“Ada apa ini?” Dennis terkejut menyadari saat apartemennya berguncang. Ia beringsut meraih tepi ranjang tidur untuk mencari pegangan.
“Kenapa, Dennis?” suara dari seberang sana terdengar ikut panik.
“Sepertinya ada gempa, Dok!”
“Gempaaa…?” dokter Ambar berlari ke luar ruangan memastikan ucapan Dennis. “Di sini aman, kok. Kamu masih di daerah Kelapa Gading ‘kan?
“Masih, Dok. Tapi sekarang aku tinggal di apartemen,” ucap Dennis memperhatikan gelas di atas meja yang bergeser.
“Coba kamu tenang. Tarik napas. Jangan panik.”
Dennis mengikuti anjuran itu namun berada di ketinggian lantai enam tak mudah mengusir kepanikan di dalam dirinya.
“Aku harus bagaimana, Dok?”
“Tidak ada gempa, Dennis. Harusnya dari Kemayoran pun bisa merasakan jika memang ada gempa. Kalau tidak percaya, coba pergi keluar. ”
Dennis baru sadar apa yang harus dilakukannya. Ia pun segera mengenakan jaket, mengambil topinya dan memasukkan dompet ke dalam tas. Setelah itu, Dennis langsung bergegas pergi meninggalkan ruangan apartemennya.
Langkah kaki Dennis terburu-buru menuju tangga apartemen. Ia masih ngeri membayangkan jika terjebak di dalam lift. Sambil menapaki anak tangga yang membawanya turun ke lantai bawah, ia biarkan ponselnya masih terhubung dengan dokter Ambar.
“Aku sudah turun, Dok. Sebentar lagi sampai di luar,” ucap Dennis dengan napas tersenggal.
“Sharelock. Aku susul ke sana,” pinta dokter Ambar.
Dennis berhenti sebentar untuk membagikan lokasi keberadaannya.
***
Bangunan café itu sederhana dan minimalis berbentuk persegi panjang melebar ke samping. Sementara di bagian halamannya yang cukup luas dijadikan lokasi parkir dan tempat para pengunjung bersantai di luar ruangan.
Sisa hujan yang sudah reda membuat tanaman hidup di sekitar cafe itu tampak segar. Dennis langsung masuk ke dalam. Ia memilih tempat ini hanya karena satu alasan, bangunannya tidak bertingkat. Ia masih trauma dengan peristiwa yang baru saja dialaminya.
Setelah memesan segelas kopi dan kentang goreng, Dennis segera mengirimkan lokasi terbarunya kepada dokter Ambar.
“Oke. Aku sudah di jalan, tunggu saja di sana,” jawab dokter Ambar melalui pesan whatsapp.
Ia pun memilih meja yang berada di luar, persis di bawah pohon agar mudah terlihat saat dokter Ambar datang. Menyadari itu, seorang pelayan langsung membersihkan tempat yang dipilih Dennis.
Sambil menyandarkan punggung, Dennis memandangi bangunan apartemen yang menjulang tinggi. Ia perhatikan orang-orang di sekelingnya, mengingat semua yang terjadi saat menuruni tangga hingga sampai di café. Semua biasa-biasa saja. Tidak ada yang panik seperti dirinya.
Sambil memikirkan yang terjadi, seorang pelayan perempuan datang mengantarkan pesanan. Senyumnya yang begitu manis membuat Dennis lebih rileks dari sebelumnya.
“Silakan dinikmati hidangannya, Kak,” ucap perempuan itu meletakkan pesanan di atas meja.
Dennis memperhatikan lengan tangan perempuan itu yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Dadanya sempat berdesir.
Saat perempuan itu ingin berbalik meninggalkan, Dennis langsung menahan dengan pertanyaan.
“Boleh aku bertanya?”
“Ada apa, Kak. Mau nambah pesanan?”
“Sial. Perempuan itu tersenyum lagi!” bathin Dennis tak sanggup menatap bibir perempuan itu. “Sekitar 10-15 menit lalu apa…mm…ada kejadian aneh?” Dennis ragu mengucapkannya.
“Maksud kakak kejadian seperti apa?”
“Mmm…mirip seperti gempa. Mungkin sempat terdengar benturan suara-suara gelas,” selidik Dennis mencontohkan.
“Kalau yang seperti itu gak ada, Kak. Yang aneh itu justru ada cowok cakep datang ke cafe sendirian. Semoga gak lagi galau,” ucapnya menyentil.
“Siapa? Bukan aku ‘kan?” tanya Dennis kebingungan sambil memperhatikan ruangan dalam café. Perempuan itu pun lantas pergi meninggalkan Dennis dengan menahan tawa.
Sambil menyeruput kopi, Dennis memikirkan apa yang baru saja dialaminya. Tadi, saat dokter Ambar menelponnya lagi, ia sempat menanyakan tentang keberadaan Galih. Dalam tiga bulan terakhir, begitu banyak kejadian yang ia lewatkan.
Galih dan dokter Ambar baru saja tertipu oleh seorang trader yang mengajak mereka bekerjasama. Trader itu mengaku memiliki tim untuk memastikan investasi mereka di bitcoin aman.
Galih dan dokter Ambar tertarik bergabung dan menyerahkan semua bitcoin yang mereka miliki. Awalnya sempat lancar. Sesuai perjanjian, mereka mendapat keuntungan setiap minggunya.
Persis di minggu ketiga, trader itu sulit dihubungi bahkan menghilang dari grup whatsapp yang mereka buat.
Setelah mengetahui kerugian yang dialami Galih dan dokter Ambar, mendadak Dennis marah. Kepada dokter Ambar, Galih berpamitan untuk berhenti menjadi trader karena bermasalah dengan istrinya.
Darah Dennis sempat mendidih. Ia merasa bersalah karena menghilang tanpa kabar berita. Seandainya ia masih tetap aktif di forum, setidaknya bisa memberikan masukan kepada Galih dan dokter Ambar.
Dennis memperhatikan ponselnya berdering. Ia menolehkan wajahnya ke arah jalanan. Meski sama-sama berada di Jakarta, selama ini Dennis belum pernah bertemu dokter Ambar secara langsung.
“Sudah dimana, Dok?” telpon Dennis.
“Ini aku sudah sampai. Putar balik dulu sebentar. Masih di tempat tadi ‘kan?”
“Iya, dok. Aku duduk di bawah pohon,” jawab Dennis.
“Aku masih pakai seragam putih dan lengkap bawa jarum suntik.”
“Buat apa?”
“Nyuntik orang ngigau yang bilangnya ada gempa.” Terdengar suara dokter Ambar tertawa.
“Mentang-mentang dokter. Mau main suntik aja,” balas Dennis yang di susul mobil hitam memasuki halaman café menuju tempat parkir.
Dennis mematikan panggilan ponselnya. Ia langsung berdiri saat melihat seorang perempuan keluar dari mobil mengenakan jas putih berlengan panjang dengan celana kain berwarna hitam. Dennis melambaikan tangan saat dokter Ambar melihatnya.
“Akhirnya bisa ketemu kamu juga. Bagaimana gempanya?” sindir dokter Ambar bercanda.
Mereka duduk berhadapan. Pakaian ketat di balik jas yang dikenakan dokter Ambar membuat Dennis salah tingkah.
“Aku bingung, dok. Tadi aku seperti benar-benar merasakan gempa di apartemenku,” ucap Dennis.
“Mulai sekarang panggil Ambar saja. Sepertinya, sejak lama menghilang kamu sudah jadi orang kaya sekarang?” Goda dokter Ambar tak menanggapi soal gempa yang diceritakan Dennis.
“Jangan begitu, Dok. Nasib orang siapa yang tahu.”
“Tuh, kan. Dibilang panggil Ambar saja.”
“Sulit, Dok. Secara usia saya juga lebih muda. Wajar dong menghormati yang lebih tua.”
“Ohh…aku terlihat tua ya. Padahal cuma beda tujuh tahun. Ya, sudah. Terserah mau panggil dokter, bu dokter, silakan. Asal jangan panggil sayang aja,” ledek dokter Ambar.
Dennis tertawa. “Pasti, Dok. Mana berani saya panggil istri orang dengan sebutan sayang. Jadi bagaimana?”
“Soal gempa? Kamu bisa lihat sendiri, kan. Tidak ada gempa, Dennis. Mungkin itu perasaanmu saja karena kelelahan. ”
“Kalau mau, dokter bisa lihat sendiri nanti. Seluruh isi ruanganku berantakan.”
“Sebenarnya aku datang kemari karena penasaran tidak pernah bertemu kamu. Bukan untuk mempercayai cerita tentang gempa. ”
“Jadi dokter tidak percaya?”
“Faktanya tidak seperti itu, bukan?”
“Sebenarnya aku juga tidak ingin percaya. Tapi banyak kejadian aneh yang kualami selama ini.”
Baru saja dokter Ambar ingin bicara, pelayan perempuan tadi datang kembali.
“Ada yang mau dipesan lagi?” tawar perempuan itu menyunggingkan senyumnya. Saat matanya berpapasan dengan Dennis, ia hanya menganggukkan kepala.
“Banyak sekali. Lapar, dok?” ucap Dennis saat melihat dokter Ambar menuliskan pesanannya.
“Tadi bilangnya ingin mengajakku melihat kondisi apartemenmu. Kalau memang berantakan, nanti aku bantu merapikan. Kita perlu banyak makanan untuk memulihkan tenaga. Bukankah kita akan bertarung nanti malam?”
Ucapan dokter Ambar itu membuat si pelayan tersenyum. Dennis tak mungkin menjelaskan maksud ‘bertarung’ yang diucapkan dokter Ambar kepada pelayan itu. Malam ini mereka akan bertarung sebagai trader.
“Memangnya sudah borong XRP banyak?”
“Sebenarnya aku sudah tidak bergairah lagi. Gara-gara mendapat pesanmu tadi, gairahku langsung memuncak. Itu sebabnya aku langsung ingin ketemu kamu.”
Dennis melirik pelayan itu. Sama seperti tadi, ia merespon ucapan dokter Ambar dengan senyuman penuh arti.
“Apakah cafe ini melayani pesan antar?” tanya Dennis kemudian. Pelayan itu terkejut saat diajak bicara.
“Bi…bisa, Kak. Asal dekat daerah sini.”
“Kamu yang antar?”
“Ada petugas khusus sih. Memangnya mau diantar ke mana?”
Dennis menunjuk arah apartemennya. “Kalau kamu yang antar. Aku beri tip tambahan. Bagaimana?”
Giliran dokter Ambar yang tersenyum mendengar ucapan Dennis.
“Nanti aku koordinasikan dulu sama teman yang bertugas mengantar,” jawab pelayan itu.
“Berapa nomormu? Biar nanti aku hubungi,” Dennis menyerahkan ponselnya agar pelayan itu menuliskan nomornya sendiri.
Meski ragu, pelayan itu terpaksa menerima ponsel Dennis dan menuliskan sederet nomor ponsel miliknya. Setelah itu ia langsung pergi setelah dokter Ambar memberikan kertas pesanannya.
“Aku tidak janji, ya, Kak!” ucapnya berlalu.
Dokter Ambar menahan tawanya sambil menggelengkan kepala. “Nakal juga kamu ternyata.”
“Bukan begitu, dok. Selama ini aku memang suka menggunakan layanan pesan antar. Lebih simple, gak bikin capek harus keluar kamar.”
“Tapi kenapa harus dia yang antar? Pasti modus. Perempuan model begitu nafsunya besar loh,” pancing dokter Ambar membuat Dennis tersipu.
“Jangan aneh-aneh, Dok. Meski hidup di Jakarta, aku masih bisa menjalaninya dengan lurus-lurus saja kok.”
“Iya, deh. Aku cuma bercanda kok. Serius juga gak masalah. Kamu sudah dewasa, wajar tertarik dengan perempuan.”
“Soal Galih bagaimana, Dok?”
“Nanti saja kita ngobrol di apartemenmu. Yuk kita ke sana sekarang?” ajak dokter Ambar.
“Jujur aku masih trauma untuk kembali ke apartemen.”
“Sudahlah. Ada aku juga. Yuk..!”
“Terus pesanannya, bagaimana?”
Dokter Ambar tersenyum. “Aku bantu kamu mewujudkan rencanamu tadi. Kujamin pelayan itu pasti akan mengantarkannya.”
“Astaga..?!!” ucap Dennis terkejut. “Memangnya apa yang dokter lakukan?”
“Tenang saja. Itu urusanku. Kamu perlu belajar banyak cara mendekati perempuan,” dokter Ambar tersenyum dan segera pergi menuju mobilnya bersama Dennis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Adi Bayu
rame
2022-10-29
0
AYU
wah wah
2022-10-24
0
16.M iqbal fikri ilmana
lanjut thorrrr
2022-10-11
0