Aku kembali. Persetan dengan pelajaran atau hukumanku menjaga perpustakaan di sekolah. Sekarang aku berjalan setengah berlari menuju rumah. Tak ada tempat lain yang aman selain rumahku yang terpencil di tengah hutan dan tak pernah terdeteksi oleh map.
Pintu itu kubuka. Aku merebahkan diriku di atas kasur yang berantakan. Tidak. Bukan hanya kasur, tapi seluruh isi rumahku kotor bagai sarang binatang. Tak peduli aku seorang gadis atau apapun itu, aku enggan untuk membersihkan rumah.
Filter merah itu hilang. Aku menghela napas panjang meregangkan tangan dan kakiku yang mulai kaku. Seluruh kepingan ingatan tentang pembunuhan Emmi itu tak akan pernah kulupakan. Sungguh epic.
"Kau terlalu muda untuk tindakan kriminal" aku meniru ucapan Emmi sambil tersenyum getir. Ahh...betapa sangat inginnya aku menusuk-nusuk tubuhnya itu lagi.
Hoodie milikku! Ya. Tak apa, untuk kesekian kalinya aku mengorbankan barang-barang kesayanganku demi kesenangan pribadi. Betapa sederhananya aku dan betapa anehnya hidupku.
Aku meraih handphone, mengetik segala gejal yang aku alami dalam kolom pencarian.
Tak ada. Sama sekali tak ada website manapun yang menjelaskan filter merah itu yang mengubah seluruh alur cerita hidupku menjadi pembunuh. Aku membunuh 2 orang dan itu gila bagi gadis selabil diriku.
Sibuk mencari gejala kelainanku, tiba-tiba logika itu muncul. Bagaimana jika saja aku menjadi seorang psikopat? Apa karena efek red room itu? Website terkutuk itu yang tak membunuh diriku tapi malahan membuatku menjadi membunuh orang lain?
Aku kembali mencerna semuanya dari awal. Ketika efek merah itu kambuh, dan kala seluruh tubuhku merasakan sakit yang luar biasa itu tak akan bisa reda apabila aku belum membunuh seseorang. Lihat. Nyatanya aku lega dan merasa puas sehabis menghabisi seseorang. Tapi apakah aku harus membunuh orang setiap harinya demi membuatku lega? Buruk. Semuanya berbelok tajam menjadi lebih buruk.
Aku meletakan ponsel, lantas berjalan menuju cermin di kamar. Aku memandangi diriku yang sudah buruk sekali. Poniku ini, hampir menutup mata dan menganggu penglihatan. Aku memotongnya dengan gunting, tak peduli apakah itu akan menjadi rapi atau justru menjadi semakin tak rapi.
***
Esok telah datang. Langit cerah di hiasi dengan awan-awan putih. Embun pagi, dan suara gemericik air di kolam sekolah.
Seharusnya pagi ini indah dengan berbagai pemandangan semacam itu. Tapi aku salah. Ketika aku memasuki kelas, mulai dari bu Disa (wali kelasku), dan teman-teman sekelas menyerbu memintai jawaban atas menghilangnya Emmi dan diriku saat jam kosong kemarin.
Saat itulah keringat dingin mulai membasahi. God! Alasan masuk akal apa yang harus kubuat untuk menutup dosaku ini?
"Kau yang terakhir kali bersamanya kemarin" , "Ya! Kau kemarin keluar kelas bersama Emmi lalu menghilang dan tak kembali ke kelas, kan?" , "kau juga yang kemarin terakhir kali mengobrol bersamanya, bukan? Mengapa yang kembali hanya kau, Agg? Mana Emmi?".
Cukup sudah. Aku benar-benar di ujung ketakutan. Aku menyeka keringat sambil meletakan tasku sejenak ke bangku. Saat itulah bu Disa menghampiri.
"Aku..." aku mulai memutar otak dan memanaskannya. Mencoba mencari alasan masuk akal untuk menjawab desakan teman-teman dan wali kelasku sendiri.
"Di...dia di bunuh".
Mereka jelas terkejut setengah mati. Agatha menangis, dia histeris mendengar pernyataanku barusan. Keadaan ini, aku harus benar-benar bisa memanipulasi seisi kelas.
"Aku...aku kemarin di selamatkan olehnya. Emmi mengorbankan nyawanya demi aku seorang. Penjahat itu mengejar kami berdua dan dia menangkap Emmi" aku melanjutkan. Memasang raut muka paling sedih. Kini aku meneteskan air mata, hanya bersandiwara. Sungguh. Tak ada ide lain yang muncul untuk menutupi kesalahanku.
"Aggy..." bu Disa melirih lantas memelukku.
"Kau bisa ceritakan lebih lanjut? Keluarga Emmi sungguh mengkhawatirkan dan sekarang hanya bisa berdoa. Polisi masih tak dapat menemukan jejaknya".
Aku mengangguk perlahan sambil mengusap air mata palsu itu.
"Emmi dan saya tak sengaja masuk ke tempat sepi, bu. Di sana tiba-tiba kami di kejar oleh orang asing yang membawa pisau. Emmi terbunuh demi menyelamatkan saya dan saya sekarang selamat. Dia berkorban untuk saya" kataku dengan suara parau.
Semuanya tertunduk. Beberapa dari mereka menangis.
"Bisa kau tunjukan tempat itu, sayang?" Bu Disa membelai rambut pendekku, sikapnya yang lembut mencoba membuatku tenang dan bercerita lebih lanjut tentang kasus itu. Aku saja baru sadar, bahwa kepolisian terlalu lamban untuk tahu letak mayat itu.
Aku mengangguk, kemudian menunjukan dimana letak itu. Dan setelahnya bu Disa mengabari keluarga Emmi lewat telepon. Bu Disa menangis pilu.
"Kau yakin?" Suara itu. Amar memasang raut muka serius menatapku. Aku membalasnya dengan mengangguk sambil menyeka air mata.
"Kemarin bukannya kau lari dari Emmi karena takut kau di bully? Atau jangan-jangan..."
"Jangan-jangan apa?!" Aku balas berteriak membuat seisi kelas menuju padaku, termasuk bu Disa yang langsung mematikan teleponnya.
"Kau pikir aku pembunuh?! Aku benar-benar terkejut Emmi dapat menyelamatkanku setelah sekian perbuatan yang telah dia perbuat padaku!" .
"Hei sob! Aku tidak menuduhmu sebagai pembunuh gadis itu. Aku hanya mengira mungkin saja ada kejadian yang janggal".
Diamlah aku saat itu. Apa yang telah ku perbuat kemarin? Buruk. Aku menyesal sekarang. Semua firasat burukku kembali. Bagaimana jika mereka tahu? Bagaimana jika keluarga Emmi tahu? Bagaimana jika aku jadi kriminal? Bagaimana jika seluruh dunia membenciku?
Kau terlalu muda untuk tindakan kriminal. Kata-kata itu lagi. Terbayang selalu di memori otakku, merangsek selalu untuk terus diingat bagaikan semboyan saja.
"Sudahlah. Sekarang yang terpenting mayat Emmi harus segera di temukan," bu Disa membelaiku lagi, menenangkan. Apa aku berhasil mempengaruhi mereka?
***
Siang itu cukup ramai. Namaku menjadi cukup terkenal di mana-mana. Aku melihat mayat Emmi yang sudah sangat buruk. Darah busuk itu masih menyelimuti.
Hoodieku. Berbagai alasan mulai kubuat untuk menutup-nutupi segalanya. Jika mungkin mereka menjadikanku tersangka, rasanya tak memang agak sulit. Jika di pikir dalam logika masing-masing, jelaslah anak seusiaku, apalagi perempuan, agak sulit di percaya jikalau aku pembunuhnya.
Jasad itu di otopsi kemudian. Isak tangis keluarga Emmi mengiringi kematiannya. Aku masih beruntung, karna tak ada cctv dan saksi di tempat ini.
"Ada sekitar 30 tusukan pada badan anak ini. Pelipisnya kemungkinan di sayat oleh sang pelaku. Dan kami tak temukan barang bukti" seorang polisi berbicara pada wartawan setelah hasil otopsi itu selesai.
Tempat ini betul-betul ramai.
"Pelaku masih kami cari sampai sekarang. Di duga korban menyelamatkan teman sekolahnya dan pelaku membunuh korban dengan inisial E" polisi itu melanjutkan. Sesi tanya jawab itu cukup lama. Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang di tanyakan beberapa wartawan yang mengerumuni tempat kejadian perkara.
Aku tertunduk saat itu juga. Kau terlalu muda untuk tindakan kriminal. Rasa-rasanya gadis itu ada benarnya. Apakah ini yang di rasaka Jean (tokoh utama dalam novel favoritku, Dead in my room) setelah membunuh sahabatnya sendiri sehabis dihianati? Membuatku terkesima, apa yang aku lakukan, beberapa tusukan itu aku terinspirasi dari Jean. Apa mungkin saja novel itu terkutuk? Bukan, itu tak mungkin. Atau secara logika saja. Mungkin karena keseringanku membaca genre horor dan menjadi pengikut film horor membuatku jadi seperti seorang psikopat. Buruk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
anggita
klo mau promo novel bisa ketempat kami.. bebas👌
2022-12-03
1