BAB 5

Baru kali ini Dennis mengajak seorang perempuan masuk ke dalam apartemennya. Itu pun karena persoalan gempa yang ingin ia perlihatkan kepada dokter Ambar.

“Besar juga apartemenmu. Terlalu luas kalau cuma untuk sendirian,” ucap dokter Ambar saat melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen. “Memangnya kamu belum ada pikiran untuk menikah?” lanjut dokter Ambar.

Dennis hanya tersenyum tak menanggapi pertanyaan tersebut. Ia sengaja mendahului dokter Ambar untuk mengambil kursi di dekat jendela kaca. “Silakan duduk, dok. Aku ambilkan air mineral dulu.”

“Jangan repot-repot, Dennis. Santai saja. Kalau menurutku, ini memang sangat berantakan. Maaf, ya. Terlepas gempa yang kamu ceritakan, orang bisa saja mengira sempat ada perkelahian di sini atau kamu iseng sengaja melakukannya.”

“Aku bisa memaklumi itu, dok. Aku tidak bisa memaksakan semua ini akibat gempa karena di luar sana memang tidak terjadi gempa.”

“That’s right. Tapi ingat, aku datang kemari sebagai teman sekaligus dokter. Paham maksudku?”

“Menurutmu aku sudah tidak waras?”

Pertanyaan Dennis membuat dokter Ambar mendekat. “Tiga bulan kamu menghilang dan tiba-tiba muncul untuk memintaku memborong XRP. Itu bukan Dennis yang kukenal. Meski analisamu tepat, kamu tidak pernah bersikap seperti itu. Aku yakin kamu bisa menjelaskannya.”

Dennis menganggap ucapan dokter Ambar ada benarnya. Ia tidak pernah meminta orang lain untuk membeli aset kripto, apalagi memborongnya. “Begini saja, Dok. Aku akan tunjukkan sesuatu kepadamu. Mungkin ada kaitannya.”

“Soal apa?”

“Jika kuceritakan, berjanjilah tak memberitahu Dian Hartanto.”

“Dia juga menghilang dari forum saat kamu menghilang. Ada apa dengan kalian?”

Meski berat, Dennis menceritakan semua kejadian yang ia alami. Termasuk saat ia tersengat aliran petir dan kemampuan aneh yang ia miliki.

“Jadi selama ini Dian Hartanto menyembunyikanmu di sini dan memintamu merahasiakan semuanya. Baik. Tadi soal gempa, itu sudah membuatku merasa aneh. Sekarang, kamu ingin aku percaya kamu memiliki kemampuan aneh. Sepertinya kita harus minum kopi terlebih dulu,” ucap dokter Ambar memijit keningnya.

Dennis langsung teringat dengan pelayan perempuan yang tadi ia temui di cafe. “Coba aku tanyakan pesanan tadi. Apakah sudah ada yang mengantarkannya?”

“Itu lebih baik. Perutku juga sudah lapar,” dokter Ambar tak sungkan langsung menuju dapur untuk membuat dua gelas kopi.

Setelah tersambung ke ponsel pelayanan itu, Dennis mengarahkan untuk naik ke lantai enam dan mencari kamar nomor tiga. Tak beberapa lama, dari luar terdengar suara pintu di ketuk. Dennis langsung membuka pintu.

“Masuk dulu,” pinta Dennis.

“Di sini saja, Kak. Semuanya tiga ratus ribu rupiah,” ujar pelayan perempuan yang ia temui di cafe itu menyerahkan dua bungkus kantong plastik.

“Aku perlu bantuanmu sekali lagi. Masuklah sebentar,” Dennis membuka pintu lebar-lebar. Pelayan itu lantas menengok ke dalam dan melihat dokter Ambar membawa dua gelas kopi lalu meletakkannya di atas meja.

“Mari masuk. Dijamin aman. Dia gak suka perempuan. Aku saja tidak diapa-apakan dari tadi,” ucap dokter Ambar mendekat sambil tersenyum.

Dennis terkejut mendengar ucapan itu sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Aku ingin meminta bantuan kamu membereskan barang-barang di dalam. Semoga ini cukup buatmu,” Dennis menyodorkan sepuluh lembar uang kertas berwarna merah bergambar Soekarno-Hatta.

“Banyak sekali. Tagihannya cuma tiga ratus ribu,” ucap pelayan itu.

“Sisanya buat kamu.”

“Terima saja. Dia jomblo dan uangnya juga banyak,” timpal dokter Ambar mengedipkan mata kepada pelayan itu.

Meski ragu, pelayan itu lantas masuk ke dalam apartemen. Dennis dan dokter Ambar pun ikut membereskan ruangan yang berhamburan.

“Kalian tidak sedang berkelahi, kan?” tanya pelayan itu curiga.

Dennis dan dokter Ambar saling bersitatap. Mereka berdua pun tertawa.

“Apa kubilang tadi. Benar,kan?” celetuk dokter Ambar.

“Pokoknya kamu harus cepat cari istri biar ada yang membereskan apartemenmu,” sambung dokter Ambar mengalihkan pembicaraan.

“Tidak ada perkelahian. Tadi niatnya ingin mengubah suasan baru, tapi malah berantakan,” Dennis beralasan.

Pelayan itu tak lagi bertanya. Setelah merapikan tempat tidur, ia memungut pecahan gelas di lantai. Sementara itu, Dennis menyusul dokter Ambar yang menyiapkan makanan di dapur.

“Aku tidak tahu seleramu. Menurutku dia cantik. Kenapa tidak kamu dekati saja?”

Dennis menahan tawanya agar tidak terdengar sampai keluar. “Aku trauma dengan perempuan.”

“Kamu ini aneh. Perempuan itu enak, kok malah trauma,” balas dokter Ambar.

“Nanti aku ceritakan semuanya,” ucap Dennis kembali ke ruang utama yang sudah bersih dan rapi.

Melihat kehadiran Dennis, pelayan itu langsung berucap, “Pakaiannya biar aku cuci sekalian,” ujarnya mengangkat keranjang berisi pakaian kotor.

Dennis langsung mencegahnya dan ingin mengambil keranjang pakaian itu. “Tidak usah. Di sini sudah ada jasa cuci pakaian.”

Pelayanan itu tertunduk. Wajahnya bersemu merah. Dennis baru sadar tak sengaja menggenggam telapak tangan pelayan itu.

“Maaf, aku tidak sengaja,” Dennis melepaskan genggamannya. Pelayan itu hanya merespon dengan anggukan kepala.

Melihat itu dokter Ambar tersenyum. “Baru datang sudah dipegang-pegang. Aku yang dari tadi aja belum dipegang sama sekali,” celetuknya.

“Jangan begitu, Dok. Jangan membuat dia berpikir macam-macam. Tadi aku tidak sengaja ingin mengambil keranjang ini,” tunjuk Dennis merebut keranjang itu dan meletakkannya di sudut ruangan.

“Aku cuma bercanda, kok. Kami hanya berteman,” dokter Ambar meletakkan makanan di atas meja dan langsung mendekat ke arah jendela kaca. “Itu café tempat kamu bekerja, kan?”

Pelayan itu menoleh dan memperhatikan tempat yang ditunjuk dokter Ambar. Suasana cafe terlihat sedang ramai. Ia sadar harus segera kembali bekerja. “Sepertinya aku harus kembali,” ucap pelayan itu bergegas sambil mengucapkan terimakasih.

Dokter Ambar langsung mengikuti dari belakang. Saat ingin keluar, ia tarik lengan pelayan itu agar mendekat. Sambil berbisik, dokter Ambar mengatakan sesuatu.

“Dia menyukaimu,” ia kedipkan matanya.

Wajah pelayan itu bersemu merah.

“Kamu sudah baca pesan yang kutulis di balik kertas pesananku?”

“Belum. Tadi langsung kuberikan ke kasir.”

Dokter Ambar menepuk dahinya sendiri. “Sudahlah. Tidak penting lagi. Toh kamu sudah datang ke sini.”

Pembicaraan mereka terhenti setelah mendengar panggilan Dennis. “Astaga, Dok. Lihat kemari. Kali ini kamu akan percaya dengan ucapanku.”

Dokter Ambar tergesa-gesa dan langsung menutup pintu. Ia hampiri Dennis yang sedang duduk menghadap laptopnya.

“Perhatikan, Dok. Aku hanya diam tapi kenapa laptopku bisa bekerja sendiri. Kamu tahu itu perintah apa yang ditulis?”

Dokter Ambar menggelengkan kepala. “Memangnya apa?”

“Ini hacking, Dok.”

“Kamu serius, Dennis?!”

Dennis langsung menutup aplikasi command prompt.

“Perhatikan, Dok. Aku baru saja menutupnya.”

Agar dokter Ambar percaya, ia menjauhkan tangannya dari keyboard laptop dan menyilangkan kedua lengannya ke bagian belakang kepala sambil bersandar di kursi.

Dari belakang, dokter Ambar memajukan wajahnya. Ia mencari tahu apa yang dimaksud oleh Dennis. Sekarang ia paham setelah melihatnya sendiri. Laptop Dennis seperti sedang dibajak seseorang.

Semua berjalan otomatis. Aplikasi command prompt terbuka lagi. Ya. Sederet baris perintah mengetikkan dirinya sendiri.

“Itu apa maksudnya?” tunjuk dokter Ambar ke layar laptop.

Saat Dennis ingin menjelaskan, tak sengaja sikutnya menyentuh gundukan empuk dada dokter Ambar.

“Ishhh…mulai berani, ya.”

“Ma..ma..maaf, dok. Tidak sengaja,” Dennis menggeser duduknya dan langsung menjelaskan. “Itu baris perintah untuk mengganti IP dan MAC Address agar tidak terlacak.”

Dokter Ambar tak memahami istilah-istilah seperti itu. “Memangnya apa yang mau di hack?”

“Belum tahu, Dok. Kalau kita biarkan, nanti tujuannya akan kelihatan,” jawab Dennis.

“Ya, sudah. Kita tunggu saja sambil makan,” dokter Ambar melepaskan jaket putihnya. “Kamu tidak masalah, kan kalau penampilanku begini?”

Dennis menoleh. Dadanya berdesir melihat dokter Ambar yang sudah tidak mengenakan jas. Kaos ketat berwarna hitam itu mempertontonkan lekuk dada yang membusung. Ia tak ingin bersikap kurang ajar hanya gara-gara memandangi tubuh dokter Ambar terlalu lama.

“Kok tidak dijawab? Kalau kamu keberatan, biar aku mengenakan jas lagi,” timpal dokter Ambar.

Dennis canggung memberikan jawaban. “Aman, Dok. Asal jangan dilepas semuanya saja.”

Dokter Ambar tertawa. “Maunya kamu begitu, kan? Dasar laki-laki.”

Dennis enggan menanggapi. Bagaimana pun ia tidak tahu banyak tentang dokter Ambar. Baru kali ini bertemu dan masih harus menyesuaikan diri. “O, iya. Akan aku tunjukkan kepadanya,” pikir Dennis teringat sesuatu.

“Boleh aku pegang ponselmu, Dok.”

“Buat apa?”

“Hanya pegang saja. Cuma sebentar, gak sampai lecet.”

“Kamu serius. Nih, cuma pegang aja, kan?” dokter Ambar menyerahkan ponselnya. “Ehhh, tunggu. Jangan-jangan kamu…”

Terlambat. Dennis sudah mengambil ponsel itu. Sontak seluruh data ponsel dokter Ambar terekam di kepala Dennis.

“Nih, aku kembalikan. Sekarang semua data dan informasi di ponsel itu ada di kepalaku.”

“Serius kamu, Dennis?” dokter Ambar sedikit cemas.

“Mau bukti?”

Senyum Dennis tidak nyaman terlihat namun dokter Ambar berusaha bersikap biasa. “Coba kamu sebutkan. Kalau benar, aku langsung percaya dengan ceritamu.”

“Kita mulai dengan jumlah XRP yang sudah kamu borong.”

“Berapa? Sok tahu..!” Dalam hati dokter Ambar cemas jika Dennis memang benar bisa mengetahui semua isi data di ponselnya.

“All in li…ma…pu…luh…ju…ta...ru…pi…ah,” jawab Dennis menegaskan kalimatnya.

“Kok , benar?” dokter Ambar gugup.

“Mau lagi?”

“Boleh…!”

“Asyik nih, dokter Dika dapat kiriman PAP tiap hari,” sebut Dennis tersenyum dan membuat wajah dokter Ambar merah padam.

“Astaga, Dennis. Kamu bahkan mengetahui isi pesan di whatsappku,” dokter Ambar tidak berkutik. “Sudah cukup. Aku percaya sekarang.”

Dennis tak bisa menahan tawanya. Ia terbahak-bahak melihat dokter Ambar menutup wajahnya karena malu.

“Maaf, Dok. Niatku bukan ingin membuatmu malu. Tapi syukurlah kalau dokter akhirnya percaya,” ucap Dennis langsung merogoh kantongnya merasakan ponselnya bergetar. “Dian Hartanto menelpon,” Dennis memberikan isyarat agar dokter Ambar tetap diam.

“Coba perhatikan market, sepertinya ada yang tidak wajar. Apa sudah sesuai dengan analisamu?”

Dennis memalingkan tubuhnya dan menatap layar laptop. Ia terperanjat menemui baris-baris perintah hacking yang begitu panjang.

“Nanti aku kabari lagi,” Dennis memastikan panggilan Dian Hartanto dan langsung memeriksa market di ponselnya. “Coba buka market di ponselmu, Dok. Lihat apa yang terjadi,” pinta Dennis gugup.

------

Catatan dari penulis:

Sudah sampai di BAB 5, jangan lupa LIKE dan KOMENTARNYA biar aku tambah semangat menyelesaikan novel ini. Salam kreatif..!

Terpopuler

Comments

Puspita

Puspita

jadi takut sama Dennis

2022-10-20

0

16.M iqbal fikri ilmana

16.M iqbal fikri ilmana

semangat trus pantang mundur

2022-10-11

0

Kang Comen

Kang Comen

ok

2022-10-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!