BAB 18

DIAN HARTANTO akhirnya menemui pihak manajemen apartemen tempat Dennis tinggal. Setelah menyerahkan tanda pengenal dan bukti bahwa dia yang membayar sewa apartemen tersebut, akhirnya pihak manajemen menyetujui permintaan Dian Hartanto untuk membuka pintu kamar Dennis.

“Aku khawatir terjadi sesuatu dengannya di dalam sana,” ucap Dian Hartanto menyebutkan beberapa kemungkinan yang bisa terjadi.

“Dari laporan tukang parkir dan laundry, Bapak Dennis memang tidak terlihat dalam beberapa hari ini. Bahkan, mobilnya masih terparkir di tempatnya,” jawab kepala keamanan ikut mendampingi Dian Hartanto.

“Aku sudah mencoba berusaha menghubunginya berkali-kali, tapi juga tidak tersambung. Semoga saja tidak terjadi sesuatu dengannya.” Dian Hartanto melangkahkan kakinya memasuki ruangan lift.

“Apakah bapak sudah menghubungi pihak kerabat atau kawan karibnya?” tanya manajer apartemen sambil menekan tombol angka enam.

“Dia hanya sendirian di Jakarta. Jadi, sebagai pimpinan tempat dia bekerja, aku merasa perlu bertanggung jawab,” jawab Dian Hartanto.

“Berarti Pak Dennis termasuk orang penting di perusahaan bapak?” tanya sang manajer berusaha menggali informasi lebih jauh tentang Dennis.

Dian Hartanto terpaksa berbohong untuk menutupi identitas Dennis. “Dia direktur perencanaan keuangan. Banyak pekerjaan terhambat selama dia menghilang.”

Manajer itu tampak antusias. “Wah, pantas saja mendapat fasilitas apartemen mewah. Perusahaan bapak pasti sangat bonafit?”

“Tidak terlalu. Kami bergerak dibidang trading bitcoin. Semacam investasi saham.”

“Sepertinya menarik. Sudah lama saya mendengar tentang bitcoin, tapi belum berani berinvestasi ke sana. Kalau bapak ada waktu, kapan-kapan saya ingin berkunjung ke kantor bapak. Siapa tahu, kita bisa bekerjasama,” ucap sang manajer.

Mendengar itu, Dian Hartanto seperti mendapatkan keberuntungan. Saat ini, ia memang sedang memerlukan investor baru.

Bunyi suara lift berhenti terdengar diiringi pintu yang terbuka.

“Kabari saja segera. Dalam minggu ini adalah momentum baik untuk memulai berinvestasi bitcoin.”

“O, ya? Kalau begitu saya akan datang besok ke kantor bapak. Kira-kira, berapa dana yang diperlukan agar mendapatkan profit yang besar? Lima sampai sepuluh milyar, cukup?” tanya sang manajer semakin membuat Dian Hartanto merasa sangat beruntung.

“Itu lebih dari cukup,” jawabnya cepat. Seandainya ia tak ingat sedang ingin melihat kamar Dennis, saat ini juga ia akan membawa manajer itu ke kantornya. Dana sebanyak itu bisa meringankan bebannya saat ini.

“Baiklah, Pak Dian. Nanti kita lanjutkan lagi pembicaraan soal bisnis. Kita periksa kamar Pak Dennis dulu sekarang. Pihak keamanan akan menjadi saksi apa saja yang kita temui di dalam nanti.”

“Siap..!” kepala keamanan langsung menyahut.

Sang manajer lalu memasukkan kunci serep kamar Dennis dan tak lama kemudian pintu pun terbuka. Dingin udara AC langsung menyergap kedatangan mereka.

Kepala keamanan lantas memasuki kamar Dennis duluan. “Apakah ada orang di dalam?” sebutnya berusaha memanggil. Namun, tak ada suara sahutan.

Dengan langkah perlahan mereka lantas memasuki ruangan demi ruangan. Sang manajer yang berdiri di belakang mereka sempat terdiam. Napasnya terasa sesak.

“Saya minta maaf tidak bisa berlama-lama. Saya harus kembali ke ruangan untuk melanjutkan pekerjaan,” ucap manajer itu terburu-buru.

Dian Hartanto dan kepala keamanan berpaling, menatap manajer itu.

“Anda sakit, Pak? Biar saya panggilkan orang untuk membantu Anda,” ucap kepala keamanan meraih handy talky yang terselip di pinggangnya.

“Tidak usah. Saya bisa sendiri,” tolak sang manajer. “Setelah selesai, kembalikan kuncinya ke ruanganku,” perintahnya.

“Siap, laksanakan.”

“Saya pergi dulu, Pak Dian. Sampai jumpa lagi,” ucap sang manajer melambaikan tangannya. Ia pun lantas melangkah pergi menuju pintu apartemen.

Dian Hartanto sempat mengantar manajer itu sampai depan pintu. Ia lantas masuk kembali untuk memeriksa ruangan. Namun, tatapan Dian Hartanto langsung tertuju ke arah karpet hambal yang melapisi seluruh lantai di ruangan apartemen Dennis.

Dian Hartanto menundukkan badannya. Ia sentuh cairan hijau yang terasa hangat lantas mengendus cairan tersebut.

***

“Stop sampai di situ!” perintah Hanz saat Layla memutar ulang rekaman CCTV. Sudah berkali-kali rekaman itu diputar ulang untuk memastikan dugaan Hanz benar.

Dennis hanya memperhatikan dari belakang sambil berharap dugaan Hanz salah. Tidak mungkin manajer itu seorang Alien,” pikir Dennis.

“Perbesar layarnya,” pinta Hanz. “Arahkan ke telunjuk Dian Hartanto,” sambungnya lagi

Dahi Layla berkerut. “Tidak bisa, Ayah. Ini bukan seperti kamera yang ada di pilem-pilem yang bisa di zoom sedetil itu.”

“Aku yakin dia Alien Rustler. Tubuh mereka dipenuhi dengan cairan hijau dan tidak bisa bertahan lama di dalam ruang ber AC,” ujar Hanz tetap pada pendiriannya.

“Tapi itu tadi manajer apartemen. Aku pernah bertemu dengannya satu kali,” sanggah Dennis.

“Bukan. Dia pasti Alien. Dulu aku pernah membuatkan mereka serum untuk mengganti kulit dan bentuk tubuh mereka seperti manusia.”

Dennis terkejut. “Astaga! Aku yakin ini akan semakin rumit dan menegangkan. Kalau mereka bisa mengubah wujud seperti manusia, lantas bagaimana kita bisa membedakannya?”

“Cairan itu dan seingatku, bulu-bulu di tubuh mereka juga mudah rontok. Kalau kita bisa melihat dari dekat, aku bisa membuktikannya?”

“Ayah ingin ke sana?” tanya Layla.

“Aku masih menyimpan kunci apartemen!”

Hanz menatap mereka. Ia merasa ditantang, “Kita harus membeli beberapa peralatan dulu agar aman,” ujar Hanz membuat rencana.

Layla pun segera mengambil kertas catatan. Ia membutuhkan sejumlah kamera pengintai yang berukuran kecil dengan kekuatan baterai.

Rencananya, ia dan ayahnya akan mendatangi apartemen Dennis. Layla bertugas memasang kamera pengintai di beberapa tempat sekaligus pengamanan.

Dennis memantau kamera tersebut dari ruang bawah tanah untuk melihat pergerakan orang-orang yang mencurigakan.

“Sepertinya kita juga perlu membeli mobil jenis Van agar seperti di pilem-pilem. Jadi kita tidak harus selalu bergantung dengan tempat ini,” usul Layla.

“Ini mulai menegangkan. Kalau boleh beli senjata kejut listrik sekalian agar kami juga tetap bisa berjaga-jaga,” Dennis menyarankan.

Layla dan Hanz saling bertatapan. Mereka tertawa.

“Aku setuju. Beli saja semua yang menurut kalian penting. Saat ini kita banyak punya uang untuk melengkapi semua peralatan,” ucap Hanz bersemangat.

Layla bersorak kegirangan. Ia lantas mencatat sejumlah daftar belanjaan.

“Apa lagi yang kamu tunggu, Dennis? Cairkan dananya sekarang juga!” perintah Hanz melihat Dennis yang masih terdiam.

“Boleh aku minta satu lagi?”

“Kenapa, tidak? Kita belanja pakai uangmu juga. Mau satu, sepuluh, sebutkan saja. Biar Layla mencatatnya,”   tandas Hanz tertawa.

“Kok, uangku?”

Layla sudah tidak sabar. Ia berjalan mendatangi Dennis dan bergelayut di pundak lelaki itu. “Iya Dennis yang cakep. Itu uangmu. Kamu itu hacker yang meretas bitcoin orang-orang,” ucap Layla.

Dennis terperanjat. Ia tepis tangan Layla. “Bukan aku. Bukankah para Wrangler yang melakukannya?” bantah Dennis tidak terima dengan tuduhan Layla.

“Memangnya ada yang percaya dengan Alien?” sahut Layla menatap tajam mata Dennis.

Dennis terdiam. Layla benar. Saat itu juga Dennis tersenyum.

“Kamu cantik, Layla. Aku penasaran siapa lelaki yang menjadi tunanganmu itu!” ucap Dennis langsung menghampiri laptopnya.

Layla bengong mendapat pujian itu dan baru sadar setelah Hanz memanggilnya.

“Sepertinya kalian cocok,” bisik Hanz membuat wajah Layla bersemu merah.

Terpopuler

Comments

Puspita

Puspita

bikin penasaran kak ceritanya

2022-10-22

1

Aqila Gendhis Mazaya

Aqila Gendhis Mazaya

Wow ceritanya seru bangettt

2022-10-22

0

Budhi

Budhi

mantab thoor

2022-10-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!