"Ada goreng Uli, bah! sama goreng bakwan." jawab Salamah sambil menyimpan gorengan yang sudah ia tiriskan, ke dalam nampan jualannya.
Tanpa bertanya lagi, Mbah Abun mengambil gorengan yang sudah terhidang di atas nampan nampan jualan. dia mulai menyuap gorengan yang masih panas, sehingga membuat pipinya yang sudah mulai keriput, sedikit mengembung.
"Hati-hati! panas Abah." ingat Salamah yang melihat kelakuan Mbah Abun.
"Telat, Bi! Kirain sudah dingin." jawab Mbah Abun yang terdengar suaranya agak sedikit ngosom, karena lidahnya kebas kepanasan.
Salamah hanya menggeleng-gelengkan kepala, merasa lucu dengan tingkah pria tua yang seperti anak kecil, yang tidak bisa membedakan mana yang panas mana yang anget. padahal Mbah Abun memakan gorengan itu, dia mengambil pakai tangan, masa dia tidak bisa merasakan panasnya gorengan itu. sedangkan Mbah Abun dia meneruskan kembali sarapan gorengannya dengan perlahan, bahkan sebelum dimasukkan ke mulut, sekarang dia meniupnya terlebih dahulu, agar makanan itu sedikit dingin.
"Sudah bi! Abah makan, goreng uli lima, bakwannya lima. Totalnya jadi berapa?" tanya Mbah Abun sambil mengisi gelas dengan air minum.
"Rp250, Mbah!"
Mbah Abun pun merogoh kantong celananya, namun Alangkah terkejutnya dia, ketika uang yang diambilnya penuh dengan lumpur.
"Kenapa Mbah?" tanya Salamah yang merasa heran dengan perubahan mimik wajah Mbah Abun.
"Kok uang saya penuh dengan lumpur, Bi! Padahal tadi ketika diberikan oleh Mang sarpu, uangnya bersih."
"Uang dari Mang Sarpu?" ujar Salamah yang terkejut, kemudian dia bangkit dari tungku perapian, ingin melihat lebih jelas dengan apa yang disampaikan oleh pelanggannya.
"Iya Bi! lihat nih, uangnya penuh dengan Lumpur." ujar Bah Abun memperlihatkan uang yang ada di tangannya.
"Hati-hati, Mbah! nanti Abaj jadi tumbalnya lagi." ujar Salamah yang merasa kasihan, melihat Mbah Abun. dia takut pelanggannya menjadi salah satu korban dari kekayaan tetangganya, karena sudah jadi rahasia umum, kalau mang sarpu memiliki kelakuan yang aneh. Meski belum bisa membuktikan.
"Ah jangan suudzon seperti itu, bi! nggak baik. nggak apa-apa kan, uangnya penuh Lumpur? nanti bisa dicuci ini." sanggah Mbah Abun, sambil menyodorkan uang yang ada di tangannya.
"Saya takut bah! ya sudah! Abah nggak usah bayar, daripada saya nanti kena getahnya." ujar Salamah yang merasa ngeri dengan uang yang hendak diberikan oleh Mbah Abun.
"Bagaimana uang saya, semuanya jadi terkena Lumpur." jelas Mbah Abun yang mengeluarkan seluruh uang yang ia miliki.
"Abaaaah, nggak papa! Abah nggak usah bayar, mendingan Abah sekarang buruan pulang, nanti siluman babinya malah mampir ke tempat saya." usir Salamah yang merasa takut terjadi hal yang buruk menimpanya.
"Jangan begitu Bi! mang sarpu adalah sahabat baik saya Bi. nggak boleh memfitnahnya." tolak Mbah Abun yang tidak setuju dengan apa yang diucapkan oleh penjaga warung.
"Sudah! buruan pergi, Mbah! Sekali lagi saya mohon maaf, saya bukan tidak menghormati tamu. namun saya takut! Tolong mengerti dengan keadaan saya." ujar Salamah dengan mengiba, karena dia benar-benar merasa takut, dengan apa yang akan terjadi kepadanya. ketika dia menerima uang pembayaran dari Mbah Abun.
"Abah juga minta Maaf! bukannya Abah nggak mau bayar. tapi bibinya yang menolak!"
"Ya nggak apa-apa bah! doakan saja saya agar dapat rezeki yang lebih dari itu."
"Sekali lagi terima kasih!" ujar Bah Abun sambil kembali memasukkan uang pemberian dari mang sarpu ke dalam kantong celananya. walaupun uang itu penuh lumpur, namun bagi Bah Abun, itu sangat berharga.
"Iya bah! nggak apa-apa!" jawab Salamah yang merelakan penglarisnya hilang.
Setelah penjaga warung tidak mau menerima uangnya Mbah Abun pun berpamitan. hendak meneruskan perjalanannya kembali ke rumah yang berada di kampung Ciandam.
****
Burung-burung berkicau di ranting-ranting pohon, seolah ikut merasa bahagia, karena sebentar lagi Mbah Abun akan memiliki usaha yang baru. mentari yang baru terbit dari ufuk sebelah timur, memberikan hangat ke semua makhluk yang berada di bawahnya, tampak satupun terkecuali.
Di Jalan Setapak terlihat ada seorang pria tua, dengan menggunakan topi koboi kebanggaannya. sedang berjalan dengan Roman wajah berseri-seri, namun hatinya tidak bisa berbohong, karena baru saja dia mengalami kejadian aneh, yang tidak dimengerti oleh nalarnya.
"Kalau tahu uangnya akan berubah menjadi penuh dengan Lumpur, mendingan aku memakan makanan oleh-oleh dari mang sarpu buat si Ambu." gerutunya yang merasa malu, mengingat kejadian ketika dia hendak membayar sarapan paginya.
Tak diceritakan lamanya di perjalanan, akhirnya Mbah Abun pun sampai di rumahnya. dengan cepat Ambu Yayah menyambut kedatangan suaminya, dengan mengambilkan air teh lalu dihidangkan. sedangkan cemilannya, Ambu yayah membuka bungkusan plastik yang dibawa suaminya, oleh-oleh dari mang sarpu.
"Dari mana saja abah, kok baru pulang? kirain ambu, Abah kenapa kenapa." tanya istri Mbah Abun sambil menatap ke arah suaminya.
Mbah Abun pun mulai menceritakan kejadian yang dia alami, kejadian ketika dia hendak Diseruduk oleh babi hutan saat menonton pertunjukan adu babi. namun Mbah Abun tidak menceritakan semuanya, karena di situ ada Ranti yang baru pulang dari ******. Dia ikut bergabung bersama keluarganya.
"Masa! nggak apa-apa Bah! kan diseruduk sama babi? Coba ambu lihat perutnya, nanti ada luka lagi!" ujar Abu Yayah Yang merasa khawatir dengan keadaan suaminya.
"Benar ambu!" jawab Mbah Abun sambil mengangkat baju kampret yang ia kenakan. benar saja, tidak ada luka yang berarti di perut Mbah Abun, hanya ada goresan yang sudah tak terlihat.
"Makanya kata Ambu juga! jualan itu jangan jauh-jauh. Nanti kalau sudah paham dengan caranya berjualan berkeliling. baru mencoba berjualan ke kampung yang jauh. Untuk sekarang yang deket-deket saja." Ambu Yayah kembali memberikan nasehat kepada suaminya.
"Iya ambu! lain kali Abah akan berjualan ke kampung-kampung yang dekat dengan daerah kita." jawab Mbah Abun
"Oh iya, bagaimana keadaan Mang sarpu.Apakah mereka sehat?" tanya Abu Yayah Yang sudah sangat mengenal sahabat suaminya.
"Sehat ambu! Bahkan bukan sehat lagi, sehat banget marahan! Sekarang kehidupan Mang sarpu berbanding 180 derajat dari kehidupan yang dulu. sekarang rumahnya paling besar, paling bagus. Sawahnya paling luas, padinya paling banyak." jelas Bah Abun terlihat raut wajah bangga kepada sahabatnya.
"Iya yah, Bah! dulu kita yang seperti itu, Mang sarpu yang di bawah. sekarang Mang sarpu yang di atas, kita yang di bawah. benar-benar, kehidupan itu seperti roda yang berputar." ungkap Ambu Yayah mengenang kembali ke masa jayanya .
"Eh malah ngobrol, Tolong ambilkan golok, sama gergaji! Abah mau ngambil bambu, kebetulan iratan kita sudah habis kan?" pinta Mbah Abun yang terlihat bangkit dari tempat duduknya.
"Istirahat saja dulu, bah! besok baru mulai kerja kembali."
"Iya Abah! Lagian kita kerja keras juga nggak ada hasilnya. mending nikmatin kesengsaraan kita." ujar Ranti membenarkan pendapat ibunya.
"Justru kita sengsara! Makanya kita harus giat bekerja. masalah hasil atau tidaknya itu urusan sang pencipta." jelas Mbah Abun sambil tersenyum menanggapi perkataan polos anaknya.
Abu Yayah pun akhirnya mengalah, dengan sedikit gontai, karena merasa kasihan terhadap suaminya. dia pergi ke dapur, mengambil peralatan sesuai yang Mbah Abun minta. lalu kembali ke ruang tamu, untuk memberikan peralatan yang baru saja ia ambil.
"Hampir lupa! Abah belum memberikan hasil penjualan penanak nasi kita, serta uang pemberian dari mang sarpu." ujar Bah Abun sambil merogoh kantong celananya, kemudian dia mengeluarkan uang yang berlumpur tadi. namun Alangkah terkejutnya dia, ketika mengetahui uang itu bersih tanpa ada sedikitpun noda yang menempel.
"Kenapa Abah bengong, Nggak jadi ngasih uangnya?" tanya Abu Yayah sambil menatap heran ke arah suaminya.
"Jadi kok! jadi! nggak apa-apa!" jawab Mbah Abun yang terlihat gugup, menyembunyikan rasa herannya. dengan cepat dia membagi uang itu, sebagian diberikan kepada istrinya sebagai nafkah, sebagian lagi ia bawa untuk membeli bambu yang hendak dijadikan iratan.
Setelah memberikan uang hasil penjualan aseupan, Mbah Abun pun pergi menuju ke rumah Mang Juju untuk membeli kembali bambunya. begitulah Mbah Abun yang selalu semangat dalam mencari kehidupan untuk keluarganya. tidak ada kata lelah, ketika dia mencari nafkah, dia Terus semangat meski hasilnya sedikit.
******
Malam hari. suara kodok dari arah sawah terdengar saling bersahutan, seolah memberitahu kepada teman-temannya, bahwa waktu itu adalah waktu untuk mencari makanan. serangga-serangga malam pun, tak ketinggalan untuk meramaikan Sepinya malam di perkampungan.
Di tengah rumah mbah Abun, terlihat ada tiga orang yang sedang duduk mengobrol, sambil menurunkan nasi Setelah makan malam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments