Bab 16

Sebuah Tragedi

Setelah seminggu pergi berlibur, Kirana kembali beraktivitas seperti biasanya. Kirana sudah tidak mengonsumsi obat-obatan lagi.

Hari minggu yang cerah dengan cuaca yang sedikit terik, Kirana dan Dita berjalan menyusuri toko mainan untuk membeli kado ulang tahun keponakan Bima. Malam-malam Bima menelepon untuk memberi tahu kalau mau diajak ke acara keponakannya yang ulang tahun.

Kirana terlihat memegang boneka beruang dengan ukuran yang besar, seukuran Dita. Sedangkan Dita berada di bagian rumah boneka Barbie yang cukup besar.

“Dita mana ya?” Kirana celingak-celinguk mencari keberadaan sahabatnya.

“Beli ini saja, pantas kok buat anak SD.” Kirana berbicara seorang diri.

Saking besarnya, dia kewalahan bawanya, dia beranjak untuk mencari Dita. Setiap lorong dia lihat akhirnya dia menemukan Dita berada di bagian rumah boneka yang berada di sebelah kasir.

“Itu dia, ternyata di sana.”

Dari kejauhan bisa Kirana lihat kalau Dita melihat mainan di depannya dengan tatapan sendu. Menghembuskan napas pelan, dia mempercepat langkahnya menuju sahabatnya. Dia tahu apa yang dipikirkan Dita, Dita yang berasal dari keluarga berantakan, masa kecilnya pasti mendamba mainan seperti itu.

“Kamu mau, Dit? Ambil saja. Meskipun udah besar, tidak ada kata pamali untuk bermain boneka.”

“Elah, siapa yang pengen main gituan. Aku cuma membayangkan, apa Bang Alvin tugas-tugas kuliahnya bikin kek gini, pan dia jurusan arsitektur.”

“Gak usah ngeles deh.”

“Jadi beli boneka? Ya sudah ayo bungkus.”

Dita berjalan mendahului Kirana menuju kasir, mau tak mau Kirana mengikuti sahabatnya.

Setelah membayar, mereka berdua langsung pulang karena Dita harus bekerja siang harinya.

Tepat pukul 19.00, Bima menjemput Kirana. Mendengar mobil Bima memasuki pekarangan, Kirana segera bersiap. Kirana keluar dari kamarnya kemudian turun, di bawah hanya ada Mamanya. Sedang duduk menonton sinetron favoritnya. Sedangkan Papa Kirana belum pulang, masih berada di kantor.

“Ma, Kirana pamit dulu. Bima sudah datang.”

“Mana? Kok Mama enggak dengar?”

“Masih parkir mobil, mungkin. Ya, masa dengar, wong Mama lagi serius gitu.”

Mama Kirana tertawa mendengar perkataan putrinya. Tidak berapa lama, suara Bima terdengar. Ibu dan Anak keluar untuk menemui Bima. Tidak lupa Kirana menggendong boneka beruang yang dia beli tadi siang.

“Malam Tante.”

“Malam, Bima. Acaranya jam berapa? Jauh tidak, Bim?” Tanya Mama Kirana.

“Enggak jauh kok, Tan. Acaranya sekitar jam 19.30.”

“Oh, ok. Pulangnya jangan malam-malam.”

“Baik, Tan. Saya permisi dulu.”

“Pergi dulu, Ma.” Pamit Kirana.

Setelah berpamitan, Bima membawa boneka dan Kirana berjalan di belakangnya. Kirana membuka pintu belakang mobil supaya Bima bisa memasukkan bonekanya. Lalu dia beralih membuka pintu depan, kemudian duduk di sebelah Bima. Bima mulai menghidupkan mobil terus melaju menuju tempat tujuan. Tempat di mana mental Kirana dibantai habis-habisan.

Mama Kirana menatap kepergian Kirana dengan hati yang tidak rela. Seperti akan terjadi sesuatu pada anaknya. Tapi kemudian dia menapis pikiran buruk yang sempat terlintas.

“Semoga tidak terjadi apa-apa.” Monolognya.

Di tengah perjalanan Bima menghentikan mobilnya. Kirana menoleh, ada apa gerangan sampai menghentikan mobil.

“Kenapa?”

“Enggak apa-apa,” ucap Bima santai, setelah mobil berhenti, Bima merogoh saku celananya untuk mengambil sapu tangan.

“Sayang, matanya aku tutup, ya?”

“Kenapa?”

“Ada kejutan untuk kamu.”

Mata Kirana memicing penuh selidik, tidak percaya begitu saja sama Bima.

“Kejutan? Kok kamu enggak bilang dari semalam?”

“Lupa, Sayang. Maaf, ya.” Bima memasang wajah melas supaya Kirana percaya.

Setelah beberapa saat, akhirnya Kirana mengangguk, mau ditutup matanya. .

Bima mulai menutup mata Kirana dengan sapu tangan. Setelah memastikan Kirana tidak bisa melihat, dia mulai menyalakan kembali mobilnya menuju tempat yang sudah disepakati.

Bima tidak bisa konsentrasi dalam menyetir, antara takut dan terpaksa.

“Sayang, sudah sampai belum? Kok rasanya jauh sekali. Memang daerah mana rumah keponakanmu?” tanya Kirana karena matanya sudah agak sakit.

“Belum, sebentar lagi sampai.”

Akhirnya mobil Bima memasuki daerah perumahan yang berisi bangunan rumah dengan ukuran yang besar. Mobil melaju dengan kecepatan yang sudah berkurang.

Di pertigaan tepatnya di ujung jalan, dia berbelok ke kiri. Meraih ponsel yang berada di saku celana, mengetik ke nomor yang dituju kemudian memasukkan kembali ke kantong celana.

Jalan yang merupakan jalan buntu dengan rumah-rumah yang kosong dan tidak terurus dan penerangan jalan banyak yang mati, sehingga tidak bakal ada yang tahu apa yang sedang terjadi. Mobil masih terus berjalan sampai dia melihat cahaya kecil di depan sana.

Perlahan namun pasti, Bima menuju cahaya tersebut. Setelah sampai, dia bisa melihat di sebelah kanannya ada pintu yang dibuka cukup lebar. Dengan perlahan Bima memasukkan mobilnya lalu parkir tepat di belakang mobil yang lebih dulu sampai.

Mematikan mesin mobil lalu Bima keluar mengelilingi bagian belakang mobil untuk mengeluarkan Kirana. Kirana hanya menurut, di bantu Bima dia mulai berjalan mengikuti Bima yang menuntunnya berjalan.

Bima dibantu seseorang yang membawa ponsel untuk penerangan mereka masuk ke rumah. Bima melihat sekeliling, rumah kosong tanpa adanya perabot. Hingga seseorang masuk ke ruangan pertama yang ada di rumah itu.

Ternyata sebuah kamar hanya ada satu kasur bisa yang sudah tidak layak untuk dibuat tidur.

“Bim, kok berhenti, apa sudah sampai?” tanya Kirana, pegangan Kirana ke tangan Bima semakin erat. Karena hati Kirana mendadak tidak enak.

“Belum sebentar lagi sampai.” Ucap Bima yang masih memegang tangan Kirana untuk di tuntun masuk lebih dalam.

Tidak hanya Bima, Kirana dan seseorang yang pegang ponsel, tapi masih ada dua orang pemuda berada di dalam.

“Sayang, aku bantu duduk ya, soalnya kursinya rendah.”

“Bima, aku takut.”

“Shut, tenang, ada aku.”

Bima lalu membantu duduk di atas kasur dengan posisi berada di belakang Kirana.

“Bim, Bima...” suara Kirana bergetar saat memanggil Bima, karena tangannya ada yang menarik dan terikat.

Sunyi tidak ada suara, masih dengan mata tertutup, Kirana mencoba menggerakkan tangannya supaya ikatannya terlepas. Bukan talinya yang mengendur tapi pergelangan tangannya yang memerah.

Bima melepas sapu tangan yang menutup mata Kirana. Alih-alih membuang sapu tangan tersebut, Bima langsung menggunakan kembali untuk menutup mulut Kirana.

Setelah penutup matanya terbuka, Kirana melotot melihat di mana dia sekarang dan bersama siapa. Mendadak tubuhnya gemetar saat melihat tiga orang cowok duduk tidak jauh dari dirinya. Dua botol minum dengan merek minuman alkohol tersaji di depan mereka. Dan yang membuat Kirana semakin takut adalah pandangan mata mereka menyorot tajam, seakan-akan ingin menerkam dirinya. Kirana hanya bisa melihat tanpa bisa bersuara karena mulutnya tersumpal.

Ketiga cowok tersebut mendadak berdiri, menuju ke arahnya. Kirana beringsut mundur. Tetapi naas, tubuhnya membentur sesuatu, refleks dia menoleh, ternyata Bima duduk di belakangnya.

Kirana memandang Bima dengan tatapan memohon, tetapi tidak digubris oleh Bima.

“Bima, lakukan tugasmu!”

Suara berat mengagetkan Kirana, dia langsung menoleh, ketiga pemuda tersebut sudah berada di depannya dengan seringai menghiasi sudut bibir mereka.

Kirana dibuat terkejut, saat bahunya ditarik ke belakang, dan pelakunya adalah Bima. Kirana menjerit tertahan, dan kaki yang menendang kesana-kemari saat Bima mulai menidurkan dirinya di atas kasur.

Bima menahan bahu Kirana supaya tidak bangun. “Bantu pegang, cu*.”

Bian dan Bram jongkok di kanan, kiri Kirana, menarik Kaki Kirana yang menendang-nendang tak tentu arah.

Riko yang sudah mabuk, melihat Kirana yang terlentang semakin membangkitkan nafsunya. Berjalan mendekat kemudian ikut jongkok dengan posisi di bawah Kirana.

Tangan kekarnya mulai aktif mengelus kaki Kirana lalu naik ke p4ha dan berakhir di p4ha bagian atas. Teriakan Kirana tertahan sapu tangan yang mengikat mulutnya. Masih mencoba meronta meskipun usahanya tidak membuahkan hasil, saking erat mereka memegangi tangan dan kakinya.

“Cewek kamu sangat menggairahkan, Bima.” Ucap Riko sambil tertawa lepas. “kenapa lo gak ikut dari dulu, Bima. Biar setiap lo kalah dia yang bakal melayani kita-kita.” Omongan Riko semakin melantur, sambil terus meraba tubuh Kirana.

“Jangan ngoceh saja, cepat selesaikan urusannya, Riko.” Protes Bima.

“Tenang, Bro. Santai, waktu kita masih banyak. Kalau lo takut, kita habisi saja dia, toh di sini enggak bakal ada yang tahu.” Kali ini Bian yang ngomong.

Tentu saja Bima sangat khawatir, antara takut ketahuan, kasihan, dan dia juga ingin pusakanya dimanja kekasihnya. Sama seperti yang lain, melihat kemolekan kekasihnya membangkitkan libidonya.

Riko memulai aksinya, mulai men ciumi leher Kirana, butuh usaha keras dalam melakukannya, Karena Kirana selalu menghindar dengan cara menggeleng-menggelengkan kepalanya dengan cepat.

Pergelangan tangan Kirana sudah memerah karena usahanya untuk melepaskan diri, terlebih Bima memegang tangannya dengan erat.

Kirana meronta-ronta saat tangan kekar Riko mulai menjamah tubuhnya. Kirana menangis sambil menjerit tertahan, saat tangan itu mulai berjalan-jalan di kedua bukit kembar dan bermain-main di puncaknya.

Merasa tidak nyaman karena adanya penghalang, Riko mencoba membuka baju Kirana. Meskipun mulutnya terikat, Kirana berteriak, bersamaan dengan suara tangis yang semakin keras saat tangan itu mulai menyobek baju yang dikenakannya. Tidak hanya baju, celana Kirana juga dilepas.

Hanya tinggal pakaian warna hitam berenda yang menutupi kedua aset berharganya.

Riko yang sudah tertutup kabut gairah mulai melancarkan aksinya hingga terdengar teriakan keras dari belakangnya yang membuat mereka yang berada di sana terkejut.

“Bajingan!! Biadap!!?”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!