Raden menjelaskan alasan botol itu diberikan kepada gadis kecil pengamen jalanan.
" Tetapi, itu botol air minum punyaku. Kenapa kamu memberikan itu kepada pengamen?" tanya Mira.
" Benar. Tapi kamu gak berada di sana. Kamu gak akan paham dengan situasinya." kata Raden.
" Namun itu kan botol ku. Kenapa kamu bisa memberikan itu padanya?" tanya Mira lagi.
"Karena aku sangat benci kisah menyedihkan. Aku sangat sentimental. Bayangkan saja seorang gadis kecil menjadi pengamen jalanan dari pagi hingga malam. Dia kehausan. Bagaimana kamu bisa begitu tega dan mengabaikannya?" Kata Raden agar Mira paham posisinya saat itu.
"Apa kamu ini gak punya rasa kemanusiaan? Tega sekali kamu!" Teriak Raden kesal.
Mira hanya menunduk diam. Raden yang melihat Mira seperti itu, dirinya merasa bersalah. Raden merasa jika perkataannya yang kasar mungkin sudah menyinggung perasaan Mira.
" Raden, maafkan aku. Aku memang gak berada situasi tersebut dan aku gak memahaminya. Persoalannya bukan harga botol itu mahal atau gak. Hanya saja, botol itu bernilai sentimental untukku." Kata Mira lalu kembali menunduk kepala.
Raden tidak paham. Masa hanya sebuah botol itu bernilai sentimental untuk Mira.
"Sentimental bagaimana maksudmu?" tanya Raden.
"Ibuku memberikan botol air minum itu sebelum dirinya pergi.."
Belum sempat Mira menyelesaikan ceritanya. Raden segera memberhentikannya untuk melanjutkan cerita.
"Baiklah! Aku akan mendapatkan kembali botol minuman itu untukmu. Cukup sudah kisah sedihnya. Aku akan segera kembali." kata Raden lalu pergi meninggalkan kelas.
Raden menuruni tangga, dia melihat Ken tengah bermain skateboard.
"Ken!" Panggil Raden.
"Kamu gak ada jadwal kelas? Kamu mau kemana?" tanya Ken yang sedari tadi melihat Raden sedang terburu-buru.
"Kamu sendiri gak ada jadwal kelas, kan?" tanya Raden balik.
" Gak ada sih. Tapi aku sedang bermain skateboard." jawab Ken.
" Baguslah. Ayo ikut aku!" Kata Raden lalu menarik tangan Ken mengikutinya.
"Kemana?" tanya Ken.
"Udah! ikut saja." jawab Raden.
Rara berjalan menuju kantin kampus. Dia berjalan mendekati satu toko jualan.
"Permisi, ibu ada jualan plester gak?" tanya Rara.
" Gak ada dek." jawab ibu penjual itu.
" Apakah ada sesuatu yang digunakan untuk menutupi luka?" tanya Rara lagi.
Ibu itu malah mengambil lakban dan ditunjukan kepada Rara. Rara kaget saat ibu itu menunjukan lakban.
"Eum. baiklah Bu. aku permisi dulu." kata Rara pergi dari situ.
Rara mengambil makanan yang dipesannya lalu kursi yang kosong. Saat dirinya hendak makan, Rara merasakan ngilu di jarinya terluka. Dikarenakan dirinya lapar, Rara tidak perduli tetap menggunakan jari lukanya itu untuk memegang sendok, meskipun dirinya merasa kesulitan. Saat hendak menikmati makanan. Tiba-tiba ponselnya Rara berbunyi, ternyata itu ada notifikasi pesan dari Setia.
"Bagaimana jadwal kelas mu di laboratorium hari ini?" isi pesan dari Setia.
"Sial banget! aku ketinggalan banyak materi. Itu karena jari ku yang teriris." balas Rara.
"Tapi kamu sekarang baik-baik saja, kan? Apa jarimu masih berdarah?" Balas Setia.
" Aku gak apa-apa. Hanya saja aku masih menggunakan tisu untuk menghentikan darahnya." Balas Rara.
" Sebenarnya apa yang terjadi sehingga jari mu itu bisa terluka? mengapa kamu gak berhati-hati?" balas Setia.
" Itu karena aku sedang menyimak kisah mengenai laboratorium anatomi. Apa kamu juga tahu sesuatu mengenai kisah itu?" balas Rara.
" Kisah yang menceritakan bahwa setiap permohonan apapun akan dikabulkan." balas Setia.
" Jadi, kisah itu benar? apa kamu pernah dengar informasi lain mengenai kisah itu?" tanya Rara.
"Gak." balas Setia.
"Kamu gak pernah mendengarnya?" balas Rara.
" Aku gak tahu." balas Setia.
"Hm.. apaan sih kamu!" balas Rara kesal.
" Emangnya kamu mau buat permohonan apa?" tanya Setia.
"Tetapi kamu harus janji merahasiakannya. Aku akan membuat permohonan untuk Bima." balas Rara.
"Untuk apa? Agar dia menerima perasaanmu?" tanya Setia.
"Gak! Bukan itu. Aku akan membuat permohonan agar Bima mau pergi kencan bersama denganku. Setelah itu aku akan mengurus sisanya. Hebat, kan?" balas Rara.
"Gak tuh!" balas Setia.
"Loh, mengapa gak? Kamu pasti jika aku cewek aku gak boleh bergerak duluan. begitu?" Balas Rara.
"Gak. Bukan itu maksudku. Sebenarnya masih ada kelanjutan kisahnya. Tahukah kamu mengapa kamu harus meninggalkan laboratorium tepat saat pukul 12.13?" balas Setia.
" Emangnya kenapa?" tanya Rara.
" Jika kamu masih berada di sana lebih dari pukul 12:13. maka kamu akan menjadi korban selanjutnya. Kemudian ada tangan yang akan menyentuhmu dan mengisap jiwamu." balas Setia.
Rara membaca pesan dari Setia membuat buluk kuduknya berdiri.
"Sialan! kisah yang konyol! kamu membohongiku. Baru saja kamu membalas jika kamu gak tahu apa-apa mengenai kisah itu." balas Rara.
" Aku hanya berpura-pura untuk gak mengetahuinya. Tetapi itu terserah kamu, apa kamu ingin mempercayainya atau gak. hanya saja, jangan berkata.... jika aku gak mempertingati mu sebelumnya." balas Setia.
Rara mengetik pesan di ponselnya dengan kesal.
" Aku gak akan tertipu! Dasar pembohong!" kesalnya Rara pada ponselnya.
"Lebih baik aku gak usah pergi." kata Rara pada dirinya sendiri.
"Pergi kemana?" tanya Satria yang tiba-tiba datang dan duduk disamping Rara.
"Bukan urusanmu." jawab Rara cuek.
Satria melihat Rara lalu menarik tangan Rara yang jarinya terluka.
"Apa lagi si?" tanya Rara lalu menarik kembali tangannya.
"Diamlah." kata Satria.
"Apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Rara kesal.
"Diamlah. Mari kulihat jarimu yang terluka." kata Satria menarik tangan Rara lalu melepaskan tisu yang menutupi luka di jari Rara.
Satria mengambil plester disaku bajunya. Dan menempel plester itu di jari Rara yang terluka.
"Auw!" teriak Rara kesakitan.
"Kamu ini beneran calon dokter gak sih! Balutanmu terasa sangat sakit." kata Rara menahan rasa sakit.
"Husshh. Aku mengatakan padamu untuk jangan bergerak." Kata Satria.
Satria meniup luka di jari Rara itu yang sudah dibalutinnya. Rara hanya melihat tindakan Satria kepada jarinya yang terluka itu. Gejala aneh itu muncul kembali dihatinya. Satri menatap wajah Rara.
"Sekarang kamu bisa makan dengan nyaman." kata Satria.
"Dimana kamu membelinya? Aku udah mencari kemana pun, tetapi gak ada yang menjual." tanya Rara karena sedari tadi Rara mencari plester tidak ada yang menjual.
"Diluar kampus, dan perlu waktu lama aku mencarinya. Anehnya plester itu susah dicari saat kamu memerlukannya." kata Satria sambil membuka botol minuman yang dibawa.
Satri meneguk minuman yang baru dibukanya. Rara terus melihat Satria menikmati minumannya. Merasa diperhatikan Satria pun bertanya.
"Apa yang kamu lihat? jika kamu mau, katakan saja. Ini untukmu." kata Satria memberikan satu botol minuman baru untuk Rara.
"Gak usah! Memangnya siapa yang minum!" kata Rara.
Tidak disangka Rara bersendawa. Satria tersenyum.
" Kamu baru saja bersendawa. Pasti perutmu kembung. Minum ini agar meringankan perut kembungmu." kata Satria.
" Sudah ku katakan aku gak mau." kata Rara.
Satria menghiraukan perkataan Rara. Dia mengambil sedotan dan menusuknya diminumkan yang dikasihnya untuk Rara. Rara menolak. Satria terus memaksa bahkan menyuapi minuman itu ke mulut Rara. Rara terus menolak. Karena Satri tetap memaksa, mau tak mau Rara mengalah dan meminum minuman itu. Tidak disangka penolakan tadi membuat sendok makan Rara terjatuh ke lantai. Satria menyadari itu mengatakannya kepada Rara.
"Kamu temanku, kan? ambilkan sendok yang baru untukku dong." kata Rara.
"Apa katamu? aku sudah memberikan minuman itu untukmu." Kata Satria menolak.
" Katanya kamu temanku? Masa kamu gak bisa membantuku?" Kata Rara.
Satria terdiam dan memilih untuk mengalah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments