Chapter 12 Maria Aggy

Depresi adalah gangguan mood. Bentuk gangguan emosional berkepanjangan yang menyebabkan negatifnya pola berpikir. Suatu perilaku yang menyebabkan seorang menjadi tak punya harapan dan tujuan.

"Lantas, sekarang apa gunanya aku bersekolah?" Tanyaku pada diri sendiri suatu hari. Ketika hujan lebat membasahi rumah kecilku di tengah hutan. Kala itu, aku sedang mengerjakan pr dari sekolah, dan pikiran negatif itu muncul secara tiba-tiba.

Aku sadar jika diriku mengalami depresi. Jika orang lain menyembunyikan kesedihan itu dalam bentuk tawa ketika bersosialisasi, maka aku tidak. Aku bukan orang munafik yang suka berpura-pura menyembunyikan kesedihan itu dalam topeng tawa. Aku tak mau menunjukan kesedihan ini, juga tak mau berpura-pura bahwa aku baik-baik saja.

Lagi pula aku tidak spesial di manapun. Bagiku, aku hanya karakter tambahan yang tidak penting di sekolah. Aku tak berprestasi seperti Emmi yang menjadi kebanggaan guru-guru. Juga tak sepopuler Agitha yang di kenal banyak teman di sekolah.

Namun kini, aku bukan seorang pecundang dengan kesedihan dan depresi yang tak bisa di jelaskan hingga berpikiran untuk bunuh diri. Kejadian itu sebenarnya bermula ketika semua menjadi merah secara tiba-tiba. Aku Aggy, aku memang tak penting dan tak spesial. Tapi sekarang lihatlah, aku berbeda, di jadikan pemberani oleh sebuah warna "merah".

***

Aku merebahkan diri di kasur setelah memaksakan seluruh tenagaku untuk berjalan menyusuri hutan lebat sepulang sekolah. Kepalaku masih saja pusing. Sialan. Tapi setidaknya sekarang sudah bisa beristirahat di rumah.

Aku menoleh. Memerhatikan laptop dengan warna hitam mengkilap. Oh ya! Aku teringat dengan deep web "red room". Kurasa menonton semalam saja belum cukup. Uangku masih banyak, aku jarang membeli camilan, jadi masih utuh untuk membayar penyiksa fantastis itu.

Seperti semalam. Semuanya berjalan normal dengan susulan tawaku ketika tubuh wanita itu di siksa. Tapi hanya untuk beberapa menit ke depan saja. Semua cerita ini berbelok tajam.

Laptopku lag parah. Padahal tidak ku pencet, tapi layarnya kembali ke menu. Kesal, aku memencet sembarang keyboard hingga sebuah pop up muncul. Ini seperti virus. Membuka deep web memang mampu menyebabkan laptop terkena virus. Parahnya, pop up itu muncul bukan sekali. Tapi banyak sekali pop up muncul, spam, dengan pesan "do you like red room?". Aku geram bercampur dengan takut. Kamarku yang awalnya hening dan tenang, kini menjadi horor dan mencekam.

Karena tak tahu cara menghilangkan spam pop up ini, aku membanting laptopku ke lantai. Yang jelas laptop berharga itu pecah dan layarnya mati. Tetap saja, tiba-tiba aku menjadi stres tak terkendali, menghancurkan apa saja yang ada di dekatku. Mulai menyobek buku tulis, membanting kursi belajar, membanting tas sekolah, dan lain-lain hingga kamarku betul-betul seperti kapal pecah.

Merah. Filter merah itu muncul lagi. Seisi ruangan menjadi merah darah. Aku menutup kedua mataku, terus berteriak-teriak meskipun tak akan ada yang dapat mendengar teriakanku di sore ini. Kepalaku pusing hingga tubuhku kini tergeletak di lantai. Aku menangis masih dengan teriakan pilu. Aku mencengkeram kepala dengan kasar membiarkan, bahkan pasrah jika aku pingsan dan tak ada yang membantu.

Tidak! Aku masih belum pingsan, tapi kepalaku masih saja pusing. Ketika aku membuka mata, semua masih merah. Lari! Aku harus lari keluar meminta bantuan. Tak peduli seberapa jauh jarak yang harus ke tempuh, aku harus pergi dari sini.

Aku berlari membanting pintu masih dengan kedua tangan yang mencengkeram kepala. Semuanya juga masih di filter merah. Mengapa juga aku harus tinggal di rumah yang terletak persis di tengah hutan? Mengapa aku tak tinggal di permukiman dekat dengan tetangga-tetangga yang bisa membantu kala susah seperti ini. Karena sejatinya, manusia memang makhluk sosial yang saling membutuhkan bukan?

Kini aku sampai di halte bus. Tidak. Niatku bukan untuk menunggu bus lewat dan membawaku ke rute yang ingin ku tempuh. Aku hanya mencari orang yang bisa membantu. Maka aku berlari sekuat tenaga mengikuti jalur jalan raya yang sepi itu. Meskipun merah darah, tapi aku masih dapat melihat jelas. Aku harus mencari seseorang, siapapun itu.

"SIAPAPUN!!! BANTU AKU!!! AKU MOHON!!! TOLONG AKU!!!".

Hari mulai gelap. Entah apa yang akan terjadi. Aku mulai memukul kepala ku sendiri dengan keras. Aku menangis. Aku hanya ingin pingsan dan terbangun dengan kondisi semula.

"MENGAPA?! TAK ADAKAH ORANG DISINI?!! BANTU AKU!!! AKU MOHON SIAPAPUN!!!" Teriakanku masih kencang, memecah keheningan. Berharap ada mobil atau siapapun lewat.

Nihil. Hasilnya tetap sama meskipun aku berteriak sangat kencang. Jalan raya masih sepi. Bahkan sekarang posisiku ada di tengah-tengah jalan. Seharusnya mobil lewat dan menabrak tubuh mungilku saja! Ini sakit. Sangat sakit. Bahkan menangis tak akan bisa membuatku lega. Makin lama, rasanya makin sakit. Makin lama, warna merah ini makin tebal saja.

"TOLONG!!! TOLONG AKU!!! SAKIT!!!".

Sebuah cahaya muncul setelah beberapa detik. Lampu dari mobil. Yah, sebuah mobil sepertinya sebentar lagi lewat di depanku. Hanya hitungan beberapa detik lagi.

Dan akhirnya mobil hitam itu berhenti tepat di depanku dengan rem mendadak. Seorang pengemudi laki-laki itu keluar dengan panik mengecek keadaanku. Mungkin saja kiranya dia menabrakku.

"Hei nak! Bagaimana kau bisa disini? Akan ku antar kau berobat. Kemari".

Aku menggeleng, masih berteriak-teriak mencengkeram kepalaku. Aku masih menutup mata, tak berani melihat wajah lelaki itu menjadi warna merah.

"TIDAKKK!!! TOLONGGG!!!" Aku kembali berteriak memegangi kepala. Masih dengan mata terbuka, kini aku berdiri tepat di depan pria itu. Seperti tak terkendalikan, seperti ragaku di gerakan oleh orang lain, aku meraih cutter di saku bajuku. Dan aku sekarang tak memikirkan bagaimana bisa sebuah cutter bisa aku bawa di dalam kantong.

Dengan tatapan kosong dan merah, aku menggores cutter ke tubuh pria itu. Dia menjerit-jerit di tengah jalan raya yang sepi. Percuma juga, seorangpun tak akan bisa mendengar, kecuali ada orang yang tak sengaja lewat menggunakan mobil atau kendaraan lain.

Lehernya berlumuran darah, hingga menetes sampai ke kakinya. Begitupun juga tanganku. Kebak dengan darah, bagai mandi dalam bak air darah. Dia tergeletak di aspal menyisakan tetesan darah dari tanganku. Matanya tertutup, tubuh berlumuran darah itu sekarang tak bernyawa. Jeritannya bahkan sudah hilang. Hening seketika.

Tapi setidaknya aku berhenti meraung-raung kesakitan. Aku menjatuhkan tubuhku dengan lutut tertekuk di samping mayat itu. Warna merah itu hilang. Seluruh organ tubuhku berhenti kesakitan. Aku menjadi lega, bahkan sama sekali tidak syok. Aku menatap mayat laki-laki itu. Kemudian memperhatikan kedua tanganku, dan cutter berlumuran darah.

Sebenarnya apa? Apa yang aku lakukan barusan? Mengapa aku mampu menghabisi nyawa seseorang? Mengapa juga aku tidak merasa ketakutan? Dan yang paling membingungkan, apa salah lelaki ini?

Aku berdiri. Sebentar menatap mayat itu lagi. Lantas meninggalkannya. Berjalan pelan di tengah heningnya malam, melewati jalan raya, kemudian masuk ke dalam hutan. Pulang.

Aku rasa filter merah itu bukan hanya kebetulan. Aku menghabisi seseorang ketika filter merah itu muncul sampai seluruh tubuhku sakit. Apa memang benar adanya kutukan dari website deep web red room itu? Bukankah red room membuat stres hingga ada yang bilang seorang yang menonton mampu menghabisi dirinya di dalam kamar hingga seluruh ruangan menjadi merah? Awalnya memang aku merasa stres, tapi aku tidak menghabisi diriku sendiri. Aku malah melakukan percobaan pembunuhan yang berhasil pada seorang pria yang berniat baik padaku.

Aku tak mau memperparah keadaan. Biarkan saja laptopku rusak, penyesalanku adalah mencoba membuka red room.

***

Jam beker menyebalkan itu lagi. Emosi, aku membantingnya hingga hancur berantakan di lantai. Dengan mata masih menyipit, ngantuk, aku berjalan ke kamar mandi. Sejenak, ku pandang wajah kusutku di pantulan kaca kamar mandi. Mata manda, wajah depresi seakan aku adalah pecandu narkoba. Poni ku sudah agak memanjang hampir menutupi telinga. Penampilanku benar-benar payah seperti tak terawat.

Kini aku terduduk di lantai kamar mandi. Kejadian semalam itu masih terbayang-bayang. Sungguh? Itu aku? Aku benar-benar menghabisi lelaki dewasa. Bahkan ia punya niatan baik. Apa aku bisa di sebut pembunuh? Atau monster?

Ya Tuhan. Bahkan rasa takut atau bersalah sama sekali tak ku rasakan. Aku hanya merasa puas ketika aku membunuh lelaki itu saat filter merah itu muncul kembali. Mungkin saja, kutukan red room yang di anggap mitos itu sebenarnya fakta. Tapi mengapa juga bukan diriku yang terbunuh?

Arghhh!!! Terlalu banyak yang ku pikirkan. Aku hanya bisa membuang waktu di sini. Kelas menunggu.

***

God damn! Hari ini bahkan bukan hari pagi yang berseri-seri dan cerah seperti biasa. Ya, matahari memang terbit dari timur menampilkan cahaya pagi cantiknya yang selalu memberikan kesan tenang dan nyaman.

Tapi hei! Ayolah, hari ini aku telat. Dan lebih buruknya pagi ini adalah jam bu Neny, guru bahasa Inggrisku, guru paling menjengkelkan.

15 menit sudah aku telat datang ke sekolah. Terlalu lama di kamar mandi, serta jamku yang sudah rusak karena bantingan tadi. Tapi, ya, sudahlah. Aku hanya di berikan tugas membersihkan perpustakaan sekolah selama seminggu sebagai hukuman bagiku.

Dan ini hari pertama. Aku mengambil lap kain serta sapu lantai. Tak apa, aku bisa bersih-bersih santai sambil melihat-lihat buku di perpustakaan.

Pertama-tama, rak buku berisi buku ilmiah, kemudian yang kedua buku fiksi. Bagus, aku mulai mengelap beberapa buku ilmiah itu sambil mengusap debu di raknya juga. Tak terlalu kotor, karna buku ini sering di baca. Apalagi buku fiksi di perpustakaan kami.

"Menurutmu, komik ini, atau yang ini saja?" Suara laki-laki terdengar sayup-sayup di telingaku. Mungkin beberapa meter dari rak buku ilmiah yang sedang aku bersihkan sekarang, tapi entah karena telingaku yang sensitif, atau apapun itu, suara itu seperti terdengar sangat jelas.

"Cepatlah, Agam! Aku tidak suka menghabiskan waktu disini bersama buku-buku tak penting seperti ini" satu lagi dari mereka menimpali. Agam? Tadi dia menyebut Agam?

Yang jelas aku mendengar ada sekitar 4 atau 3 orang di sana. Dan pastilah salah satu dari mereka adalah Agam!

Rak buku ilmiah selesai. Aku berjalan perlahan ke rak buku fiksi. Mulai mengelap rak kayu itu dan beberapa buku yang terjejer rapi di sana. Buku novel sejarah, buku novel percintaan, buku novel petualangan, semuanya ada. Hanya saja, novel dengan genre horor sulit di temukan di perpustakaan sekolahku. Entah mengapa, sepertinya petugas perpustakaan agak tak suka dengan genre horor ataupun misteri.

Jarakku tak terlalu jauh, jadi badanku bisa dilihat oleh 4 orang anak laki-laki itu, dan tentunya aku bisa mengamati Agam lebih jelas. Ah...betapa mengagumkannya lelaki itu ketika memilih-milih buku. Pikirku, beberapa anak yang sering ke perpus hanyalah perempuan. Laki-laki sangat jarang mempunyai minat baca. Tapi Agam berbeda.

"Man, kira-kira apa yang dia lakukan disini?" Salah satu dari mereka, dengan postur paling tinggi membicarakanku. Tepatnya membisikannya di telinga Agam.

"Mana aku tahu, aku tak peduli"

"Kau lihat, Agam, betapa kelihatan payahnya dia" temannya terkekeh kemudian. 3 orang anak laki-laki itu tertawa pelan, kecuali 1, Agam.

"Apa kau berpikir itu hukuman bodoh?" Satunya lagi menimpali.

Mereka kembali cekikikan.

Dan BUUKKK!!! Aku menimpuk mereka dengan beberapa buku fiksi setebal 500 halaman, dan beberapa buku tebal lainnya, tepat menganai kepala mereka. Payah, apa-apaan aku di sebut dengan panggilan seperti itu?

"Hei! Hei! Apa maksutmu, bodoh?!" Lelaki tinggi itu berseru sambil memegangi kepalanya yang terkena dua buku fiksi tebal sekaligus.

"Apa yang aku lakukan?! Sebaiknya kau tanya pada dirimu sendiri, dan apa maksutmu memanggilku dengan payah, heh?!" Aku balas berseru.

Adu mulut akan meledak di perpustakaan ini sepertinya.

"Haha...pecundang! Aku menghargai keberanianmu untuk menimpuk kami dengan buku-buku tebal itu" lelaki tinggi sok keren itu bertepuk tangan sambil terkekeh. Sialan.

"Lantas? Kau pikir aku takut dengan tampang kalian?!!" Balasku.

"Kalian berdua yang payah. Kalian pikir ini tempat apa, heh? Ini perpustakaan!" Agam mencoba menengahi.

"Sudahlah. Lagi pula itu hanya masalah sepele kan, baik. Aku minta maaf atas kelakuan Roni, Agg"

"Seharusnya dia yang minta maaf, sih"

"Aku tak mau konflik ini menjadi panjang. Jadi lupakan, kami akan pergi dari sini kalau kau masih saja marah" tambahnya.

Dan benar saja. Agam dengan 3 teman menjengkelkannya itu pergi dari perpustakaan. Dan akhirnya, lebih menyebalkan lagi buku-buku yang berserakan di lantai. Arghh mengapa aku tak berpikir panjang dulu sebelum menimpuk laki-laki itu dengan beberapa novel ini?

***

Jam istirahat berakhir. Bel tanda pelajaran akan segera mulai juga sudah berbunyi. Banyak sekali siswa berbondong-bondong, berlarian menuju ke kelas masing-masing. Akhirnya hari pertama membersihkan perpustakaan ini selesai juga. Aku menyeka peluh di dahiku segera. Dan juga, lap kain dan sapu lantai ku letakkan kembali ke dekat tembok perpustakaan. Aku kembali. Ke kelasku.

Yah. Berhubungan aku yang tidak penting di kelas ini, tak ada seorangpun yang meilirik ketika aku masuk ke dalam kelas. Bangku dan mejaku kotor. Bukan. Bukan karena debu. Tapi karena tulisan pena dengan ujaran kebencian di meja kelasku.

Sialan! Sebegitu burukkah aku? Aku bersumpah, siapa saja dari kalian, suatu hari nanti aku akan mencabik-cabik tubuh kalian lantas tertawa dengan kepuasanku.

Merenung. Duduk di bangku sendiri. Menempelkan kepalaku di meja sekolah. Ya. Kelas memang ramai, suara-suara teriakan teman-temanku nyaring di telinga. Kegaduhan dan suara tertawa mereka terdengar keras di jam kosong hari ini.

Tapi mengapa aku selalu merasa sendirian? Entah harus di sebut apakah rasa sendiri di tengah keramaian seperti ini.

Udara dingin hari ini. Aku melihat pepohonan dari jendela kelas. Berayun-ayun di terpa angin. Beberapa dedaunan jatuh.

Aku juga sadar, langit menjadi mendung dan gelap. Awan-awan hitam itu menyelimuti kegelapan. Dan, entah mengapa perasaanku menjadi buruk dan mencekam?

Aku mengambil sebuah novel sastra sejarah yang aku ambil dari perpustakaan pagi dati. Bukan levelku sebenarnya untuk membaca bahasa sastra puitis seperti ini. Tapi tak apalah, buku tua ini kelihatan menarik dan klasik.

Aku mulai membolak-balik halamannya demi menenangkan perasaan burukku ini. Tidak. Mendung makin gelap, udara makin dingin hingga aku mengusap-usap kedua telapak tangaku guna menghangatkannya.

Sama sekali tak berhasil menenangkan perasaan buruk.

Itu tak seberapa. Ada yang lebih buruk. Sungguh. Buruk!

Merah. Tuhan. Jangan! Ini memerah lagi. Astaga! Aku ketakutan. Aku mencekam kepalaku. Tertunduk, aku masih dapat menahan air mata dan teriakan histerisku. Tapi tubuhku ini tak dapat di kendalikan. Aku harus berlari keluar kelas. Tak peduli. Kamar mandi? Toilet? Perpustakaan? Harus kemanakah aku? Apa UKS? Dapatkah mereka membantuku?

Filter merah sialan. Kini aku meraung-raung di kelas, tak tahan dengan rasa sakit ini. God!

"Hei, ada apa bocah payah?!" Emmi berseru menghampiriku, yang tak lain niatnya adalah meledekku.

Tak ku perhatikan, apalagi ku jawan kata-katanya. Aku masih menahan raunganku. Sekarang seisi kelaspun memerhatikanku dengan bertanya-tanya.

Apakah mereka berpikir aku sudah gila? Atau mungkin aku memang sudah gila? Apakah filter merah ini hanya ilusi belaka? Tuhan. Tapi yang jelas filter ini sakit. Aku berani bertaruh, bahwa tak ada rasa sakit yang lebih dari ini yang pernah kurasakan.

"Mungkin dia sudah gila" Amar menimpali. Tidak. Lelaki itu tak ada niatan atau unsur kata hujatan padaku. Dari intonasi dan raut mukanya, sudah jelas dia agak takut. Mungkin juga hanya Emmi yang puas melihatku kesakitan.

Emmi mengangkat mukaku, yang kini mata kami berdua tepat berhadapan. Dia tersenyum sinis, meledek.

"Apakah bully itu sesakit itu, kawan?" Dia menyeringai.

Aku menyekat mulutku sendiri. Menggigit lidahku sekuat tenaga, berharap aku tak meraung-raung seperti singa kelaparan hendak menangkap mangsa.

Aku tak tahan. Apa yang mesti aku lakukan? Sialan! Bodoh! Merah pekat dan sakit. Hanya ada satu jalan menyelamatkan diri, yaitu lari! Lari sekuat tenaga! Secepatnya mengindari jam kosong yang membunuh jiwaku ini.

"Kau mau kemana? Menghindar, heh?!" Dia menarik lenganku dengan kasar, membuatku terduduk secara paksa.

Tak harus begini. Bukan saatnya untuk meraung-raung di depan umum, meski aku saja masih tak paham dengan apa yang terjadi padaku.

Aku kembali merangsek untung melepas tangannya dari lengaku, lantas menghindar. Aku berhasil lari dari kelas meskipun Emmi mengejarku seakan tak terima jika aku lari begitu saja.

Tak tahukah kau betapa aku menahan raungan pada rasa sakitku ini? Melihat Emmi yang masih tak mau berhenti mengejarku, itu benar-benar membuat kesal.

Aku sekarang benar-benar berlari lewat gerbang belakang sekolah. Miris sekali penjagaan pada sekolah yang terbilang maju ini.

Langkah kakinya yang gesit mampu mengejarku. Tak apa. Aku masih punya rencana lain. Tapi seketika juga aku teringat dengan lelaki semalam. Ya. Ketika tanganku melayang lantas menggoreskan cutter yang tiba-tiba ada di sakuku. Lelaki itu terbunuh dengan naas tanpa dosanya padaku. Serta di luar kendali pikiranku.

"Emmi!!! Tak dapatkah kau lihat aku disini?!" Aku berseru setelah sadar posisi kami telah sampai pada tempat yang hening dan sepi.

"Ada apa?" Aku menyeringai gembira, melihat kondisinya yang pucat pasi. Dan akupun mulai mendekatinya perlahan.

"Apa yang kau lakukan, bedebah?!"

"Apa yang aku lakukan? Anggap saja ini balas dendam atas semua ujaran kebencianmu dan perilaku tak adilmu padaku".

Filter merah itu masih. Tetapi rasa sakit mual dan pusing itu berangsur-angsur membaik. Ambisi serta gairahku semakin tinggi. Aku tersenyum dengan bahagia, tak pernah merasakan gairah sebegitu menyenangkan seperti ini. Aku mulai mendekati gadis itu perlahan, yang membuatnya refleks mundur dengan perlahan juga.

Dan, jarak kami sekarang tinggal 4 langkah saja. Sebuah pohon besar sekarang menghalangi langkah mundur Emmi. Napasnya, terdengar keras. Tatapan matanya, sangat jelas mengibaratkan betapa takutnya gadis itu. Dan keringat dinginnya, bercucuran dengan deras seakan tahu apa yang akan ku perbuat padanya.

Jarak kami sekarang tinggal 3 langkah. Aku tertawa keras sekarang melihatnya yang semakin takut hingga napasnya saja tak beraturan.

"Agg...aku mohon, hentikan! Aggy, aku minta maaf"

"Kau bilang maaf, Emmi? Mungkin sebaiknya aku yang minta maaf. Maafkan aku untuk tak bisa menoleransi perbuatan kejimu padaku".

2 langkah lagi. Bahkan cutter yang tiba-tiba bisa ada di saku kemeja sekolah kini sudah aku siapkan. Ku pertunjukan ujungnya yang lancip dan betul-betul membakar gairahku.

"Aggy. Aku mohon, aku berjanji akan berbuat baik padamu sehabis ini! Aku janji!" Dia masih berseru. Ah...wajahnya jadi manis jika pucat seperti ini. Ahh...Emmi, otakmu itu tak ada gunanya.

"Orang bodoh tak akan selamanya bodoh. Dan orang pintar tak akan selamanya pintar, kawan" .

1 langkah lagi. Ahh...betapa dekatnya jarak kami. Aku menatap matanya lekat-lekat sambil mendengar napasnya yang tak beraturan.

"ARGHHHH!!!" Aku meraung-raung lagi. Sialan! Mengapa juga pada saat-saat membahagiakan ini? Filter merah itu makin pekat. Mataku, kepalaku, perutku, semuanya sakit. Seluruh organ badanku sakit! Aku tertunduk di tanah sambil meraung-raung dan mencengkeram kepalaku dengan kedua tangan.

Iya aku tahu Emmi. Ini saat-saat penting bagimu untuk lari. Tapi kau tak akan bisa lari, Emmi. Aku tak akan pernah membiarkan mangsaku lari begitu saja tanpa mati dahulu.

Aku mengejarnya, tak peduli perihal rasa sakit yang tak mau hilang ini. Langkah kaki nya begitu cepat meninggalkan tempat tadi. Begitupun aku, tubuh mungilku dengan pesat melaju mengikutinya yang semakin jauh.

BUUK!!! Dia terjatuh di tanah. Aku meneriakinya dari jauh kegirangan karena mangsaku hampir tertangkap. Betulan kakinya mungkin kram atau apa, dia tak mampu berdiri. Bagus. Emmi benar-benar tertangkap olehku.

Suara lirih dan permintamaafannya itu sama sekali tak ku dengar. Tak akan ada yang peduli padanya.

Aku mengayunkan cutter tepat mengenai pelipisnya. Sengaja aku memperlambat gerakannya dan memperdalam cutterku itu ketika mengenai kulit pelipisnya. Tak lupa tangan dan kakinya ku kunci terlebih dahulu.

Darah mengalir deras diiringi dengan teriakannya yang pilu. Dia menangis sejadi-jadinya tak lupa dengan meminta ampun. "Aggy! Aku minta maaf! Aku tak akan mengulanginya, aku janji!". Sama sekali tak ku dengar.

Kulitnya nan halus dan putih bersih itu tergores oleh sebuah cutter. Dia masih menangis.

Dan tangannya. Ya Tuhan! Dia mengambil segenggam tanah saat tangannya terlepas dalam kuncianku. Lantas segumpal tanah itu di lemparkan ke arah mataku. Perih, itu jelas.

Dia memang dapat terlepas dan segera berlari menghindar. Tapi tak tahukah dia bahwa warna merah ini membuatku menjadi lebih kuat? Aku tak akan pernah tinggal diam, Emmi.

Dia lari terbirit-birit menghancurkan apa saja yang ada di depannya. Bahkan tong sampah besar itu di lemparkan ke sembarang tempat untuk mencegah tubuhku.

Emmi. Kau pikir aku akan terhalang hanya karena sebuah tong sampah ini? Bahkan aku lebih marah, atau malah lebih menikmati semua darahmu di pelipis yang terus mengalir.

Sambil membawa sebuah cutter berlumuran darah, aku mengejar gadis itu. Entah kemanapun dia berlari. Aku akan tetap mengejarnya.

BRAKKK!!! Aku melempar tong sampah yang di pergunakannya untuk menghalangiku itu tepat mengenai punggungnya. Dia terjatuh. Bahkan Emmi masih berteriak meminta tolong, berharap seseorang menyelamatkan nyawanya yang di ambang kematian.

Aku menghampirinya perlahan, menarik kerah kemejanya. Dasi kupu-kupunya itu, aku menarik secara paksa lantas membuangnya di sembarang tempat.

BUUKKK. Pukulan pertama melayang ke arah matanya. Darah di pelipis itu masih mengalir deras. Apalagi air matanya yang tak kunjung berhenti mengalir.

"Kau! Kau terlalu muda untuk tindakan kriminal, Agg. Hidupmu tak akan tenang!" Dia berusaha membuka mulut meski susah.

"Tak akan tenang? Justru dengan membunuhmu aku bisa menjadi tenang, Emmi"

"Lepaskan! Aku mohon! Aku janji-".

BUUKKK!!! Aku memukulnya lagi, tak kuasa dengan omong kosongnya. Dia terdiam sekarang seakan pasrah untuk apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Matilah kau, Emmi!!!"

Cutter itu, menusuk perutnya, menusuk matanya, lalu menusuk ke lehernya. Dia berteriak sejadi-jadi sebelum ajal menjemputnya. Aku masih tak kuasa, aku kembali menggores tangannya, menuju ke nadi dan matilah Emmi. Hening. Dia menutup mata dan jasadnya sekarang berlumuran darah dengan banyak sekali tusukan cutter.

Aku tersenyum puas. Kemudian meletakan cutterku ke sembarang tempat. "Kau pantas mendapat ini" kataku seraya menendang jasadnya karna masih saja kesal.

Oh! Tong sampah. Itu cukup berguna. Aku menjunjung jasadnya kemudian memasukannya dengan kasar ke dalam tong sampah. Lantas aku meletakan ke tempat semulanya. Tertata rapi, tapi bercak darah ini, baiklah. Tak peduli. Tak ada cctv ataupun orang yang dapat menjadi saksi disini kan?

Aku juga melepas hoodie kesayanganku dan memasukan ke tong sampah. Untuk terakhir kali aku melihat mayat itu yang sangat tragis dan menyedihkan.

"Selamat tinggal Emmi, terimakasih".

Terpopuler

Comments

anggita

anggita

tiap bab.. ckup panjang👌

2022-12-03

0

lihat semua
Episodes
1 Prolog
2 Chapter 1 Steyfano Marcues
3 Chapter 2 Steyfano Marcues
4 Chapter 3 Steyfano Marcues
5 Chapter 4 Steyfano Marcues
6 Chapter 5 Steyfano Marcues
7 Chapter 6 Steyfano Marcues
8 Chapter 7 Steyfano Marcues
9 Chapter 8 Steyfano Marcues
10 Chapter 9 Steyfano Marcues
11 Chapter 10 Steyfano Marcues
12 Chapter 11 Maria Aggy
13 Chapter 12 Maria Aggy
14 Chapter 13 Steyfano Marcues
15 Chapter 14 Maria Aggy
16 Chapter 15 Steyfano Marcues
17 Chapter 16 Maria Aggy
18 Chapter 17 Steyfano Marcues
19 Chapter 18 Maria Aggy
20 Chapter 19 Steyfano Marcues
21 Chapter 20 Maria Aggy
22 Chapter 21 Steyfano Marcues
23 Chapter 22 Maria Aggy
24 Chapter 23 Steyfano Marcues
25 Chapter 24 Maria Aggy
26 Chapter 25 Steyfano Marcues
27 Chapter 26 Maria Aggy
28 Chapter 27 Steyfano Marcues
29 Chapter 28 Maria Aggy
30 Chapter 29 Steyfano Marcues
31 Chapter 30 Maria Aggy
32 Chapter 31 Steyfano Marcues
33 Chapter 32 Maria Aggy
34 Chapter 33 Steyfano Marcues
35 Chapter 34 Maria Aggy
36 Chapter 35 Steyfano Marcues
37 Chapter 36 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
38 Chapter 37 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
39 Chapter 38 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
40 Chapter 39 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
41 Chapter 40 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
42 Chapter 41 Maria Aggy
43 Chapter 42 Steyfano Marcues
44 Chapter 43 Maria Aggy
45 Chapter 44 Steyfano Marcues
46 Chapter 45 Maria Aggy.
47 Chapter 46 Steyfano Marcues
48 Chapter 47 Maria Aggy
49 Chapter 48 Steyfano Marcues
50 Chapter 49 Maria Aggy
51 Chapter 50 Steyfano Marcues
52 Chapter 51 Maria Aggy
53 Chapter 52 Steyfano Marcues
54 Chapter 53 Maria Aggy
55 Chapter 54 Steyfano Marcues
56 Chapter 55 Maria Aggy
57 Chapter 56 Steyfano Marcues
58 Chapter 57 Maria Aggy
Episodes

Updated 58 Episodes

1
Prolog
2
Chapter 1 Steyfano Marcues
3
Chapter 2 Steyfano Marcues
4
Chapter 3 Steyfano Marcues
5
Chapter 4 Steyfano Marcues
6
Chapter 5 Steyfano Marcues
7
Chapter 6 Steyfano Marcues
8
Chapter 7 Steyfano Marcues
9
Chapter 8 Steyfano Marcues
10
Chapter 9 Steyfano Marcues
11
Chapter 10 Steyfano Marcues
12
Chapter 11 Maria Aggy
13
Chapter 12 Maria Aggy
14
Chapter 13 Steyfano Marcues
15
Chapter 14 Maria Aggy
16
Chapter 15 Steyfano Marcues
17
Chapter 16 Maria Aggy
18
Chapter 17 Steyfano Marcues
19
Chapter 18 Maria Aggy
20
Chapter 19 Steyfano Marcues
21
Chapter 20 Maria Aggy
22
Chapter 21 Steyfano Marcues
23
Chapter 22 Maria Aggy
24
Chapter 23 Steyfano Marcues
25
Chapter 24 Maria Aggy
26
Chapter 25 Steyfano Marcues
27
Chapter 26 Maria Aggy
28
Chapter 27 Steyfano Marcues
29
Chapter 28 Maria Aggy
30
Chapter 29 Steyfano Marcues
31
Chapter 30 Maria Aggy
32
Chapter 31 Steyfano Marcues
33
Chapter 32 Maria Aggy
34
Chapter 33 Steyfano Marcues
35
Chapter 34 Maria Aggy
36
Chapter 35 Steyfano Marcues
37
Chapter 36 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
38
Chapter 37 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
39
Chapter 38 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
40
Chapter 39 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
41
Chapter 40 (Special Chapter/ Catrina Beatrice)
42
Chapter 41 Maria Aggy
43
Chapter 42 Steyfano Marcues
44
Chapter 43 Maria Aggy
45
Chapter 44 Steyfano Marcues
46
Chapter 45 Maria Aggy.
47
Chapter 46 Steyfano Marcues
48
Chapter 47 Maria Aggy
49
Chapter 48 Steyfano Marcues
50
Chapter 49 Maria Aggy
51
Chapter 50 Steyfano Marcues
52
Chapter 51 Maria Aggy
53
Chapter 52 Steyfano Marcues
54
Chapter 53 Maria Aggy
55
Chapter 54 Steyfano Marcues
56
Chapter 55 Maria Aggy
57
Chapter 56 Steyfano Marcues
58
Chapter 57 Maria Aggy

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!