Hari-hari berlalu dan tidak pernah sekali pun Andhira melewatkannya tanpa perasaan tersiksa. Setiap hari dari mulai pagi hingga malam menjelang, Andhira selalu dihantui oleh ketidaknyamanan yang semakin merajalela. Apa kalain tahu, bagaimana rasanya dikhianati oleh tekad dan niat sendiri? Begitulah kira-kira yang saat ini sedang terjadi pada Andhira.
Andhira tidak lagi ingin menempuhi rumah tangganya dengan Daffa, seperti yang sempat dia upayakan di awal pernikahannya. Bahkan, untuk sekedar mendengar suara Daffa saja, Andhira merasa sangat terganggu. Meski begitu, tetap saja Andhira bertahan, tapatnya dia dipaksa bertahan oleh keadaan yang sama sekali tidak diharapkan.
Pagi-pagi sekali, saat Andhira baru selesai mandi. Daffa kembali menginginkan haknya untuk menyalurkan hasrat kelelakiannya. "Segera siapkan dirimu, aku akan melakukannya dengan cepat," perintah Daffa.
Kala itu, sebenarnya Daffa sudah bersiap untuk pergi berkerja. Namun, entah mengapa tiba-tiba dia kembali lagi ke kamar dan menuntut haknya pada Andhira. Lelaki itu bagai seorang maniak yang tak pernah merasa puas.
Andhira mengangguk pelan. Dengan rambut yang masih basah karena belum sempat dikeringkan, dia mulai merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Hatinya tak ingin lagi merasa, otaknya tak mau lagi memikirkan, dan tubuhnya tidak memberi banyak respon. Andhira hanya terbujur pasrah saat melayani Daffa.
"Ayo bersuara, Sayang," lontar Daffa sembari terus memberi hentakkan pada Andhira. Namun, Andhira tetap diam.
"Ciihh! Aku seperti menunggangi mayat hidup. Dasar istri tidak berguna!" hardik Daffa.
Daffa menjambak rambut Andhira dan mendekatkan wajah padanya. "Aku akui, tubuhmu memang nikmat, tapi bukan berarti kamu bisa bersikap sombong terhadapku!" lanjut Daffa, seperti belum puas mengolok-olok Andhira.
"Aku tidak perduli, Mas. Bahkan, jika kau tertarik atau tidak pada tubuhku, aku sudah tidak perduli," tandas Andhira. Dia menepis dengan keras tangan Daffa, yang kala itu sedang mencengkeram rambutnya.
"Beraninya kamu melawan padaku!" kesal Daffa tidak terima.
Andhira meronta melepaskan tubuh Daffa dari dirinya. Kali ini, dia sudah benar-benar tidak tahan pada perlakuan Daffa. Dia mendorong Daffa, lantas turun dari tempat tidur. Daffa tampak terkejut dengan perlawanan yang dilakukan Andhira tersebut.
"Kamu pikir siapa dirimu, Mas? Kamu datang ke dalam hidupku, lalu mengujiku dengan bertubi-tubi sikap burukmu. Kamu memperlakukanku seperti benda mainan. Aku sudah muak dengan semua ini!" jerit Andhira dengan suara yang menggema sangat nyaring.
"Andhira!" bentak Daffa.
"Cukup, Mas, cukup! Selama ini aku sudah berusaha mengalah pada keangkuhanmu. Aku tidak masalah kamu perlakukan tidak adil. Setiap detik di dalam pikiranku hanya memikirkan bagaimana caranya aku bisa memupuk sabar dengan segala kesakitan yang kamu torehkan di atas lukaku yang sudah lama kering." Andhira meradang dan terus bicara tanpa memberi celah pada Daffa untuk menyahutinya.
"Andhira ak- ...."
"Pergi! Aku bilang pergi, Mas. Jangan tampakkan wajahmu di hadapanku," teriak Andhira menyelah kalimat Daffa.
Daffa mendengus kesal sembari memunguti pakaiannya yang tercecer di lantai. Dia mengenakannya kembali, kemudin keluar dari kamar itu sebelum menuntaskan hasratnya. "Siaaal!" umpat Daffa sembari betolak dari rumah menuju tempat kerjanya.
Kini, di dalam kamar itu Andhira menangis sambil berteriak sejadi-jadinya. "Kenapa aku harus mengalami semua ini? Kenapa?" raungnya tersedu-sedu.
Andhira duduk dengan menekuk lutut di sudut kamar itu. Dia terus meracau tidak jelas sembari meratapi keadaannya. Kewarasan Andhira benar-benar diuji sejak dia menikah dengan Daffa.
Beberapa saat kemudian, Andhira menghampiri sebuah cermin besar dan berdiri di hadapan cermin tersebut. Matanya melihat pada sebuah gunting, lantas mengambilnya. Kemudian, dia meneliti gunting itu dan memperhatikannya dengan seksama. Senyuman getir mengiringi bulir bening yang perlahan jatuh dari ceruk matanya.
Tok! Tok! Tok!
"Dhira! Kami datang ...."
Terdengar suara ketukan pintu dan seruan yang memanggil nama Andhira dengan nada riang. Ya, Andhira sangat mengenali suara itu. Benar, itu adalah suara teman-teman Andhira, yang tidak lain adalah Maya, Rere dan juga Fahri.
Wanita yang wajahnya tampak lusuh dan pucat itu pun meletakkan gunting dari tangannya. Dia segera membasuh wajahnya agar tidak kentara seperti habis menangis. Lalu, Andhira memakai baju, dan keluar untuk menemui mereka, teman-temannya yang sedari tadi terus mengetuk pintu serta memanggil-manggil namanya.
Andhira sampai di depan pintu dan membukanya. Terlihat wajah-wajah ceria sudah bersiap untuk menyambut Andhira. Akan tetapi, tidak lama setelah menatap kepada dirinya, senyuman yang semula mengembang di bibir ketiga teman Andhira tersebut memudar.
"Dhira ...," lirih Ketiganya bersamaan. Mata mereka terbelalak.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Vita Zhao
hedeh makanya pergi Dhira, pergi yang jauh.
untung ada teman-temannya yang datang kalau tidak pasti Dhira udah bunuh diri.
2022-09-16
2