Disana. Bintang-bintang itu berkelap-kelip menunggu pagi. Di atas lampu jalan yang menyala. Menerangi di setiap sudut kegelapan. Di langit jauh lebih indah dari pada yang di bumi. Di atas sana tentulah dapat berjalan seraya melayang. Dengan pemandangan penuh pesona. Damai tanpa konflik apapun. Di bumi. Manusia berjalan menelusuri kegelapan. Tak ada kedamaian. Berjalan dengan peluh dan tetesan darah. Sains telah merubah dunia menjadi lebih kejam. Harta dan kehidupan. Bedebah.
Tinggal sendirian di sebuah gubuk megah yang sunyi. Hanya di temani seekor kucing jalanan. Dan makan-makanan instan yang telah kadaluwarsa. Dan tempat tidur yang penuh buku dan sampah. Dan toilet yang mampet.
" APAPUN CARANYA BERTAHANLAH UNTUK HIDUP "
begitulah tulisan di sebuah kertas yang ada di brankas peninggalan mama dan papa. Gundukan uang yang sangat aku benci. Mengapa mereka tak mengambil brankas yang penuh uang ini saja? Mengapa harus orang tua ku yang harus diambilnya?
Aku menaruh beberapa lembar uang itu ke dalam tas. Semua buku telah siap. Dan seragam yang sudah 2 minggu tidak ku cuci. Hanya menaiki sepeda maka sampailah aku di gerbang sekolah.
Sebuah bel makan siang berdering. Kini semua telah memasuki sebuah kantin lantas duduk disana sembari makan makanan yang tidak bergizi itu.
" Apa yang akan kita lakukan pada anak-anak tengik kampung sebelah itu? Kita butuh rencana yang besar." Berkatalah ia Roni seraya melahap bakso di mangkuk nya.
" Serta anggota yang banyak. Kita tak bisa mengalahkan mereka apabila hanya 5 orang melawan anak - anak sekampung. Sebaiknya kita harus membentuk sekutu. " Atnan lantas menyahut dengan mulut yang masih penuh.
" Kau pikir mencari sekutu sebanyak itu adalah hal yang mudah. Kita saja tak tau bagaimana cara bersosialisasi yang baik. " Begitulah dimas ikut menyahut.
" Dimas benar, kita memang tak bisa melawan mereka jika kita saja kalah jumlah. Dan kita tak punya sekutu sebanyak itu. Kenapa kita tak langsung menyerang mereka? Buktikanlah bahwa pemenang tak perlu membawa banyak teman." Kataku seraya mengaduk-aduk kuah bakso.
" Gila yah? Kita selalu mudah saja di keroyok oleh mereka! Bagaimana mau menang?" Kata Edra dengan kacamatanya yang berembun.
"Ibumu punya pisau di dapur bukan? Dan bukankah ayahmu masih menyimpan celurit?" Aku mulai kesal atas segalanya.
" Weh... Kau gila? Kita bisa di penjara bodoh!" Kata Atnan.
" Itu lebih baik. Di penjara. Tidak melakukan sesuatu tapi selalu di beri makan secara gratis. "
Hingga semuanya terdiam dan menyisakan keheningan untuk beberapa saat lamanya.
" Tidak ada yang perlu di takuti di negeri ini. Tidak ada hukum yang sangatlah adil disini. Bahkan untukku. Aku bisa melakukannya sendiri kalian tak perlu repot-repot!"
"Apa yang kau pikirkan itu, Steyf? Kita semua punya masalah yang sama. Kita ada di dalam lingkaran setan yang sama. Ini bukan saat nya berhalu menjadi pahlawan. " Kata Roni.
" Lantas kau punya rencana apa untuk menyelesaikan masalah ini? Berlutut minta ampun kepada mereka sebagai seorang pengecut?"
" Hei, tenanglah. Pikirkan rencananya dengan pemikiran yang bersih." Kata Edra.
Aku tak dapat menahan segumpalan emosi di dalam darah ku yang terus naik. Aku berjalan dengan membanting kursi yang aku duduki. Berjalan menuju kelas. Dan lantas mengambil beberapa uang dan membanting nya di depan kepala sekolah.
"Hei!! Dimana sopan santun mu?" Dia meneriakiku yang berjalan dengan tas yang bergelantung di punggung. Lantas mengambil sepeda ku dan menggayuhnya sampai di gerbang.
" Mau kemana kau? Ini masih jam sekolah. Belum saatnya untuk pu..."
Halah bedebah. Ku biarkan saja basa-basi itu menjadi tidak berguna. Aku memukul nya membuatnya terkapar jatuh. Dan aku menginjak-injak dan memukul-mukul mukanya disepanjang amarahku tersisa.
Aku keluar dari sekolah dengan air mata yang terus-terusan menetes di setiap kali aku mengingat mama. Di setiap sisi raut wajahnya. Cantik dengan rambut yang di gerai. Dan sebuah gaun piyama putih yang menyelimuti tubuhnya. Dengan sikapnya yang lembut. Dan dengan suaranya yang merdu. Aku membanting sepedaku itu di halaman depan rumah. Membanting pintu dan memukulkan kepalaku di pintu itu. Aku tak peduli sakit. Aku lebih peduli pada amarah. Pada sebuah rasa kehilangan yang sulit untuk di jelaskan. Rasa sakit yang terus menggerogoti mental dan jiwa.
Semuanya terjadi begitu saja. Aku jatuh terduduk dengan amarah yang masih belum mereda. Aku duduk di antara sampah-sampah yang menumpuk di rumah ku itu. Hingga pada gelap menyelimuti matahari. Aku berjalan dengan tubuh sempoyongan. Dengan mata yang cekung. Dan sebuah kapak dan gunting pemangkas di tangan. Aku menghampiri mereka dengan tubuh yang bahkan tak dapat di tegak kan sekalipun. Sendirian. Dengan tangan yang bergetar.
" Aku kira dia setan." Dia lelaki tinggi dengan suara seraknya berkata. Maka yang lainnya akan tertawa karenanya.
" katanya dia ingin menyelamatkan orang tuanya. Minggir Rey, beri si Pahlawan Nenek ini jalan. " Dan yang di sampingnya itu tertawa selebar mukanya.
Untuk apa harus mendengarkan mereka yang bahkan tak tau apa-apa. Putra Bandar Korupsi itu harus di hancurkan segera. Dengan senyumnya yang hampir membuat mulutnya terkoyak. Dan dengan suara tawanya yang memekakkan telinga. Tak ada bedanya dengan teriakan sakitnya saat kapak itu melayang ke mulutnya. Menyisakan darah yang menetes tak terkira. Dan rasa sakit yang tiada bandingnya. Semuanya membeku. Mereka terlihat seperti seekor anjing yang takut pada kiamat. Mereka hanya menatapnya dengan mata yang membelalak. Melihat dia yang menggeliat seperti cacing yang kepanasan. Dan tak ada yang bisa aku lakukan dengan amarah yang tak kunjung sembuh. Aku menarik lidahnya dan mengguntingnya dengan gunting pemangkas semak yang aku bawa. Tak ada satupun kata lagi yang bisa ia ucapkan. Teriakan itu lah yang menjadi wasiatnya sebelum mati.
Malam itu berakhir begitu saja. Tak ada yang berani berbicara setelahnya. Semuanya hanya membeku dan tak berani bergerak. Begitulah rasa marahku mereda. Dan aku berjalan pulang kembali tanpa menyisakan kata-kata. Aku pulang dengan tubuh yang masih sempoyongan. Bedanya kini bajuku penuh bersibah darah. Ini akan sulit di bersihkan. Atau mungkin aku tak perlu membersihkannya. Biarkan saja darah itu terus menempel di bajuku yang putih itu.
Jam berapa sekarang? Jalanan sudah sepi. Hanya terdengar suara nyanyian jangkrik dari kejauhan. Aku berjalan melewati pagar rumah ku yang mewah dan sunyi. Dan terlihat mereka, menungguku di depan rumah. Dengan tatapan membelalak dan penuh tanda tanya. Melihat tubuhku yang seperti zombie baru saja memakan mangsa. Aku mengabaikan tatapan itu dan masuk ke dalam rumah. Melewati sebuah pintu yang sudah lama terbuka. Sepertinya mereka mencariku hingga kedalam rumah. Lantas aku menutup pintu itu dan menguncinya. Terciumlah bau busuk dari rumahku. Aku menyalakan lampu dan tidur di antara sampah-sampah itu.
Apakah bulan menceritakan kejadian tadi malam kepada matahari? Hari ini terasa biasa saja. Matahari begitu cerah saat aku keluar dari rumah. Aku memilih untuk berjalan kaki. Sepedaku telah hancur saat aku membantingnya kemarin. Setidaknya aku cukup puas dengan apa yang terjadi.
Aku duduk di meja ku. Dan lantas mengeluarkan buku dan membacanya.
"Kau membunuh mereka semuanya sendirian?" Edra bertanya seraya duduk di sampingku.
" Aku hanya membunuh Niko. Yang lain ku biarkan saja. Aku sudah cukup puas. "
" Kenapa tak langsung kau bunuh mereka semua saja? Kau kan tau mulut mereka seperti ibu-ibu?" Lantas Atnan menimpali.
" Jangan. Nanti aku tak ada mangsa untuk ku buat pelampiasan."
" Kau tak berpikir bahwa mereka akan menyegel rumah kotor mu itu? Bisa-bisa kau pula ikutan mati. " Kata Dimas.
" Berhentilah mengoceh! Kalian bahkan tak membantu apapun tadi malam. "
" Bagaimana kami akan membantu? Kau saja sudah menggelandang pergi sendirian tanpa aba-aba seperti orang edan!" Kata Roni.
" Kami mencari ke rumahmu tadi malam. Tau-tau saja kau sudah pulang dengan membawa kapak dan gunting pemangkas semak yang penuh darah. Kau pikir kami bisa apa dengan mulut ternganga?" Atnan menyahut.
" Aku pikir kau keluar dari sekolah. Kenapa kau melempar uang ke kepala sekolah?" Tanya Dimas.
" Apa sih? Itu kan hanya uang spp yang ku tunggak 3 tahun!"
" Masya Allah 3 tahun! Berapa juta tuh?" Kata Dimas.
" Omong-omong, seseorang mendaftarkan diri masik ke kelompok kita, Steyf.." kata Edra.
" Siapa?"
" Apa kau masih ingat si anak rambut jagung yang pandai bahasa Jerman?"
" Oh.. si penguasa lab kimia itu? Siapa namanya?"
Belum selesai pembicaraan kami, bel telah berbunyi. Semua anak duduk di meja nya masing-masing. Dan guru gemuk itu masuk ke dalam kelas.
" Steyf, kau di tunggu kepala sekolah di ruangan nya. " Katanya.
Lantas aku berdiri dan menghampiri kepala sekolah di ruangannya itu.
" Uang apa ini? Kau mau menyogok saya?"
" Anda bilang saya harus segera melunasi spp sebelum ujian akhir sekolah.."
" Bukankah kau bisa bersopan santun sedikit? Dan apa yang kau lakukan pada pak satpam kemarin, ha? Kau pikir ini tempat latihan tinju?"
" Saya buru-buru pak.."
" Buru-buru apanya?"
" Ya buru-buru lah ada masalah penting! Memangnya apa yang anda tau soal masalah hidup saya? Bukankah bapak hanya bisa mengoceh? Memberi berbagai nasehat yang tak jelas yang belum tentu mengembalikan keutuhan keluarga saya!"
Lantas aku berjalan keluar usai mengobrak-abrik emosinya. Aku berjalan kembali ke kelas seraya menghela nafas. Saat aku masuk ke dalam kelas, kursi di sebelah ku telah diduduki seonggok makhluk menggemaskan yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Tentu saja aku tak akan membiarkan pertanyaan bingung itu membekukan tubuhku di depan kelas. Dan lantas aku duduk saja di sampingnya dan kembali pada pembelajaran yang berlangsung.
Sekolah telah usai. Aku berjalan hendak ingin pulang. Tapi, tubuhku telah di tarik ke belakang.
" Buru-buru ngapain sih? Kau kan sudah janji akan bertemu dengannya sepulang sekolah!" Katanya sambil melotot.
Aku tak dapat melakukan apapun selain menuruti perkataan Roni. Dia terus saja mendesak ku untuk terus menunggu.
" Apa kau tak lelah? Kepalaku sudah pening. Lupakan saja dia, ayo kita pulang. Bukankah masih ada hari esok?"
" Kau tak bisa bersabar sedikit lagi yah? Sangat susah membuat janji dengannya."
Dan beberapa saat setelahnya, orang yang di tunggu itu datang dengan rambut yang acak-acakan dan penuh bau kimia.
" Maaf. Maaf menunggu lama. Tadi ada beberapa masalah di lab."
Namanya Leo. Leonardho Marcues. Aku dan dia mempunyai nama yang sama. Itu adalah hal yang tanpa sengaja kami ketahui begitu saja. Kami bertiga berbincang dengannya. Mengenai apa masalahnya, sampai membahas rencana penyerangan terhadap anak-anak kampung sebelah itu. Atnan, Dimas, dan Edra tak dapat ikut menyatakan pendapat. Mereka sibuk dengan pekerjaan paruh waktu dan hari ini mereka bertiga harus jaga malam. Kami pulang saat matahari sudah mulai tenggelam, dan telah berubah lagi menjadi gelap.
Aku baru saja duduk di sofa penuh sampah. Aku lelah. Bau busuk sampah yang menumpuk ini sangat menusuk hidung. Tapi ini sudah malam. Dan aku lelah. Malas untuk membersihkan rumah. Hingga pada waktu itu pula, pintu itu di ketuk. Siapa pula yang datang kemari di waktu istirahat ini? Aku malas menerima tamu, jadi aku hanya mengintip melalui jendela. Itu kepala sekolah. Mau apa dia di malam yang indah ini? Tidak kah dia berpikir jika dirinya itu hanya perusak suasana? Aku mengabaikan dia. Aku kembali duduk di sofa dan menunggu dia pergi dari sana.
Hingga beberapa saat lamanya, ketukan pada pintu telah berhenti. Aku melongok ke arah pintu dan ku lihat secuil amplop di selipkan di bawahnya. Aku melangkah dan mengambilnya. Surat pernyataan skorsing selama 4 hari. Itu bagus. Pihak sekolah tidak tau bahwasanya hukuman jenis itu sangatlah menguntungkan untukku. Aku membuang sampah tidak berguna itu di lantai. Lantas menaiki tangga menuju lantai atas dan tidur di kamar mama dan papa yang sangat bersih di banding kamar ku dan ruangan lainnya.
Entah berapa saat lamanya aku tak dapat terpejam. Aku memikirkan mama. Sedang apa dia? Apakah dia merindukan aku? Aku merindukan kecupannya sebelum tidur. Sudah lama sejak kejadian itu, aku jadi sering memikirkannya.
Aku bangun lebih awal hari ini. Ketika aku terbangun, ku lihat layar handphone yang telah di penuhi riwayat panggilan dari Edra. Apa ini? Dia menelepon ku sampai sebanyak ini. Ini bahkan lebih dari 20 kali. Apa yang dia lakukan? Aku adalah tipe orang yang tidak terlalu peduli. Melihat dia yang menelepon ku sampai sebanyak ini, aku mencoba untuk menelepon nya balik. Tapi handphone nya mati. Ya sudah.
Aku bangkit dari kasur. Hukuman skorsing ini tak menggangguku sama sekali. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tak malas hari ini. Aku membuang semua sampah yang bertebaran di lantai. Yang sudah menumpuk dan membusuk hingga kurang lebih 10 tahun ku biarkan begitu saja. Semenjak kejadian itu, aku tak berani untuk keluar dari lobi. Dan hanya duduk disana sampai situasi di luar mulai mereda.
Sudah sangat lama aku tak melihat rumah ku sebersih ini. Dan sudah saatnya untuk mengganti makanan instan yang telah kadaluwarsa itu. Aku berjalan menuju pintu hendak pergi ke supermarket dengan berbekal beberapa lembar uang. Pintu ku buka. Aku melihat lantai teras ku begitu kotor. Sangat-sangat kotor. Aku sibuk membersihkan sampah di dalam rumah. Hingga aku tak sadar bahwa ada mayat di depan pintu rumah ku. Edra. Malang sekali dia. Temanku yang paling bijaksana. Dia mati sia-sia dengan bola mata yang habis tercokel entah kemana. Mayat paling buruk yang pernah ada. Dengan leher yang seperti baru saja di bacok dengan kapak dan lengannya yang bagus itu terlepas dari tubuhnya. Apa yang terjadi padamu?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
anggita
mampir ng👍like aja.
2022-12-03
1