Chapter 11 Maria Aggy

Kuah panas itu tumpah ketika aku mencoba mengaduknya. Rasanya tak rela membuang semangkuk mie yang baru saja kubuang.

Aku mengusap tumpahan kuah warna merah pedas itu dengan sebuah lap. Panas ketika kuahnya mengenai tanganku. Beruntung, masih ada setengah kuah yang tak terbuang. Aku menikmatinya sambil membaca novel dengan cover warna merah dan hitam.

Biasanya, cover seperti ini melambangkan kategori novel horor atau misteri. Karena memang kebanyakan novelku bergenre horor, pembunuhan, psikopat, dan yang paling ku sukai novel yang menceritakan kanibal.

Aku sendiri di rumah ini. Malam. Sunyi. Gelap. Angin berhembus masuk ke dalam tulang. Dingin. Aku tidak tinggal di perkotaan. Disini sangat minim permukiman ataupun bisa dibilang aku tak punya tetangga. Jadi, jika berangkat sekolah, aku perlu berjalan cukup jauh untuk pergi ke halte bus. Kemudian berangkat sekolah.

Novel tebal itu ku letakan kembali. Alangkah sangat bosan membacanya berulang-ulang, karena memang aku belum membeli series terbaru.

Aku merogoh sejumlah uang di tas ranselku. Uang harian pemberian kakakku yang bekerja di kota menjadi buruh pabrik. Tak pernah menjengkukku, hanya memberi uang perhari dengan jumlah banyak. Dan aku rasa itu sudah cukup untukku.

Sepeda ku kayuh dengan sangat cepat melintasi pohon-pohon menjulang tinggi dengan penerangan lampu yang agak redup. Sepi. Semoga saja, toko buku bajakan itu belum tutup.

Aku memarkirkan sepedaku di depan kios milik paman Agung. Dia terlihat sibuk menata buku di rak dengan teliti ketika aku membuka pintu kiosnya. Terlihat jam dinding bulat yang tertempel di tembok, menunjukan pukul setengah 9. Aku yakin sekali paman Agung hanya membutuhkan waktu beberapa menit lagi untuk menutup toko buku haramnya.

"Aggy. Apa yang sedang kamu cari?" Paman Agung menghampiriku. Intonasinya cukup sopan.

"Buku died in my room. Apakah masih ada? Maksut saya season 2-nya."

"Kamu tinggal berjalan ke samping kiri rak buku romance dan beberapa langkah lagi. Mungkin series-nya belum habis".

Aku mengangguk kemudian mengikuti sarannya. Kini buku-buku horor terjejer rapi di depanku, membuat mataku berbinar-binar karena melihatnya cukup menyenangkan. Dan ini dia! Buku yang aku cari ketemu! Season 2 covernya berwarna merah darah dengan gambar kartun manusia yang berlumuran darah. Buku ini makin tebal saja. Aku mengecek covernya. Tak terlalu berkesan, tapi aku harus memakluminya jika ini hasil fotocopy paman Agung sendiri.

Aku berlari menuju kasir. Ternyata hanya ada aku dan paman Agung disini. Ya, kan sebentar lagi toko akan tutup. Paman membungkus bukuku dengan kantong plastik dan tak lupa kembalian, dengan satu buah permen. Jangan iri. Aku adalah pelanggan setia toko buku curian ini.

Aku pulang. Pintu rumah terbuka. Aku lupa menutupnya karena buru-buru. Semoga saja tak ada hewan liar yang masuk kedalam sini. Atau mungkin pencuri? Aku rasa tidak. Pencuri mana yang berani masuk ke pelosok rumahku yang seram.

Kuah mie di mangkuk itu sudah dingin. Tak ada cara lain lagi selain membuangnya. Tanpa merapikan ruang tamu, aku langsung masuk ke kamar. Tidur.

***

Masih jam 4 pagi. Tapi aku harus bergegas untuk mandi dan berangkat sekolah. Ini aneh, anak mana yang mandi di jam pagi seawal ini? Tapi baiklah. Letak sekolahku sangat jauh dari sini, dan aku akan segera berjalan ke halte bus agar bisa datang awal.

Ketika aku berlari menuju kelas, rambut sebahuku tertiup angin menari-nari. Ini sejuk, tapi secepatnya aku harus duduk di bangkuku untuk membaca bukuku semalam. Aku akan butuh beberapa hari untuk menyelesaikannya.

Aku bertatapan mata sebentar dengan Agam, teman satu kelasku. Entah sejak kapan ini mulai terjadi, tapi aku rasa aku menyukai Agam yang sekaligus di sukai banyak anak perempuan. Juga sulit untukku mendapat hatinya, kalau aku saja tipikal anak pendiam di kelas. Lebih suka menyendiri dengan buku-buku tebalku, daripada membahas hal lain yang menurutku sama sekali tak penting.

Teman? Aku tidak punya teman. Semua orang menganggapku anak aneh, autis, menyeramkan, dan mencurigakan. Mungkin mereka pikir aku sedikit gila hanya karena jarang sekali berbicara. Kalau soal bully? Aku terkadang mendapat bullying dari teman-temanku. Persoalannya masih sama. Yaitu karena aku lebih tertarik dengan dunia buku dari pada pamer pesona.

Agam duduk, masih dengan ekor mataku yang mengikutinya. Dengan jaket warna abu-abunya, dia terlihat keren sangat.

***

Supermaket ramai dengan pengunjung. Masing-masing dari mereka mengejar diskon. Aku dengan santai melewati kerumunan yang berdesak-desakan mencari diskon. Niatku untuk membeli keperluan makanan. Stok kebetulan sudah habis. Aku cukup praktis karena biasanya hanya memakan mie instan atau makanan instan lain. Sayuran juga cukup sederhana.

Aku susah meraih kaleng sarden di rak. Meskipun sudah meloncat-locat tetap saja tanganku tidak capai. Sambil melirik ke sana kemari mencari orang yang dapat membantu, seorang telah mengambil duluan sebelum aku meminta.

"Kau mau berapa kaleng?" Agam bertanya memperhatikanku yang lebih pendek darinya.

"Dua".

Kaleng sarden itu di berikan. Lantas di tengah kerumunan dia santai meninggalkan. Aku mengejarnya. Entah ingin melakukan apa, tapi setidaknya ucapan "terimakasih" harus keluar dari mulutku.

Rasa sebalku kembali muncul ketika sudah sepuluh menit aku tak menemukan tubuh lelaki itu. Aku memutuskan untuk membayar perbelanjaanku, kemudian pulang ke rumah.

***

Aku memasuki rumah dengan berlari. Perutku sudah kosong dan ingin secepatnya diisi. Langkah kakiku terhenti di dapur dan aku mulai menyalakan kompor. Memasukan mie instan dan beberapa sayuran hijau. Aku menunggu makanan itu matang sambil menyalakan laptop. Menjelajah beberapa website onlineshoop yang biasanya meyediakan barang yang aku mau.

Jaman semakin maju, dan juga tentu dengan teknologi. Dari website kita bisa membeli barang, menjual barang, dan banyak hal seru lainnya.

Aku meng-search apa saja yang masuk dalam otakku. Entahlah, sekarang gerakan tanganku terhenti ketika aku menemukan website dengan judul "red room".

Sesuai namanya, red adalah merah, warna kesukaanku. Dan room adalah ruangan. Jadi bila di gabungkan, red room menjadi, ruangan merah.

Karena rasa penasaranku, aku menelusuri dahulu ada apa tentang website ini. Youtube, google, dan lainnya, semuanya menjelaskan jika red room adalah website yang sudah memasuki deep web (Website yang tidak bisa di cari dengan mudah karena tidak termasuk dalam world web). Tetapi aku lebih penasaran lagi mengapa laptopku dapat mengakses deep web ini.

Sekarang aku tak peduli sama sekali. Website dengan judul red room itu kini ku telusuri. Tak lupa dengan log-in dan menyebutkan semua perintah yang tertera.

Aku bersorak gembira ketika aku berhasil bergabung, meskipun harus membayar dengan uang. Ini tak seberapa. Uang harianku cukup untuk membayar live streaming dengan penyiksaan orang-orang di ruangan merah.

Live streaming sudah mulai. Begitupun juga mie instan pedas dengan warna kuah merah terhidang di depanku. Aku menyeruput kuah pedas itu, namun hangat.

Menakjubkan. Aku terkejut ketika melihat komentar yang menyuruh sang kreator untuk melakukan jenis penyiksaan yang di minta sendiri oleh penonton. Mereka hanya perlu membayar beberapa uang dan si pelaku melayani permintaan penonton.

Kemudian jariku terampil mengetik pada keyboard untuk penyiksaan selanjutnya. Tawaku keras sekali ketika si pelaku benar-benar melayani permintaanku. Mie instan pedas kulupakan. Sekarang aku sibuk dengan laptop dan red room.

Menyayat leher, menusuk bola mata, meremas wajah si korban, dan semuanya begitu memuaskan.

Sepanjang live streaming di red room membuatku tertawa puas. Setelah bertahun-tahun aku jarang sekali ketawa. Entah apapun lelucon di sekolah, di rumah, di lingkunganku, tak pernah kuselingi dengan tawa. Dapat kuingat ketika ayah dan ibuku belum bercerai dan keluarga kami masih sangatlah hangat. Di sanalah aku tertawa puas, tersenyum setiap baru bangun pagi.

Semua kesenangan itu berubah ketika ayahku bercinta dengan wanita lain. Tak pernah ku sangka, ayahku yang kuanggap sebagai orang paling menyayangiku, sudah dua tahun lamanya menjalin hubungan dengan wanita lain dan memiliki keturunan lain, selain diriku dan kakakku.

Ibuku stres. Dia menangis selama beberapa hari hingga mata indahnya itu sembab. Aku yang masih kecil saat itu hanya bisa memeluknya. Mencoba menguatkan wanita hebat itu. Aku dan kakak selalu berusaha membuat ibuku tertawa, meski saat itu aku tahu, tawanya tetap palsu. Kenyataan tak dapat dirubah.

Sebulan menahan sakit mental, ibuku menggugat ayahku. Semalaman mereka berdua bertengkar hingga ibuku kembali menangis sambil mengelus dada. Ayah dengan galak berteriak sambil sesekali melakukan kekerasan fisik pada ibuku yang lemah. Bukan hanya ibu yang sakit. Aku dan kakak jelas sudah tak tahan dengan pertengkaran mengerikan ini. Kami berdua juga korban kebodohan ayah kami.

Esoknya, mereka benar-benar berpisah. Mereka berdua bercerai. Aku dan kakakku mengikuti ibuku, tinggal dengan ibu.

Awalnya, kami bertiga memulai hidup baru kami dengan bahagia. Dengan ketulusan ibu kami dan kakakku yang mulai mencari pekerjaan di kota.

Beberapa tahun lamanya, kakak bekerja menjadi buruh pabrik yang sangat sibuk. Ibuku berkali-kali menelepon, memastikan anak sulung perempuannya itu baik-baik saja. Beberapa kali pula telepon itu di abaikan. Aku paham, bahwa kakakku sangat sibuk. Tapi ibuku lebih mengkhawatirkan anak sulungnya, tak peduli seberapa sibuk kakakku.

Entah soal pekerjaan, atau soal masalah kakak, atau mungkin masalah lain di luar sana, ibuku menjadi sering melamun. Seperti mempunyai pesan tersirat dalam kelopak matanya. Dia selalu memandangku dengan tatapan sendu saat aku sedang makan di meja dapur.

Beberapa bulan, pandangannya makin sendu. Tak pernah ada tawa dari ibuku. Aku yakin dia benar-benar stres dengan suatu masalah. Hingga kini, Ibu di rawat di rumah sakit jiwa. Mentalnya hancur berantakan. Dia mengalami sakit jiwa. Wanita itu gila. Aku lebih gila lagi. Aku tak pernah mendapat perhatian dan kasih sayang lagi.

***

Jam bekerku berbunyi nyaring memekakan telinga. Aku mengernyit dan sesekali menguap. Aku tertidur di meja makan semalam, bersama laptopku yang sudah kehabisan baterai, dan mie instan yang sudah tak enak baunya.

Aku menyingkirkan keduanya, terutama jam beker yang berisik itu. Mentari pagi belum kelihatan. Itu artinya, aku harus bergegas mandi sebelum sinar matahari benar-benar terang dan aku bisa saja terlambat ke sekolah.

Setelah merasa penampilanku cukup baik, aku menyambar hoodie yang tergantung di belakang pintu kamar. Hoodie yang sering aku pakai. Hoodie pemberian ibu dengan sejuta kenangan. Hoodie yang masih muat kupakai karena tubuhku yang mungil.

Kini aku kembali bergegas menelan roti dan susu hangatku sebagai menu sarapan pagi ini. Ku lupakan soal _deep web_ semalam, dan mie instan busuk itu.

Aku bergegas berlari menuju halte bus. Pemandangan indah alam dengan pepohonan yang menjulang tinggi menyambut kegelapan. Suara anjing liar melolong beradu dengan suara serangga di atas pohon. Langkah sepatuku juga mengisi kesunyian di tengah hutan ini.

Aku sampai di halte bus. Jalan raya sudah jelas sepi seperti biasa. Hanya beberapa mobil yang lewat, dan itupun tidak terus menerus seperti kita metropolitan, Jakarta. Halte ini memang sudah di bangun bertahun-tahun lamanya. Tetapi memang sangat jarang di gunakan, karena letaknya dekat sekali dengan hutan. Hanya aku yang setiap pagi menunggu bus, duduk sendirian di sini. Atau aku cukup beruntung mendapat teman ngobrol seperti orang yang tak sengaja mendapati ban mobil mereka yang bocor kemudia n bertanya padaku, di manakah tambal ban terdekat dari sini. Atau beberapa dari mereka mungkin saja takut padaku, karena mereka bisa saja berpikir aku bukan manusia. Ya, maklum saja. Bagaimana bisa seorang gadis dengan santai duduk di sini?

Bus yang aku tunggu sampai juga akhirnya. Aku menaikinya, melihat pemandangan beberapa pekerja kantoran dan beberapa siswa dari sekolah yang berbeda dariku.

Aku duduk sembari melihat pemandangan pohon-pohon tinggi pembatas jalan di jendela bus.

Beberapa menit berlalu, hingga bus berhenti di pemberhentian berikutnya. Aku bergegas menuju ke sekolah. Belum terlalu ramai ketika aku memasuki gerbangnya.

Langit gelap di selimuti oleh awan-awan pekat menghalangi sinar mentari pagi. Angin dingin berhembus menerpa rambutku. Suasana mencengkam ini tiba-tiba ku rasakan. Pandanganku merah. Semuanya merah darah. Apapun itu, pohon, kelas, koridor, orang-orang, semuanya terlihat seperti foto yang di edit dengan kesan merah.

Tak hanya itu. Kepalaku menjadi pusing dan perutku rasanya seperti di cabik-cabik. Aku terjatuh dengan lutut yang menimpa tanah dengan sangat keras. Spontan aku menutup kedua telingaku dengan tangan. Aku berteriak-teriak, dan akhirnya pandanganku menjadi kabur, dan jelas aku tak sadar setelahnya.

"Syukurlah". Wanita paruh baya itu lega ketika melihat aku siuman. Bu Ari. Guru bahasaku, yang menurutku masih masuk akal ketimbang guru lain.

Bau minyak-minyak-an serta teh hangat menyambutku. Kepalaku masih pusing, tapi setidaknya warna merah itu menghilang. Semuanya terjadi begitu saja tanpa bisa ku mengerti. Ketika aku bangun, aku sudah tiduran di ruang UKS.

"Temanmu tadi melaporkan bahwa kamu pingsan di tengah lapangan setelah berteriak-teriak". Tangannya cekatan membereskan obat-obatan kemudian memasukannya ke dalam kotak P3K.

"Apa kamu punya riwayat penyakit, Aggy?" .

Aku menjawab dengan menggeleng perlahan.

"Apa aku bisa istirahat sebentar di sini?" Tanyaku dengan suara parau. Entahlah, tapi badanku rasanya tak enak. Perutku mual dan kepalaku pusing.

Bu Ari mengangguk sambil tersenyum. Dia menyodorkan teh hangat dan pergi meninggalkan UKS. "Kelas sudah menunggu", katanya.

Episodes
1 Prolog
2 Chapter 1 Steyfano Marcues
3 Chapter 2 Steyfano Marcues
4 Chapter 3 Steyfano Marcues
5 Chapter 4 Steyfano Marcues
6 Chapter 5 Steyfano Marcues
7 Chapter 6 Steyfano Marcues
8 Chapter 7 Steyfano Marcues
9 Chapter 8 Steyfano Marcues
10 Chapter 9 Steyfano Marcues
11 Chapter 10 Steyfano Marcues
12 Chapter 11 Maria Aggy
13 Chapter 12 Maria Aggy
14 Chapter 13 Steyfano Marcues
15 Chapter 14 Maria Aggy
16 Chapter 15 Steyfano Marcues
17 Chapter 16 Maria Aggy
18 Chapter 17 Steyfano Marcues
19 Chapter 18 Maria Aggy
20 Chapter 19 Steyfano Marcues
21 Chapter 20 Maria Aggy
22 Chapter 21 Steyfano Marcues
23 Chapter 22 Maria Aggy
24 Chapter 23 Steyfano Marcues
25 Chapter 24 Maria Aggy
26 Chapter 25 Steyfano Marcues
27 Chapter 26 Maria Aggy
28 Chapter 27 Steyfano Marcues
29 Chapter 28 Maria Aggy
30 Chapter 29 Steyfano Marcues
31 Chapter 30 Maria Aggy
32 Chapter 31 Steyfano Marcues
33 Chapter 32 Maria Aggy
34 Chapter 33 Steyfano Marcues
35 Chapter 34 Maria Aggy
36 Chapter 35 Steyfano Marcues
37 Chapter 36 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
38 Chapter 37 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
39 Chapter 38 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
40 Chapter 39 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
41 Chapter 40 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
42 Chapter 41 Maria Aggy
43 Chapter 42 Steyfano Marcues
44 Chapter 43 Maria Aggy
45 Chapter 44 Steyfano Marcues
46 Chapter 45 Maria Aggy.
47 Chapter 46 Steyfano Marcues
48 Chapter 47 Maria Aggy
49 Chapter 48 Steyfano Marcues
50 Chapter 49 Maria Aggy
51 Chapter 50 Steyfano Marcues
52 Chapter 51 Maria Aggy
53 Chapter 52 Steyfano Marcues
54 Chapter 53 Maria Aggy
55 Chapter 54 Steyfano Marcues
56 Chapter 55 Maria Aggy
57 Chapter 56 Steyfano Marcues
58 Chapter 57 Maria Aggy
Episodes

Updated 58 Episodes

1
Prolog
2
Chapter 1 Steyfano Marcues
3
Chapter 2 Steyfano Marcues
4
Chapter 3 Steyfano Marcues
5
Chapter 4 Steyfano Marcues
6
Chapter 5 Steyfano Marcues
7
Chapter 6 Steyfano Marcues
8
Chapter 7 Steyfano Marcues
9
Chapter 8 Steyfano Marcues
10
Chapter 9 Steyfano Marcues
11
Chapter 10 Steyfano Marcues
12
Chapter 11 Maria Aggy
13
Chapter 12 Maria Aggy
14
Chapter 13 Steyfano Marcues
15
Chapter 14 Maria Aggy
16
Chapter 15 Steyfano Marcues
17
Chapter 16 Maria Aggy
18
Chapter 17 Steyfano Marcues
19
Chapter 18 Maria Aggy
20
Chapter 19 Steyfano Marcues
21
Chapter 20 Maria Aggy
22
Chapter 21 Steyfano Marcues
23
Chapter 22 Maria Aggy
24
Chapter 23 Steyfano Marcues
25
Chapter 24 Maria Aggy
26
Chapter 25 Steyfano Marcues
27
Chapter 26 Maria Aggy
28
Chapter 27 Steyfano Marcues
29
Chapter 28 Maria Aggy
30
Chapter 29 Steyfano Marcues
31
Chapter 30 Maria Aggy
32
Chapter 31 Steyfano Marcues
33
Chapter 32 Maria Aggy
34
Chapter 33 Steyfano Marcues
35
Chapter 34 Maria Aggy
36
Chapter 35 Steyfano Marcues
37
Chapter 36 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
38
Chapter 37 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
39
Chapter 38 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
40
Chapter 39 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
41
Chapter 40 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
42
Chapter 41 Maria Aggy
43
Chapter 42 Steyfano Marcues
44
Chapter 43 Maria Aggy
45
Chapter 44 Steyfano Marcues
46
Chapter 45 Maria Aggy.
47
Chapter 46 Steyfano Marcues
48
Chapter 47 Maria Aggy
49
Chapter 48 Steyfano Marcues
50
Chapter 49 Maria Aggy
51
Chapter 50 Steyfano Marcues
52
Chapter 51 Maria Aggy
53
Chapter 52 Steyfano Marcues
54
Chapter 53 Maria Aggy
55
Chapter 54 Steyfano Marcues
56
Chapter 55 Maria Aggy
57
Chapter 56 Steyfano Marcues
58
Chapter 57 Maria Aggy

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!