Hari masih siang, cahaya matahari membantu kami berdua untuk berjalan menyusuri hutan.
Aku tidak menyarankan untuk berlari, selain bisa menguras tenaga kita lebih cepat, itu juga dapat membuat beberapa hewan liar merasa terganggu. Lebih buruknya para bandit itu bisa mengetahui pergerakan kami.
Jalan setapak yang kami ikuti semakin menghilang dan mulai tertutupi oleh rumput. Ini sama seperti waktu aku sedang berburu bersama Paman Reinald. Itu artinya kami sudah dekat dengan ujung dari hutan ini.
Kami berdua sudah berjalan agak jauh dari desa. Jikalau Shin ingin mengejar kami, dia pasti akan berpikir dua kali sebelum masuk ke hutan. Kami berdua aman darinya, dan sebentar lagi tujuan kami akan terlihat.
Tapi sepertinya aku salah.
"Kita semakin ke dalam hutan." Ucap Momo.
"Eh, yaah... Aku pikir kau benar." Aku tidak dapat menutupi hal itu. Kami berdua benar-benar tersesat di dalam hutan.
Aku terus berjalan ke arah yang aku pikir benar. Melewati pohon-pohon, dan melangkahi semak-semak. Momo yang tubuhnya kecil ternyata cukup lincah melewati semak-semak itu. Dia dapat melompat lebih tinggi dari anak kecil seukurannya.
Aku sebenarnya sedang mencari jalan setapak kami tadi. Bukannya aku ingin kembali ke desa, hanya saja aku ingin menjadikan titik itu sebagai patokan untuk mencari ke arah lainnya. Ini pertama kalinya aku berjalan-jalan di dalam hutan tanpa peta seperti yang ada di dalam game.
Jika aku seorang pemburu, maka apa yang harus aku lakukan?
Perhatikan sekitarmu, rasakan apa yang ada di dekatmu.
Jadilah satu dengan mereka, dan bayangkan mereka semua memanggilmu.
Aku mencari jalan keluar dari hutan. Tuntunlah aku ke tempat para bandit itu. Mereka berkemah di sekitar hutan ini. Bawalah aku ke tempat mereka.
"Riel."
Seharusnya mereka tidak jauh dariku. Aku dapat merasakan kehadiran mereka.
"Riel?"
Jika bisa, beritahu padaku berapa jumlah mereka. Aku akan datang untuk menyelamatkan orang-orang yang mereka culik.
"Kak Riel?"
"Hei! A-ada apa, Momo?" Aku tersadar dari konsentrasiku. Dia mencolek tanganku dengan pelan, tapi itu membuatku terkejut.
"Kita sudah dekat dengan kemah mereka. Aku dapat mencium aroma manusia dari sini." Momo menunjuk arah di depannya.
"Bukankah aku juga manusia?"
"Yang ini bau."
"Ooo, aku setuju. Tapi bukankah seharusnya pendengaranmu yang tajam?" Yang 'ini' itu bukan aku, kan?
"Itu memang benar," Momo berjalan di depanku dan melewati semak-semak berikutnya. "Tapi aku tidak dapat mendengar suara mereka lagi, hanya dapat mencium jejaknya karena sudah dekat."
Aku mengikuti Momo keluar dari semak-semak, dan kami akhirnya keluar dari hutan. Tapi yang kulihat ternyata bukanlah kemah para bandit, kami berada di bekas tempat berkemah para bandit.
"Ini bekas kemah mereka?" Tanyaku.
Tempat ini terlihat seperti tanah yang sedikit lapang di tengah hutan. Ada bekas didirikannya tenda, dan juga jejak kereta kuda.
Mereka meninggalkan banyak sampah berupa sobekan pakaian kotor, potongan tali, dan beberapa ranting kayu. Ini tidak mencerminkan seseorang yang baik dalam berkemah.
Momo berjalan sebentar, lalu berhenti di tanah bekas suatu tenda.
"Kita terlambat." Momo mengepalkan tangannya dengan erat. Dia kecewa karena tidak dapat menolong para teman-temannya.
Aku menghampirinya namun tidak dapat berkata apa-apa. Padahal aku sudah kabur dari Shin, tapi tujuanku sama sekali tidak tercapai di sini. Para bandit itu sudah meninggalkan tempat mereka dan membawa teman-temannya Momo pergi.
Aku memperhatikan Momo, dia tidak terlihat menangis. Tapi aku tahu dia sedang menahannya.
"Padahal di sini cukup dekat dengan desa. Kenapa para penduduk desa tidak menyadarinya?" Aku mulai memikirkan itu. Jika mereka membuat kemah di sini, pasti akan sangat mencolok bagi yang tinggal di dekat sini.
"Mereka tidak membuat api unggun karena menggunakan kristal sihir. Jadi tidak akan ada asap yang dapat dilihat dari jauh." Jawab Momo. Dia tahu karena dia pernah di sini sebelumnya.
Begitu ya. Sihir bisa menjadi teknologi praktis di dunia ini.
"Kak Riel, apa kau ingin mendengar permintaan egoisku?"
"Hmm? Apa itu?" Aku mendekatinya agar bisa mendengar lebih jelas. "Katakan saja apa yang ingin kau katakan. Tidak usah sungkan."
"Baiklah." Momo memutar tubuhnya dan menghadap ke arahku. "Maukah kita mengejarnya? Aku... aku tidak bisa meninggalkan mereka semua."
Momo pasti sangat menyayangi teman-temannya.
Aku dapat merasakan rasa kekhawatirannya. Terlebih lagi perjuangannya untuk mencari bantuan dari beberapa orang. Lalu Paman Reinald dan bahkan Shin tidak punya niatan sama sekali untuk membantu Momo.
Pada akhirnya akulah yang turun tangan. Walau sebenanya aku juga ingin menguji kekuatan pistol baruku ini.
"Momo," panggilku.
"Ya?"
"Tenang saja. Aku akan membantumu mencari dan juga menyelamatkan mereka. Oleh karena itu, jangan menyerah dan ayo kita terus bergerak!"
"Ya!"
Aku mengulurkan tanganku, dan dia menangkapnya dengan sedikit gemetar. Aku sedikit mempererat genggamanku agar membuat kekhawatirannya sedikit hilang.
Aku meyakinkan dirinya untuk percaya kepadaku. Karena dengan begitu dia akan lebih percaya diri untuk terus melangkah.
"Baiklah, sekarang kira-kira kita harus kemana?" Tanyaku. "Jika para bandit itu sudah pergi, mereka pasti menuju ke suatu tempat terdekat."
"Mereka pasti sedang menuju kemah berikutnya, aku sempat mendengar beberapa obrolan mereka. Tempat itu ada di dekat sebuah kota." Momo menjawab.
Sebuah kota, ya.
Di dekat sini hanya ada Kota Ciatar dan juga Kota Deedalee. Aku tinggal di Kota Ciatar dan tidak menemukan kejanggalan apapun di sekitar sana. Itu artinya tidak salah lagi mereka pasti ke kota Deedalee.
"Aku pikir tidak ada keanehan di sekitar Kota Ciatar. Jadi kita akan pergi ke kota Deedalee."
"Kota Deedalee? Bagaimana cara kita kesana?" Momo nampaknya sama sekali tidak tahu tempat di luar desanya.
"Yang jelas aku tahu jalannya. Ikuti aku." Dengan begitu aku mulai bergerak mengikuti jalan yang dilalui para bandit tadi.
Aku mengikuti jejak roda dari kereta kuda milik mereka yang masih tercetak jelas di rerumputan. Momo di belakang ikut berjalan tak jauh dariku. Kami akan pergi menuju Kota Deedalee, tapi aku memiliki suatu pilihan yang menarik untuk sampai ke sana.
"Momo, apa kau bisa mendengar suara kendaraan bermesin dari sini?" Tanyaku.
"Kendaraan bermesin? Apa itu mesin?"
Ah, iya. Aku lupa kalau kucing ini nolep. Dia pasti belum pernah melihat kereta sihir sebelumnya.
Aku mencoba mendeskripsikan suara kereta yang tengah berjalan. Karena mesin yang digunakan oleh kereta itu berjenis mesin uap, aku mencoba menirukan suara kereta api yang kutahu.
"Aaaaa..." Momo hanya bengong.
"Kau tidak mengerti? Ya sudahlah. Kita akan berjalan menuju tepi hutan lainnya, di sana pasti ada rel yang akan dilalui kereta berikutnya." Aku kembali berjalan mengikuti jejak. Setidaknya jejak ini pasti mengarah ke salah satu jalan keluar dari hutan, dan kami akan menemukan rel kereta di sana.
Karena sewaktu aku melompat dari kereta, di sekitarku ada banyak pepohonan dan semakin jauh semakin lebat. Meski begitu aku melompat di sebuah jalan setapak yang memang sudah menuju desa.
Momo yang sedari tadi berjalan di belakangku, tiba-tiba melompat ke depan dan berdiri diam di sana. Kuping imutnya bergerak-gerak mencari sesuatu.
"Aku dapat mendengar suara yang kau tiru tadi. Aku menemukan mesin yang Kak Riel maksud itu!" Mata Momo berbinar. Dia terlihat senang dapat mendegar suara yang aku deskripsikan alakadarnya.
"Kalau begitu, ayo cepat ke sana! Kita bisa tertinggal karena ia berjalan sangat cepat." kataku.
"Oke!"
Momo mulai berlari mengikuti arah suara yang dia dengar. Bahkan aku sendiri masih belum dapat mendengarnya.
Kami berjalan menerobos hutan untuk mengambil garis lurus agar lebih cepat. Jalan yang di lalui bandit itu hanya memutari hutan dan akan membuat kami tertinggal kereta.
Hah, hah. Momo larinya cepat juga. Ditambah dengan kelincahannya melewati pepohonan, jarak kami berdua semakin menjauh. Padahal aku sudah berusaha berlari semampuku.
Jes, jes, jes, jes, jes...
Itu dia! Aku dapat mendengarnya meski agak samar.
Kami berdua terus berlari melewati pepohonan dan semak-semak. Beberapa ranting pohon menghalangiku yang lebih tinggi, terobos aja lah! Meski pakaianku akan kenapa-napa, tapi apa yang di depan kami lebih penting untuk saat ini.
Jes, jes, jes, jes, jes...
"Sudah dekat!" Ucap Momo.
Setelah berhasil mengimbangi jalanku dengannya, kami berdua melompat melewati semak-semak di tepian hutan. Kami pun tiba di luar hutan.
Pepohonan terpangkas rapi di sepanjang tepian hutan, membentuk sebuah jalan. Ada sebuah rel di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Lalu di bagian kanan rel terhampar padang rumput yang luas.
"Awas!" Aku menangkap Momo dan membanting tubuhku ke belakang. Kami berdua terjatuh di semak-semak, bertepatan dengan kereta yang meluncur di depan kami.
Jes, jes, jes, jes, jes...
Suaranya terlalu berisik sehingga aku tidak menyadari kalau kami sudah sedekat itu dengannya.
"Ini, kereta?" Momo memerhatikan benda panjang yang berjalan dengan cepat di depannya. Matanya melotot takjub setelah pertama kali melihat kereta, tapi telinganya menutup karena suaranya yang berisik.
"Ya, ini kereta. Kita akan menuju kota Deedalee menggunakan benda ini." Aku berdiri dan melihat ke ujung belakang gerbong kereta. Sedikit lagi gerbong itu akan tiba di dekat kami. Karena kereta ini berjalan sangat lambat dibanding kereta di duniaku, seharusnya aku masih bisa naik ke atasnya.
"Momo, kita akan naik ke atas kereta itu! Jadi kita harus berlari mengimbangi kecepatannya, lalu melompat naik di gerbong belakang."
"Baik!"
Sekaranglah saatnya, scene mengejar kereta!
Momo beranjak bangun dan kami mulai berlari mengikuti kereta. Meski aku sudah berlari semampuku, tapi kereta ini ternyata masih berjalan lebih cepat dariku.
Beberapa saat kemudian, gerbong terakhir tiba di samping kami, tapi langsung melesat maju dan membuat kami tertinggal.
"Tidaaak!! Lebih cepat!" Aku memacu kakiku hingga mencapai batas. "Momo! Naik ke gerbong itu duluan!" Teriakku.
Dengan tubuhnya yang kecil dan gesit, Momo langsung mempercepat larinya dan melompat ke atas kereta. Di bagian belakang gerbong ada tempat seperti balkon, atau lebih tepatnya teras, aaakkh aku tidak tahu apa namanya. Yang jelas di gerbong belakang kereta itu terdapat pijakan yang biasa di pakai untuk beristirahat atau melihat pemandangan di belakang.
"Kak Riel!" Momo sudah berada di atas kereta, dan aku masih berlari di belakangnya.
Aku memacu lariku lebih cepat. Lebih cepat! Aku tidak boleh meninggalkannya sendirian di kereta itu.
"Tangkap tanganku, kak Riel!" Momo mengulurkan tangannya.
Jarak kami masih agak jauh. Tapi aku terus mempersingkat jarak kami dengan mencoba berlari melewati batas kemampuanku.
"Hyaaaaaa!!"
Dapat!
Aku berhasil meraih tangan Momo, lalu dia membantuku naik ke atas kereta. Akhirnya aku dapat menyusul dan naik ke atas.
Aku terbaring di lantai dengan nafas yang memburu. Akhirnya aku dapat mengejar kereta untuk yang pertama kalinya selain di dalam game. Ternyata begini rasanya, menyenangkan juga.
"Kau tidak apa-apa, Kak Riel?" Momo berjongkok di dekatku.
"Ya. Cukup oke." Aku beranjak ke posisi duduk.
Kami berdua berhasil naik ke atas kereta. Sekarang kami akan menuju ke kota Deedalee dan akan sampai sebelum malam. Itu membuat kami mempunyai waktu untuk mencari penginapan.
Namun scene bagian kereta belum berakhir sampai di sini.
Seseorang datang dan membuka pintu gerbong belakang. Aku dapat melihat isi dari gerbong itu yang merupakan gudang penyimpanan. Tapi di ambang pintu gerbong berdiri seseorang yang mengenakan pakaian rapih petugas.
Dia memang petugas.
"Apa yang kalian lakukan di sini!?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments