Jika kalian jadi Andhira, tentu saja akan ada banyak pertanyaan yang terlintas dalam benak kalian mengenai sikap Daffa yang penuh misteri. Ya, itu pula lah yang kini sedang Andhira rasakan. Dia menyimpan banyak pertanyaan yang belum mampu dia utarakan. Untuk saat ini, Andhira hanya berani meneguhkan segenggam harap semoga ke depannya Daffa bisa berubah menjadi lebih baik, itu saja. Apa itu terdengar bodoh? Mungkin iya, tapi itulah Andhira. Dia bukan hanya memikirkan perasaannya sendiri, melainkan memikirkan perasaan seluruh keluarganya termasuk keluarga Daffa. Karena itulah, dirinya akan mencoba bertahan membersamai Daffa sampai pada batas kemampuannya.
Pagi mulai menjelang, bersambut rekah senyum yang berusaha Andhira hadirkan. "Selamat pagi, Mas," sapa Andhira sembari mengeringkan rambutnya dengan hair dryer.
Daffa mendengus seolah tak senang. Dia mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Lelaki itu tampak begitu egois dan tidak punya rasa empati.
"Sabar, Dhira ... bukankah Tuhan bersama orang-orang yang tercabik-cabik hatinya?" gumam Andhira menghibur dirinya sendiri.
Andhira merapikan tempat tidurnya yang berantakan. Lantas, dia tersentak hingga sukmanya seolah melayang. Andhira teringat lagi tentang betapa kasarnya Daffa pada dirinya ketika melihat bercak darah segar yang menempel di seprai. Itu adalah sebuah tanda khas yang nyaris terjadi pada semua wanita kala kegaadisannya terlepas. Disentuhnya bekas darah yang sudah mengering itu sembari mengulas perih di dalam hatinya. "Andai suamiku melakukannya dengan rasa cinta," ratap Andhira dibarengi lelehan air mata.
Tidak lama kemudian, Daffa keluar dari kamar mandi. Dengan tubuhnya yang hanya berbalut handuk di bagian bawahnya. Lelaki berperawakan tinggi semampai itu berdiri di belakang Andhira yang masih terpaku melihat jejak Daffa semalam.
"Apa kamu tidak ada pekerjaan lain yang lebih berguna?" ujar Daffa membuyar hening yang semula menyita ruangan.
"M-maaf, Mas," gagap Andhira dan langsung menyelesaikan pekerjaannya.
"Membosankan!" cerca Daffa pelan. Namun, masih bisa terdengar oleh Andhira.
Rasa ngilu semakin menggerogoti perasaan dan hati Andhira. Ternyata, Daffa bukan hanya berperilaku kasar, tetapi juga kata-katanya sangat tajam mengoyak dinding jiwa Andhira. Napas perih kembali dihelanya. Percayalah, kata-kata Daffa itu terdengar sangat menyakitkan dan begitu semena-mena.
"Mas, aku akan membuat sarapan dulu," tutur Andhira meminta izin.
"Huh, kamu tidak perlu izin dariku hanya untuk hal yang remeh temeh seperti itu," jawab Daffa sembari mengenakan bajunya.
"Baik, Mas, tapi aku rasa hal yang kau anggap remeh temeh itu adalah sesuatu yang penting," tukas Andhira dengan kesabaran yang di ambang batas.
Daffa seketika terdiam. Dia menoleh ke arah Andhira dan mulai ingin mendebatnya. Akan tetapi, Andhira lebih dulu pergi meninggalkan Daffa yang terlihat mengatupkan bibir, mungkin dia merasa kesal.
Sesampainya di dapur, Andhira mulai berkutat dengan bahan-bahan masakan yang akan dia olah untuk membuat sarapan. Walau, memasak bukanlah kebiasaan yang biasa dilakukan Andhira di masa lajangnya. Namun, kali ini dia sadar posisinya sudah menjadi istri seseorang. Maka dari itu, sebisa mungkin Andhira akan berupaya menjadi istri yang baik dan bisa memberikan baktinya pada Daffa, termasuk dalam hal menyiapkan makanan.
Selepas memasak, Andhira menyajikan makanan yang dia masak ke meja makan. Sambil tersenyum bangga, Andhira memetikkan jemarinya. "Akhirnya, selesai juga," tutur Andhira.
Wanita cantik pemilik hidung mancung itu pun bergegas ke kamar, berniat untuk memanggil Daffa dan mengajaknya sarapan. Tapi, baru separuh perjalanan ternyata Daffa sudah keluar dari kamar, sehingga mereka saling berpapasan. Andhira melemparkan senyuman pada Daffa, meski balasan yang didapatnya hanyalah mimik wajah dingin dengan mata yang enggan menatap pada dirinya.
Andhira menarik garis bibirnya semakin lebar, untuk menepis kecewa yang berulang-ulang dia dapatkan. Dia pun berjalan mengekor di belakang Daffa. Kemudian, Andhira menghidangkan makanan ke piring Daffa setelah mereka sampai di meja makan. "Silakan dimakan, Mas," ucap Andhira santun.
"Tanpa kamu persilakan pun, aku akan tetap memakannya," jawab Daffa, lagi-lagi dia mematahkan perasaan Andhira.
"Ya, tentu saja ...," lirih Andhira yang perlahan mulai menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Baru satu hari dan satu malam aku menjadi istri Daffa. Namun, aku sudah berparut seribu luka. Tak apa, aku terima bagian ini sebagai jalan takdirku," batin Andhira sembari mengelus dadanya yang terasa lebam dan ngilu.
Bersambung ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 77 Episodes
Comments
Yuantusha
seharusx gak usah dimasakin
2023-07-15
1
Bila
poor pisan😭
2022-12-12
1
Bhebz
sedihnya
2022-09-25
1