"Babinya sudah kabur, bah! Abah nggak apa-apa, kan?" tanya Jana yang memberitahu keberadaan babi hutan yang tadi menyerang Mbah Abun.
"Abah nggak apa-apa! cuman Abah tadi syok, ketakutan sama babi yang begitu besar." jawab Bah Abun brigidik ngeri, mengingat kembali kejadian yang baru menimpanya.
"Coba saya lihat perut Abah! Siapa tahu saja ada yang luka." saran Jana yang merasa khawatir dengan keselamatan orang tua itu.
Mbah Abun menurut, dia membuka kancing bajunya, terlihat ada goresan-goresan kecil berwarna merah. namun setelah diperhatikan dengan teliti, itu bukan goresan yang ditimbulkan oleh taring babi hutan tadi, melainkan itu goresan didapat, ketika Mbah Abun jatuh dari pohon kelapa.
Setelah memperhatikan tubuhnya, dan tidak terjadi luka berat. Mbah Abun pun perlahan mencoba berdiri.
"Mau ke mana, bah?" tanya Jana yang merasa heran.
"Pulang Jang! nanti kalau di sini lama-lama, Abah diseruduk Babi lagi." jawab Mbah Abun. Dia terus berjalan pergi membelah kerumunan orang-orang yang mengelilinginya. menontonnya
Melihat kepergian Mbah Abun yang selamat dari serangan babi tadi, para warga yang menolongnya mulai bubar untuk kembali ke rumah masing-masing! namun ada beberapa warga yang masih penasaran, dengan perkembangan babi yang melarikan diri. mereka pun mengikuti para pemburu yang tadi mengejar ke dalam hutan. sedangkan Bah Abun dia kembali ke penjaga karcis, untuk mengambil barang jualannya. setelah mendapat permintaan maaf dari pihak panitia, Mbah abun pun meneruskan perjalanan pulang Kembali menuju arah kampung Sukaraja, sambil terus menawarkan barang jualannya.
Matahari sore yang sudah mulai meredup, teriknya tidak sepanas tadi siang, membuat siapa saja akan Betah bermain di luar rumah, untuk Menikmati keindahan sang pencipta. namun berbeda dengan seorang pria tua yang sedang berjalan di Jalan Setapak, sambil memikul penanak nasi yang terbuat dari bambu. Dia berjalan sambil terus memikirkan kejadian yang baru saja menimpanya, karena dia sangat merasa heran, kenapa babi itu tidak melukainya. lama berpikir namun pria tua itu tidak kunjung mendapat jawaban, hingga akhirnya dia sampai di warung yang ada di pertigaan jalan.
"Sudah pulang lagi aja, bah! nonton adu babinya?" Tanya Salamah yang melihat kedatangan mbah Abun.
"Iya Bi! hampir-hampir Abah celaka!" jawab Bah Abun sambil menyimpan barang jualannya, kemudian dia duduk di bangku yang sudah disediakan.
"Celaka bagaimana, bah? terus Jana dan Dadun ke mana, kok mereka tidak pulang bareng sama abah?" tanya Salamah menatap lekat ke arah pria yang ada di luar warungnya.
Sebelum bercerita, Mbah Abun mengambil air minum terlebih dahulu, untuk menghilangkan rasa haus setelah perjalanan jauh. setelah tubuhnya kembali segar, Mbah abun menarik nafas dalam, kemudian dia mulai menceritakan semua kejadian yang menimpanya, ketika tadi menonton pertunjukan adu babi.
"Ya Allah! kok bisa seperti itu, tapi beneran Abah nggak luka sedikitpun?" ujar Salamah setelah mendengar cerita Mbah Abun yang sangat menyedihkan. Dia bertanya seperti itu, mungkin merasa khawatir dengan keadaan orang yang bercerita.
"Nggak Bi! Tapi begitulah! namanya juga lagi nahas, mau bagaimana lagi. Oh iya! ngomong-ngomong di sini jualan nasi nggak Bi! Soalnya Abah lapar." tanya Mbah Abun, perutnya yang baru diisi tadi pagi sebelum berangkat dari rumahnya, sekarang bersuara seolah meminta sajen.
"Saya cuma jual gorengan Mbah! Saya nggak jual nasi, tadi juga ada nasi sedikit sudah habis dimakan saya! kalau mau Abah nunggu, nanti ikut pulang ke rumah saya, karena di sini saya tidak memasak nasi." jawab Salamah, memang benar dia hanya menjual gorengan, dia Jarang memasak nasi di warungnya. biasanya juga dia kalau mau makan, suka dianterin oleh anaknya yang perempuan.
"Nggak usah, Bi! kalau begitu Saya makan gorengan aja!" ujar Mbah Abun, mengambil goreng pisang yang sudah dingin.
"Ya sudah! Abah makan gorengan sepuasnya! Abah nggak perlu bayar. Lagian sebentar lagi saya mau tutup! Sayang kalau ada sisa." Jawab Salamah yang merasa kasihan.
Mbah Abun pun mengangguk, namun kalau untuk mendapat gratisan, rasanya Dia tidak mungkin menerima. karena dia juga tahu Kalau jualan itu pakai modal.
"Oh iya, Abah rumahnya di mana?" tanya Salamah untuk memecahkan heningnya suasana.
"Kampung Ciandam!"
"Ya Allah! itu kan jauh Bah? menurut kabar yang Saya dengar, dari sini ke Ciandam Butuh Waktu tiga sampai empat jam. kalau abah dari sini jam segini, mungkin baru Isya kali ya? Nyampe ke sana." ujar Salamah yang terlihat kaget, setelah mengetahui alamat pelanggannya.
"Nggak! Abah nggak mau pulang ke rumah, tadinya Abah ke sini mau menemui sahabat Abah, di kampung Sukaraja. Bibi kenal dengan orang yang namanya sarpu! nama panjangnya Syarifudin." jelas Bah Abun.
"Mau ngapain, Abah bertemu orang seperti itu?"
"Maksudnya bagaimana, Bi!"
"Nggak! nggak! Maaf saya salah berbicara." ucap Salamah yang memalingkan pandangan, seperti menyembunyikan sesuatu.
Mbah Abun yang mendapat keterangan seperti itu, dia tidak terlalu tertarik. dia fokus mengisi perutnya dengan gorengan. setelah mengganjal perutnya, Dia meminum air kembali, sebagai penutup dari makan sorenya.
"Totalnya jadi berapa bi?" Tanya Bah Abun yang sudah siap-siap kembali melanjutkan perjalanan.
"Sudah Abah nggak usah bayar, kalau mau ke kampung Sukaraja mending Abah sekarang berangkat, takut kesorean. Nanti yang punya rumah tidak ada." saran Salamah.
"Nggak boleh begitu! Bibi kan jualan pake modal." tolak Mbah Abun yang sama-sama penjual.
"Sudah! enggak usah bayar Mbah. saya mau tutup warung terlebih dahulu." ujar salamah sambil mulai merapikan sisa jualannya.
"Beneran, ini?" tanya Mbah Abun memastikan.
"Bener Abah!" jawab Salamah sambil melirik sebentar, kemudian meneruskan pekerjaannya tanpa mempedulikan Mbah Abun lagi.
"Ya sudah kalau begitu! terima kasih. Saya mau bertanya satu lagi Bi! rumah Mang sarfu masih di situ kan?" tanya Mbah Abun sebelum berangkat.
"Iya bah! rumah yang paling besar, dan paling mewah di kampung Sukaraja." jelas Salamah membuat Bah Abun mengerutkan dahi, karena sepengetahuannya rumah Mang sarfu, adalah rumah yang paling terjelek dan terkecil di kampung Sukaraja.
"Bukannya dulu rumahnya itu paling kecil?"
"Iya dulu, sebelum dia tersesat, sudah! sekarang Abah buruan pergi, Nanti kemalaman. Karena kalau malam dia bekerja." usir Salamah dengan intonasi suara yang terdengar tegas.
Mendapat orang yang diajak bicara seolah menghindar, dan memojokkan sahabatnya. Mbah Abun pun sekali lagi berpamitan, kemudian dia memikul kembali dagangannya, dengan cepat-cepat dia berjalan menuju ke arah bawah, menuruni bukit. karena letaknya Kampung Sukaraja itu, berada di bawah warung Salamah.
Benar saja apa yang dikhawatirkan Salamah, karena ketika Mbah Abun sampai di kampung Sukaraja, terdengar suara bedug magrib dari arah masjid yang dipukul, menandakan semua orang harus menghentikan aktivitasnya, untuk menyembah Tuhan sang pencipta.
Mbah Abun terus berjalan menyusuri jalan besar, menuju ke arah barat Sampai akhirnya dia berhenti di salah satu rumah yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh penjaga warung. rumah yang dulunya kecil dan bobrok bahkan sampai ditopang oleh pohon bambu, karena sudah miring, sekarang berbeda jauh. rumah itu terlihat megah, walaupun hanya terbuat dari kayu. dan kalau dibandingkan rumah itu adalah rumah terbesar yang ada di kampung Sukaraja. namun yang membuat Bah Abun merasa heran, rumah itu masih terlihat gelap, tidak ada pencahayaan yang keluar dari dalam rumah. Padahal rumah-rumah lain sudah menyalakan lampu Damar mereka.
Dengan ragu-ragu, Mbah Abun mulai mendekati rumah megah itu. kemudian dia mengucapkan salam, tak lama setelah mengucapkan salam, keluarlah seorang wanita yang seumuran dengan Mbah Abun. Mungkin bedanya hanya beberapa tahun.
"Maaf mau mencari siapa?" tanya wanita itu.
"Mang Sarpunya ada, Bi! saya Mbah Abun, masak Marni lupa, sama saya?" ujar Bah Abun memperkenalkan diri.
"Ya ampun Ini beneran Abah, maaf Marni tidak mengenali Abah, soalnya sudah gelap, jadi Marni nggak jelas melihat Abah terus dandanan Abah sekarang berbeda dengan yang dulu." ucap wanita yang bernama Marni yang merasa tidak enak dengan kurang penyambutannya. Tapi itu bukan sepenuhnya kesalahan Marni, karena Mbah Abun memang seperti itulah kenyataannya, sekarang yang jauh berbeda saat sering main ke rumah Mang Sarpu.
"Nggak apa-apa! Mang Sarpunya ada? abah mau nginap di sini. Boleh kan kalau abah menginap di sini?"
Ditanya seperti itu Marni terlihat ragu-ragu untuk menjawab, karena ada beberapa hal yang tidak bisa dijelaskan kepada tamunya itu.
"Kalau abah Gak boleh nginep di sini!abah mau tidur di pos ronda saja." ujar Bah Abun setelah tidak mendapat jawaban dari tuan rumah.
"Boleh kok! boleh bah! ayo masuk, Suami saya belum pulang kerumah, tadi bilangnya mau ke kota. tapi sampai saat ini dia belum pulang. kalau abah mau Abah tunggu aja!" Jawab Marni seolah terpaksa
Setelah itu Marni pun mempersilahkan tamunya, untuk masuk ke dalam rumah, yang terlihat masih gelap. Dia pun meminta izin terlebih dahulu, untuk pergi ke dapur, mengambil air minum untuk tamunya, dan menyalakan lampu Damar.
Namun lama menunggu, Marni tidak kembali, menemui Mbah Abun. bahkan keadaan di luar semakin gelap, karena waktu maghrib juga sudah terlewat sangat jauh.
Mbah Abun Hanya bisa pasrah, dengan nasib yang dialaminya. nasib yang selalu sengsara, tadi siang nyawanya hampir melayang direbut oleh babi hutan, sekarang dia ditelantarkan oleh tuan rumah yang sedang ia sambangi.
Kita tunda cerita Mbah Abun yang lagi merasa sedih. kita bahas ke mana sebenarnya Marni pergi. tadi ketika datang Mbah abun, Sebenarnya dia enggan menerima tamunya. namun mengingat kebaikan Mbah Abun di masa lampau, dia tidak bisa menolak. ketika Mbah Abun hendak menginap di rumahnya, dengan terpaksa dia pun mengiyakan permintaan Mbah Abun itu
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments