembunuh!!"
Begitu pula kataku saat aku mencengkeram kerah seorang anak yang tinggi nya setara dengan ku. Aku mengoyak dada nya dengan pisau.
Semua orang lari terbirit-birit. Seperti baru saja melihat hantu yang bergentayangan dan membunuh banyak orang. Aku telah membuat mereka muntah sampai biru sesampai nya jauh dari tempat ku berada. Air mata ini lah yang membuatku terlihat seperti psikopat gadungan yang lemah. Dengan lunglai, jatuh terduduk di antara darah-darah yang bertebaran ditanah. Ya, aku bukan pembunuh. Hanya aku yang bisa mengerti itu.
Pada kenyataan nya aku masih saja belum merasa cukup dengan apa yang terjadi. Malam ini cerah. Bulan purnama menjalankan tugasnya dengan baik. Dan aku melangkah menyusuri jalan setapak yang telah sepi. Mencoba untuk bernyanyi demi kesehatan jiwa yang aku miliki.
Aku melihat darah mengalir perlahan seperti siput yang berjalan. Kepekatan itu dan bau nya yang amis. Aku mengikutinya dan itu berasal dari rumah ku. Seperti yang aku lihat saat aku pulang dari sekolah waktu itu. Entah aku yang tengah di hantui masa lalu atau memang mayat-mayat itu sungguhan ada di depan mataku.
Dan aku sungguhan melihat Tania, berdiri menatap halaman rumah ku yang telah penuh oleh cairan hitam yang keluar dari mayat. Tidak. Itu adalah kawan-kawan Leo yang di bawanya untuk menjadi sekutu kami. 1,2,3,... Itu ada 12 orang lebih. Semuanya menggupal di halaman rumah ku membentuk gundukan mayat yang sudah seperti sebuah tenda. Lantas di lem dengan menggunakan sebuah lem kayu yang amat sangatlah kuat, hingga siapa pun harus mengoyak kulit mereka satu persatu.
Tania menatapku dengan pertanyaan yang bingung. Mungkin dia bingung. Mungkin juga takut. Dia berjalan mundur ke belakang. Dengan mata yang ingin menangis ketakutan. Mungkin saja dalam hitungan detik dia akan lari dan langsung muntah sampai di rumah. Dan aku pun sama. Aku akan lari, dan menghindari kenyataan yang aku lihat. Ini sudah seperti masa lalu. Itu tidak mungkin jika aku bereinkarnasi dan di kembalikan ke masa lalu. Tapi, mayat-mayat itu telah membuatku kehilangan akal untuk berpikir jernih. Tak dapat memikirkan siapakah dalang di balik semua ini.
Yang aku pikirkan hanya, sudah hari ke berapa sekarang sejak kejadian waktu itu...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
anggita
hadiah bunga bunga🌷 utk thor.
2022-12-03
1