Rayuan Gombal Bima Suseno
Dentang suara jarum jam menunjukkan pukul 19.00. Semua anggota keluarga sedang berkumpul di ruang keluarga. Terlihat Alvin dan papanya duduk berdampingan di sofa panjang dan Kirana duduk menghadap mamanya di kursi single dekat dengan tembok yang pembatas ruang tengah dan ruang makan.
Jari jemari Alvin menari-nari di atas laptop yang ada di pangkuannya, dia sibuk mengerjakan laporan yang diberikan papanya.
Ya, papanya selalu memberi tugas memeriksa laporan untuk dikerjakan anak lelakinya. Alasannya sih, biar nanti bisa luwes dalam dunia bisnis, meskipun latar belakang pendidikan anaknya di bidang arsitektur.
Sedangkan Kirana sedang asyik berbincang dengan mamanya, tanpa adanya ponsel ataupun televisi. Papa dan Mama Kirana selalu meluangkan waktu buat anak-anak mereka, bercengkerama, bercanda layaknya antara teman dan sahabat.
“Binggo, sudah beres, Pa. Coba Papa cek,” ucap Alvin sambil menyerahkan laptop ke pangkuan papanya.
Pak Hadi mulai memeriksa pekerjaan anaknya, matanya melihat baris demi baris tulisan yang terlihat di layar. Terlihat senyum puas terpatri di bibir Pak Hadi, melihat hasil kerja anaknya, sungguh memuaskan.
“Sip, bagus, ini sudah benar semua. Jadi, kalau papa berhalangan atau ada acara dan tidak bisa memimpin rapat, kamu sudah siap untuk mewakili papa. Papa tidak mau kamu langsung terjun di dunia bisnis tanpa bekal. Karena kalau kamu salah langkah dan kurang perhitungan, bakal fatal akibatnya.”
“Iya, Pa. Alvin mengerti.”
Pak Hadi melanjutkan obrolan seputar bisnis kepada putranya, hingga suara Kirana menginterupsi mereka berdua.
“Pa, aku pamit ke kamar dulu, mau mengerjakan proposal yang di tugaskan Pak Setiawan,” ucap Kirana.
“Proposal?” jawab sang papa sambil mengernyitkan dahi.
“Iya, proposal untuk di serahkan kepada kepala sekolah. Klub PA mau mendaki ke Gunung Merbabu.”
“Alvin yang mengajak, Pa. Karena rencananya bulan depan mau ke sana,” sela Alvin.
“Oh, ok. Kalau sama abangmu, papa sama mama bakal mengizinkan.”
“Padahal Kirana mau naik sendiri, Pa,” gumamnya.
“Kamu bilang apa? Papa enggak dengar.”
“Hehe, enggak Pa. Enggak bilang apa-apa.”
Setelah berkata demikian, Kirana langsung berdiri dari kursi dan berlari ke arah tangga menuju kamarnya di lantai atas.
Mereka hanya tersenyum dan menggelengkan kepala melihat kelakuan Kirana.
“Mama ya mau ke kamar dulu, Pa. Ngantuk,” ucap Melisa kemudian beranjak dari duduknya.
Hanya anggukan yang diberikan kedua lelaki yang masih duduk manis di kursi.
Setelah sampai di kamar, Kirana berjalan menuju meja belajar, membuka laptopnya lalu mulai memainkan jemarinya di atas papan ketik.
Saat sedang fokus membuat proposal tentang pendakian ke Gunung Merbabu, suara dering ponsel membuyarkan konsentrasinya. Kirana melihat ke arah nakas di mana gawainya berada. Dia beranjak dari meja belajar untuk mengangkat panggilan.
Mencabut kabel yang terhubung, kemudian duduk di atas ranjang dengan punggung menyender ke sandaran ranjang.
Ternyata panggilan tersebut berasal dari pacarnya, Bima. Tersenyum, lalu menggulir gambar video dan tampaklah wajah tampan yang mempunyai lesung pipi.
[Halo, apa benar ini rumahnya Bapak Hadi?]
Kirana mengernyitkan dahi, bingung. Tapi dia mencoba untung mengimbangi ucapan kekasihnya.
“Iya betul, ada apa, ya?”
[Mau lapor, ada pencuri di rumahnya]
Mata Kirana melebar, terkejut apa yang di katakan kekasihnya, “Hah, benarkah, siapa pencuri itu? Nanti aku beritahu papaku biar dilaporkan ke polisi,”
[Dia pencuri yang sangat hebat. Pencuri hatiku yang bernama Kirana Indurasmi Wiratama]
Ekspresi wajah yang awalnya bingung, tegang dan sedikit panik mendadak datar tanpa ekspresi.
“Enggak lucu tau.” Sewotnya dan sukses membuat lawan bicaranya tertawa.
[Memang benar, Sayang. Waktu pertama kali kita bertemu, kamu sudah mencuri hatiku sepenuhnya]
“Gombal,” jawab Kirana sambil tersenyum malu-malu dengan semburat rona merah di kedua pipinya.
[Lagi ngapain, Yang?]
“Ini, lagi mengerjakan proposal untuk kegiatan PA. Bang Alvin mau naik ke Gunung Merbabu, mau mengajak aku dan sekalian anak-anak PA. Anak-anak antusias, aku sudah izin ke Pak Setiawan, tapi katanya anak kelas tiga sudah tidak boleh ada kegiatan mengingat mendekati ujian dan kelulusan.”
[Terus]
“Kalau anak kelas satu yang naik tanpa pendamping yang berpengalaman, enggak bakal boleh. Mangkanya, tadi Pak setiawan nyuruh bikin proposal buat diajukan ke kepala sekolah. Jadi ya, aku bikin tadi.” Jelasnya panjang lebar.
Selain bercerita soal mendaki, Kirana juga bercerita tentang segala hal. Meskipun Kirana gadis yang tegas. Akan terapi dia akan bersikap lembut dan manja di dekat orang yang membuatnya nyaman.
Sedangkan Bima sendiri orang yang pandai bergaul dan bisa menempatkan diri. Sehingga banyak sekali temannya.
[Coba tebak, apa simbol besaran dari arus listrik, induktansi, oksigen, tegangan listrik, elektron dan uranium]
Pertanyaan yang dilontarkan Bima membuat Kirana memalingkan wajah. Menyembunyikan wajahnya yang merona merah sambil tersenyum simpul.
[Eh, kenapa, Sayang?]
“Gak apa-apa.”
[Lihat sini dong, masa aku dianggurin, sih]
Masih dalam posisi berpaling, Kirana berdehem mencoba untuk menetralkan raut wajahnya. Setelah bisa mengendalikan dirinya, lalu dia menoleh, melihat ke arah gawai yang masih menampilkan wajah pacarnya, Bima.
[Memang apa jawabannya?]
“Enggak tahu,” sahut Kirana.
[Masa anak IPA enggak tahu jawabannya, gampang loh itu]
“Memangnya aku si embah yang tahu segalanya.” Sahutnya sedikit ketus dan sukses membuat lawan bicaranya tertawa.
“Sudah ah. Dah malam ini, besok juga masih sekolah. Besok jemput aku apa enggak?”
[ok ratuku, selamat malam, selamat tidur, mimpikan aku dalam tidurmu, ya. Maaf, Sayang, masih belum bisa menjemputmu. Enggak apa-apa kan?]
“Selamat malam juga buatmu,” sahut Kirana sambil tersenyum, dengan tatapan yang teduh. “iya, gak papa, aku bisa minta tong diantar sama abang.”
[Sayang, apa jawaban untuk pertanyaanku tadi]
“Memang harus di jawab ya?”
[Heem]
Kirana tertawa melihat wajah pacarnya. Bima terlihat seperti anak kecil yang minta dibelikan mainan.
Sekali lagi Kirana berdehem, mendekatkan gawainya kemudian berkata, “I LOVe U. Itu jawabannya,” ucap Kirana sambil tersenyum dan rona merah kembali hadir di kedua pipinya yang putih.
[I love you too my sweetheart, sudah sana tidur]
Masih tersenyum malu-malu, Kirana mengangguk sebagai jawaban, lalu mematikan ponselnya. Meraih kabel untuk menghubungkan daya, kemudian menaruhnya di atas nakas.
Turun dari ranjangnya, berjalan ke arah kamar mandi untuk melakukan ritual sebelum tidur. Setelah selesai dari kamar mandi, tidak lupa mematikan lampu kamar, lalu lanjut menuju ranjangnya. Naik, menarik selimut, mencari posisi yang nyaman lalu merebahkan diri dan tidak berapa lama terdengar dengkuran halus.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments
♥️💕 MomSha 🌹🌹💕❤️
ada yah rumus gitu, jadi ai lap yu
heheheheheh
2022-10-06
0