Dua hari kemudian, Andhira tampak biasa lagi. Bukan karena sudah lupa pada rasa sakit dan terlukanya, tetapi karena dia menyadari bahwa hidup harus tetap berjalan. Seperti biasa, Andhira memasak, bersih-bersih rumah dan lain-lain. Sesekali pikirannya berperang dengan batinnya sendiri. "Percayalah, Dhira, kamu lebih kuat dari yang kamu ketahui. Bertahanlah demi nama baik keluargamu," ucap Andhira mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Waktu untuk makan siang pun telah tiba. Daffa yang kala itu tidak ada di rumah sejak pagi karena bekerja, tiba-tiba saja pulang tanpa diduga. Andhira sangat terkejut dengan pulangnya Daffa di jam makan siang itu. Keringat dingin mulai membasahi pelipis wajah Andhira.
"Apa kamu memasak hari ini?" tanya Daffa dengan suara khasnya.
Andhira hanya mengangguk dan tidak berani mengangkat wajahnya. Dia mulai mengambil piring, lantas menyiapkan semuanya di meja makan. Sementara, Daffa sudah duduk di sana untuk melakukan santap siangnya. Usai menyajikan makanan termasuk air minum untuk Daffa, Andhira melangkahkan kaki bermaksud meninggalkan meja makan.
"Duduklah, temani aku makan," titah Daffa yang membuat langkah Andhira terhenti.
Andhira berbalik dan mengangguk patuh pada Daffa. Pemilik wajah sendu itu menarik sebuah kursi dan duduk bersama Lelaki tersebut. Dengan perasaan terancam, Andhira mencoba menekan segala ketakutannya agar tidak terlihat oleh Daffa. Tidak ada dialog apa pun di antara meraka, kecuali suara sendok dan garpu yang saling beradu, serta Daffa yang sesekali mencuri pandang terhadap Andhira.
20 menit kemudian ....
Makan siang mereka sudah selesai. Andhira sama sekali tidak melihat kepada Daffa. Dia tidak berani menatap mata Lelaki yang sudah membuat traumatiknya kambuh itu.
"Kamu tidak pergi kemana-mana?" tanya Daffa. Andhira hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya.
"Biasakan untuk menatap mataku saat diajak bicara," perintah Daffa dengan suara beratnya.
Andhira memberanikan diri mengangkat wajah dan meluruskan pandangannya pada Daffa. "Kalau boleh, aku ingin menemui ibuku," tutur Andhira dengan sangat hati-hati.
"Kenapa tidak? Aku akan mengantarmu," jawab Daffa penuh keyakinan.
"T-tidak perlu, aku bisa pergi sendiri," tolak Andhira sopan.
"Aku tidak mau ditolak!" lanjut Daffa menegaskan.
Andhira tidak bisa berbuat banyak. Tadinya, dia bermaksud menjauh dari Daffa dengan pergi ke rumah ibunya. Namun, ternyata Daffa malah memaksa untuk mengantarnya dan mau tidak mau Andhira harus menerimanya.
"Bukankah, Mas masih harus kembali bekerja?" tanya Andhira. Dia berharap Daffa kembali saja ke pekerjaannya dan tidak perlu mengantarnya.
"Sudah aku katakan kalau aku akan mengantarmu, apa kau tidak dengar?" tandas Daffa menolak untuk dibantah.
"Bersiaplah dulu, agar wajahmu itu tidak tampak kusut di hadapan orang tuamu nanti!" lanjut Daffa lagi.
Andhira mengangguk patuh dan bersiap-siap untuk pergi. Dia memoleskan sedikit riasan di wajahnya agar tampak segar. Beberapa memar masih terlihat di tubuh Andhira terutama bagian lengan. Andhira berusaha menutupinya dengan memakai baju berlengan panjang. Lalu, dia menghampiri Daffa yang sedari tadi sudah menunggunya. Mereka pun pergi menuju rumah orang tua Andhira.
***
"Apa kabar, Bu?" tanya Andhira ketika sampai di rumah ibunya tersebut. Dia memeluk dan menyalami tangan Wanita paruh baya itu, begitu pun dengan Daffa.
"Kabar ibu baik saja, Nak. Bagaimana kabar kalian?" jawab ibu Andhira yang diketahui bernama Salamah itu, sambari balik bertanya.
"Kami baik-baik saja, Bu," balas Daffa yang tidak memberi kesempatan pada Andhira untuk menjawab.
Salamah tersenyum teduh, lantas mempersilakan keduanya untuk duduk. "Syukurlah kalau kalian baik-baik saja. Ibu sangat senang mendengarnya," tutur Salamah menyiratkan ekspresi bahagia di wajahnya.
Andhira hanya bisa diam dan menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, karena dia sama sekali sedang tidak baik-baik saja. Sementara itu, Daffa melirik ke arah Andhira dari ekor matanya dan tersenyum kembali ke kepada ibu mertuanya, Salamah. Sepertinya, Daffa tidak ingin diketahui kalau dirinya telah bersikap kasar terhadap Andhira. Oleh sebab itu, dia berusaha untuk terlihat baik di mata Salamah.
"Kalian tunggu di sini, ya. Ibu akan membuatkan teh untuk kalian," tutur Salamah seraya berlalu ke arah dapur.
Beberapa saat kemudian, Salamah kembali lagi dengan teapot dan beberapa cangkir dalam sebuah nampan. Dia menaruhnya di meja dan mulai menuangkan teh dari teapot itu ke dalam cangkir mereka. "Diminum dulu tehnya," ujar Salamah mempersilakan.
"Terima kasih, Bu," ucap Daffa dan Andhira bersamaan.
"Sama-sama," jawab Salamah yang kemudian duduk bersama mereka.
"Ibu sudah tidak sabar ingin menimang cucu dari kalian," papar Salamah sembari tersenyum penuh harap.
Andhira merasa tidak nyaman dengan kalimat Ibunya itu. Namun, dia tidak bisa berbuat banyak dan memilih untuk diam saja. Sedangkan Daffa, menjawab Salamah dengan senyuman terbaiknya.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Hotma Gajah
jgn pernah buat cerita wanita yg gampang di tindas buatlah cerira wsnita kuat cerdas dan tangguh buat motivasi bagi wanita"yg kurang beruntung ok.
2024-02-06
1
Vita Zhao
isi tak sesuai dengan judulnya, benar kata pepatah jangan menilai sesuatu dari covernya😭😭🤣
2022-09-12
3
Vita Zhao
Daffa bermuka dua😏
2022-09-12
1