Bab 3

Mulai Mencari

Setelah makan malam tadi, Kirana langsung menuju kamar. Kamar berukuran sedang, tembok kamar dan plafon di cat dengan kombinasi warna biru dan putih. Dan semua perabotan berwarna abu-abu dan itu pun tidak banyak.

Ranjang berada di tengah, meja rias ada di sisi kanan ranjang bersebelahan dengan kamar mandi. kemudian meja belajar tepat berada di samping pintu. Lemari baju yang merupakan lemari tanam berada tepat di sebelah kiri ranjang.

Saat ini Kirana sedang duduk di tepi ranjang dan posisi kaki bersila. Membuka laptop yang Kirana ambil dari meja belajar dan menyalakannya.

Waktu di sekolah tadi, dia tidak sempat mencari informasi terkait hal yang mengusiknya. Alhasil baru malam ini dia bisa fokus mencari.

Membuka halaman pencarian pintar, dia mulai memainkan jari-jemari di atas papan huruf mengetikkan kalimat :

‘Kapan haid didapat pertama kali'

Dalam hitungan detik artikel muncul di layar.

[Menstruasi pertama kali datang lebih cepat ataupun lambat. Siklus pertama dimulai di usia 12 tahun atau dua-tiga tahun setelah pa4yud4r4 tumbuh]

“Eh, usia 12 tahun? P4yud4r4 tumbuh?” gumam Kirana. “kenapa di usiaku yang sekarang aku belum dapat menstruasi, ya? Padahal payudaraku sudah tumbuh, montok lagi.” Ucapnya, dan tanpa sadar kedua tangannya memegang p4yud4r4.

“Haish, sue bener dah. Ngapain pakai pegang kedua gunung kembar segala,” gerutu Kirana.

Kirana tidak berpuas diri, dia mencoba mencari lebih banyak informasi mengenai hal ini. Hingga ujung jemarinya berhenti pada sebuah artikel yang berjudul :

'8 Penyebab Telat Haid yang Tidak Berkaitan dengan Kehamilan'

Menekan alamat web yang tersedia, menunggu sesaat kemudian keluar kalimat demi kalimat menerangkan ke delapan penyebab telat haid. Fokus, itulah yang dilakukannya saat ini, mencoba menangkap apa yang tertulis di artikel tersebut.

Mengembuskan napas, lalu menjatuhkan tubuhnya ke belakang masih dengan posisi kaki bersila. Tidur telentang sambil menatap langit-langit kamar. Setelah selesai membaca artikel hingga akhir, pikirannya kacau.

Pandangannya tiba-tiba gelap, tangannya terangkat untuk mengambil benda yang menutup kedua matanya. Ternyata sebuah bantal dan pelakunya tidak lain adalah abangnya.

Bola mata Kirana seketika membola, langsung dia bangun dan duduk tepat berada di belakang abangnya. Kirana kaget , karena melihat Alvin tengah menunduk di depan laptop yang layarnya masih menyala dan memperlihatkan artikel yang di bacanya tadi.

“Bang, minggir.” Kirana mencoba meraih laptop untuk mematikan layarnya, tetapi dihalau sama si abang.

Abangnya menoleh dengan ekspresi wajah terkejut. “Kamu hamil, Dek?” Tanyanya menyelidik.

“Enggaklah, memangnya aku cewek apaan,” sanggah Kirana tidak Terima dengan tuduhan yang dilayangkan.

Alvin tidak percaya begitu saja dengan omongan adiknya. Dia menegakkan badan, menaruh tangannya bersedekap, mencoba mengintimidasi adiknya yang masih tetap duduk di ranjang. Tatapannya mulai menyelidik, mengamati ekspresi wajah Kirana sampai pandangan matanya turun ke perut Kirana.

“Kenapa lihat-lihat perutku!” sungut Kirana.

“Sungguh?”

“Iya, Bang. Sungguhan, aku enggak hamil.” Katanya meyakinkan.

“Terus, ini apa?”

“Itu untuk pelajaran biologi besok, Bang. Di kelas, pelajarannya berupa kuis cerdas cermat. Bosan materi terus.”

Masih dengan tatapan penuh selidik, Alvin bertanya sekali lagi, mencoba memastikan,

“Bener?”

“Bener, Bang, suwer.” Ucapnya sambil mengangkat jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf v.

“Ok, awas kalau bohong.”

Kirana hanya tersenyum lebar memperlihatkan sederet gigi putih bersihnya.

“Abang kesini ada perlu apa?”

“Oh, Abang mau naik. Mau gabung?” Alvin mengatakan alasan dia ke kamar adiknya seraya berbalik untuk duduk di kursi yang ada di depan meja rias

“Kapan? Gunung apa?” Kirana bertanya sambil mengubah posisinya menghadap abangnya.

“Kalau enggak ada rintangan sih, bulan depan. Ke Gunung Merbabu,” jawab Alvin enteng.

“Wah mau, Bang. Tapi, untuk izin kepala sekolah dan Pak Tony bakal susah. Kan, sempat ada pendaki yang hilang.”

“Coba bikin proposal yang isinya PA kamu bakal join sama mapala Abang, terus coba ajukan ke guru pembimbing dan kepala sekolah,” terang Alvin mencoba memberi solusi. “kalau sudah, beritahu Abang, nanti Abang ke sekolah kamu untuk pemantapan materi.”

“Ok, aku coba bicarakan sama anak-anak dulu, mau apa enggak. Kalau aku sih ok, ok saja. Kepingin ke sana lagi.”

“Mangkanya Abang ajak kamu, sekalian ajak anggota PA supaya punya pengalaman menaklukkan Gunung Merbabu. Abang tunggu kabarnya, biar Abang bisa menentukan berapa personil yang mau dibawa.”

“Ok, siap komandan.”

Alvin berdiri dari duduknya, tapi tidak lekas beranjak, dia masih ingin memastikan Kirana berbohong atau tidak.

Kirana mendongak, karena merasa tatapan abangnya mulai mengintimidasi lagi. Kirana mencoba bersikap wajar dengan bertanya kepadanya. “Apa ada lagi hal yang perlu di sampaikan, Bang?”

Alvin masih diam mengamati setiap gerak-gerik dan ekspresi wajah Kirana. Mengembuskan napas pelan kemudian dia berkata, “Jangan berbohong sama abang, apalagi sama Mama, Papa. Kalau ada apa-apa bilang, jangan menyembunyikan sesuatu. Mending kita tahu di awal jadi bisa cari solusi yang tepat.”

“Iya, paham, Bang.”

“Baiklah, lekas tidur besok sekolah.”

“Ok.”

Setelah berkata demikian , Alvin beranjak dari tempatnya, berjalan menuju pintu meraih gagangnya lalu menarik daun pintu untuk ditutup. Akan tetapi, belum sampai menutup sempurna, dia menyembulkan kepala dari balik pintu.

“Apalagi, Bang?”

“Dek.”

“Ya.”

“Arga ikut naik.” Lalu cepat-cepat ditutup pintunya. Kemudian mulai menghitung. “Satu, dua, ti-ga.”

“Abang!” teriak Kirana nyaring sampai terdengar dari luar kamar.

Alvin tertawa cekikikan karena telah berhasil menjahili adiknya.

Arga adalah nama Guru Olahraga Kirana waktu SD dan dengan konyolnya Kirana memintanya untuk menunggu sampai dia lulus kuliah agar bisa menikah dengan Kirana. Padahal Arga sendiri sudah berkeluarga.

Mendengar nama Arga disebut, membuat pipi Kirana merona, dia membenamkan kepalanya ke bantal. Kirana malu kalau mengingat kejadian itu.

Mendadak Kirana memiringkan kepala, tidak ada senyum di bibir apalagi rona merah di pipi. Yang ada adalah wajah datar dan dingin bercampur jadi satu. Ingatannya kembali pada artikel yang dia baca beberapa jam yang lalu.

“Besok saja aku tanya ke Dita sama Mama. Sekarang sudah malam, mereka pasti sudah tidur,” gumamnya.

Dengan malas dia bangun dari posisinya, mengambil laptop kemudian berdiri dan berjalan ke meja belajar untuk di taruh.

Setelah selesai, Kirana berbalik untuk mematikan sakelar dan mengunci pintu. Lalu berjalan menuju ranjangnya, merangkak naik, menarik selimut lalu merebahkan tubuhnya.

“Semoga aku tidak kenapa-kenapa.” Ucapnya lirih. Lalu mulai menutup mata.

Terpopuler

Comments

ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞

ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞

aamiin....😘

2022-09-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!