Bab 6

Dita Anggraini

Meskipun masih pagi, tetapi cuaca terasa panas, matahari bersinar sangat terik. Kirana yang baru saja sarapan langsung kembali ke kamar.

Papanya sedang keluar kota, dan mamanya ada di halaman belakang sedang menanam bibit tanaman yang baru dibelinya kemarin. Sedang kakaknya pergi entah ke mana.

Hari ini akhir pekan, dan Kirana malas untuk bangun pagi. Di kamarnya dia mengambil laptopnya. Entah apa yang di carinya, dia hanya memainkan jemarinya, Kirana tidak berhenti mencari tapi dia masih belum menemukan apa yang dia cari.

Meskipun sudah banyak situs-situs yang menginformasikan mengenai masalahnya dia belum bisa berpuas diri, hingga tanpa sengaja Kirana menemukan konten siniar artis terkenal dengan narasumber seorang gadis muda seumur dirinya dan juga mempunyai permasalahan yang sama.

Kirana menyimak dari awal siaran sampai selesai. Kirana terkesiap dan refleks tangannya langsung menutup mulut.

Matanya mulai berkaca-kaca, tidak percaya apa yang sudah didengar dan dilihatnya. Kirana ingin sekali menolak bahwa dia menderita ‘mrkh syndrome’.

Dengan tangan gemetar dia menutup konten tersebut dan kembali mencoba untuk mencari tahu apa arti syndrome yang di sebutkan oleh narasumber.

Kirana mulai mengetik di kolom pencarian dan tampaklah kalimat demi kalimat menerangkan syndrome tersebut.

Air mata yang sejak tadi ditahan, pecah sudah. Kirana menangis sambil menutup mulutnya supaya tidak terdengar dari luar kamar.

Ya, saat ini Kirana berada di dalam kamarnya, sekolah yang pada akhir pekan meliburkan siswanya. Untuk membunuh waktu senggang dia mencoba membuka gawai yang untuk ke sekian kalinya mencari informasi yang dia butuh kan.

Sakit, itulah yang dirasakannya saat ini. Tidak menyangka akan mendapat cobaan seperti ini. Dia memukul dadanya untuk meredakan rasa sakit, pukulan itu tidak mereda malah tambah sakit akibat kerasnya dia memukul dadanya. Dia terus saja menangis tanpa suara sampai tidak sadar sudah tertidur.

**

Sementara itu di sebuah rumah sederhana bergaya minimalis dengan halaman yang luas di penuhi dengan beraneka macam bunga, terlihat seorang gadis cantik berkulit kuning langsat sedang duduk dengan wajah merenggut.

Gadis itu adalah Dita, yang tinggal bersama kakek dan neneknya. Ayah, ibunya sudah berpisah sejak dia masih SD. Demi tidak membebani Kakek dan neneknya, dia rela kerja paruh waktu di sebuah kafe yang ada di kawasan ramai anak yang terbiasa nongkrong.

Peraturan di tempatnya kerja, hari Sabtu dan Minggu tidak boleh libur. Kalau mau libur harus kasih uang pengganti untuk pegawai yang mau menggantikan bekerja.

“Ini anak ke mana? Ditelepon dari tadi tidak diangkat.”

“Sudah aku sempetin libur kerja. Uang seratus ribu yang aku kasih ke Rani gak ada artinya.”

Gadis itu mengomel sambil terus menekan nomor, menunggu panggilan tersambung. Tapi si empunya nomor tidak mengangkat sama sekali. Pesan juga tidak di balas. Dengan kesal langsung saja dia mematikan telepon.

“Asem si Kirana, ngajak pergi tapi sampai sekarang belum datang. Apa aku ke rumahnya saja ya.”

Dita masih terus saja mengomel dan bolak-balik mengecek ponselnya.

“Ok, fine, aku ke sana saja.”

Setelah berkata demikian, Dita beranjak dari tempat duduknya. Melangkah masuk, melewati ruang tamu yang sederhana hanya di isi satu set kursi, televisi tipis menggantung di tembok dan di bawah televisi ada meja panjang dengan pigura kecil berisi foto Dita mulai bayi hingga Dita masuk sekolah taman kanak-kanak.

Dan semuanya foto sendiri tanpa ayah dan ibunya. Karena foto yang lengkap sudah Dita bakar. Meskipun sudah diingatkan sang Nenek, bagaimanapun juga mereka ayah dan ibu Dita, tapi dia tetap kekeh membakarnya.

‘Aku tidak punya orang tua, sekarang dan selamanya Kakek dan Nenek adalah kedua orang tuaku'

Itu yang dikatakannya waktu itu. Kakeknya hanya bisa pasrah akan perbuatan Dita. Mereka juga mengerti dan paham apa yang dirasakan cucunya. Siapa yang tidak bakal marah dan kecewa, jika kedua orang tua berpisah untuk mengejar dunia dan tidak mau mengurus anak semata wayangnya.

Lestari, Mama Dita datang ke rumah ibunya untuk menyerahkan Dita kecil untuk mereka asuh. Alasannya, calon suami barunya tidak mau anak dari dirinya. Sedangkan Teguh, papa Dita tidak mau tahu akan masa depan anak perempuannya.

Di dalam kamar, Dita hanya mengambil tas selempang kemudian keluar kamar, menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari keberadaan neneknya, “Nenek ke mana?” monolognya.

Menghampiri kamar neneknya yang berada tepat di sebelah kamar, membuka pintu tetapi sang nenek juga tidak ada. Menutup pintunya kembali kemudian berjalan ke belakang melewati ruang tengah dan dapur. Membuka pintu belakang yang terbuka separuh, tampaklah sebuah ruangan yang luas tanpa sekat, hanya berisi rak besi yang di letakan sepanjang tembok.

Rak tersebut berisi berbagai macam sembako yang sudah dikemas. Ya, Kakek Dita mempunyai toko sembako. Dan pengemasan dilakukan di rumah. Di rumah ada dua karyawan dan di toko ada tiga karyawan yang membantu.

“Mbak Sumi, Nenek mana?” tanya Dita pada seorang perempuan yang sedang menimbang gula.

“Nenek tadi pamit ke rumah Bu Elok sebentar,”

Mulut Dita membentuk huruf o sambil menganggukkan kepala.

“Sudah dari tadi, Mbak?”

“Lumayan sih, Mbak Dita enggak kerja?”

“Gara-gara si kunyuk ngajak keluar jadi izin libur. Eh, malah gak datang-datang.”

“Kunyuk?”

“Iya, si Kirana.”

“Astaghfirullah, Mbak. Mbak Kirana cantik gitu di panggil kunyuk,” kali ini Mbak yang sedang menata tepung di pojokan yang bersuara.

“Hehe, itu panggilan kesayangan aku, Mbak Dami,” jawab Dita sambil cengengesan. “Dita pamit dulu, nanti kalau nenek sudah pulang, tolong kasih tahu kalau ke rumah Kirana.”

“Oke,” sahut mereka berbarengan.

Dita melangkah ke pintu samping yang ada di ruangan itu, pintu yang menghubungkan ruangan tersebut dengan garasi.

Dita berjalan ke arah si biru, sepeda motor kesayangannya. Motor matic berwarna biru hasil keringatnya sendiri. Meskipun Kakeknya mampu membelikan dia sepeda motor, tapi dia tidak mau dibelikan.

Memakai helm, kemudian melanjutkan membuka pintu garasi, lalu mengeluarkan motornya dan tidak lupa menutupnya kembali.

Belum sampai membuka pagar rumah, tampaklah si Nenek sedang membuka pagar untuk masuk ke rumah.

Dita tersenyum melihat neneknya, meskipun neneknya berusia setengah abad, terlihat masih cantik, segar dan lincah.

Dita segera menghampiri neneknya setelah menyalakan sepeda motornya.

“Nek, Dita pamit, mau ke rumah Kirana.”

“Hati-hati di jalan, jangan ngebut,” pesan sang nenek.

“Siap, Nek,” Dita meraih tangan neneknya untuk dicium. “Dita pergi dulu, Asalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Nenek Dita tersenyum lembut, dengan pandangan sendu melihat cucunya yang mandiri tanpa kasih sayang kedua orang tuanya.

Setelah bayangan cucunya berbelok di ujung gang, barulah beranjak masuk dan menutup pagar.

Terpopuler

Comments

ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞

ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞

iya cpt dit, Kirana Lg nangis...
kasian dia...

2022-09-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!