Bab 10

Mulai Terbuka

Malam harinya Kirana memberanikan diri menemui Mamanya yang sedang menonton televisi. Beruntung, Papanya lagi dinas luar kota sedangkan Kakaknya pergi berkencan.

Setelah menyelesaikan tugas sekolah, sambil membawa camilan Kirana berjalan menuju Mamanya, mendudukkan bokongnya di sebelah mamanya.

“Apa enggak ada film lain apa, Ma? Andin terus.”

“Lah, gimana lagi. Mama geregetan sama Aldebaran.”

Kirana ikut menonton sinetron, tapi pikirannya tidak tertuju ke televisi. Kirana melirik Mamanya yang asyik menonton sambil berbicara sendiri, mengabaikan Kirana.

“Ma.”

“Ya Sayang.”

“Kirana pengen cerita.”

Mama Kirana menoleh, kemudian meraih remote televisi kemudian mematikannya. Meraih bantal sofa lalu mengubah posisi duduk menghadap Kirana.

“Apa, sini cerita sama Mama.”

“Ma, aku sampai sekarang kok belum dapat menstruasi, ya.”

“ Masa, Sayang?”

“Iya, Ma, bener, suwer deh. Periksa yuk, Ma.”

“Mungkin memang belum dapat Sayang.”

“Aku takut, Ma.”

“Takut kenapa? Mungkin juga pengaruh dari hormon.”

“Kenapa? Apa yang menjadi pikiranmu?” Mama Kirana bertanya karena mendapati Anaknya sedang berpikir.

“Gak papa Ma. Cuma Kirana ingin memastikan apa yang sudah aku cari. Antar aku periksa ya, Ma.”

Mendapati keseriusan dalam nada bicara anaknya, dia meraih ponsel yang tergeletak di meja. Membukanya lalu mencari nama di pencarian sampai berhenti di nama Dokter Hendrik, menekan tombol hijau lalu meletakkan di telinganya.

[Halo, ya, Mbak]

“Halo Hen, maaf ganggu. Kamu sekarang lagi di mana? Lagi dinas?”

[Aku libur, Mbak. Lagi di rumah ini, gak ganggu kok, Mbak. Ada apa?]

“Hen, ini loh, Kirana cerita kalau dia belum menstruasi sampai sekarang. Apa normal, Hen?

[Maksudnya bulan ini belum dapat gitu, Mbak?]

“Sayang mulai kapan kamu belum dapat menstruasi? Bulan ini apa bulan kemarin?” tanya Mama Kirana masih dalam kondisi memegang ponsel.

“Dari masa pubertas sampai sekarang, Ma. Mungkin sudah 18 tahunan.”

“Nah, kamu dengar kan, Hen, apa kata Kirana?”

Hening, tidak ada suara di seberang.

“Hen, Hendrik kamu masih di sana, Kan?”

[ Masih, Mbak]

“Kenapa enggak jawab?”

[ Begini saja, Mbak. Bawa Kirana ke rumah sakit, nanti biar dokter Hanna yang periksa, dia spesialis kandungan]

“Kamu tidak bisa?”

[Aku Dokter umum, Mbak. Jadi cuma tahu yang umum saja]

“Memang diagnosa kamu, apa?”

[Aku cuma menebak, Mbak. Alangkah baiknya langsung ke ahlinya, takutnya malah meleset nanti]

“Ok, kapan bisa ke sana?”

[Sebentar aku tanya dulu, kapan jadwal dinasnya]

Melisa meraih tangan anaknya untuk dibawa ke pangkuan. Memberikan ketenangan dan kekuatan.

[Halo, Mbak]

“Ya Hen, kapan?”

[Lusa Mbak]

“Ok, tolong bikinkan janji ya.”

[Siap, Mbak]

Sambungan terputus, Dokter Hendrik merupakan Dokter pribadi keluarga sekaligus Ipar dari Mama Kirana.

“Itu, Om kamu sudah bikin janji sama yang spesialis. Jadi tenang ya, enggak usah takut, kebetulan besok Papa kamu sudah datang, jadi bisa ikut kita.”

Kirana mengangguk, meskipun keraguan masih menyelimuti hatinya.

“Sudah tidur sana, besok masih sekolah. Sekalian kamu izin kalau lusa tidak masuk.”

“Siap, Ma.”

Setelah menjawab ucapan mamanya, Kirana beranjak meninggalkan ruang keluarga menuju ke kamarnya, diiringi tatapan mata mamanya sampai menghilang di atas tangga.

Hari yang dijanjikan tiba, Papa, Mama dan Kirana sudah berada di dalam mobil menuju rumah sakit di mana Dokter Hanna praktik.

Mereka sengaja berangkat pagi, meskipun sudah membuat janji, tapi ada prosedur yang harus di penuhi.

Akhirnya mobil yang dikendarai Papa Kirana masuk di halaman parkir rumah sakit. Mengemudikan dengan perlahan untuk mencari lahan parkir yang kosong.

Setelah ketemu lalu memarkirkan mobil, setelah terparkir sempurna, semua keluar dari mobil kemudian berjalan menuju lobi rumah sakit.

Setelah sampai lobi, Papa Kirana melakukan pendaftaran. Setelah semua beres. Naik ke lantai tiga tempat poli kandungan berada. Setelah sampai di ruangan, mereka bertiga duduk di bangku tunggu.

Tidak lama, Nama Kirana dipanggil oleh petugas. Mereka bertiga berdiri lalu berjalan mengikuti petugas untuk masuk ke ruangan praktik Dokter Hanna.

“Silakan duduk.” Perintah petugas.

Di ruangan tersebut berisi meja, kursi dan di sebelah kanan ada monitor besar seperti televisi, komputer, ranjang dan rak yang berisi berbagai macam alat.

Dari dalam tampaklah seorang Dokter wanita yang berusia sekitar 33 tahun, menggunakan hijab, berwajah manis, kulitnya berwarna kuning langsat dan tinggi sekitar 165 cm.

Berjalan menuju meja kerjanya, mengambil berkas yang diletakkan di atas meja oleh petugas.

“Pagi, Dokter. Saya yang menelepon Hendrik kapan hari untuk bikin janji dengan Dokter.” Mama Kirana mulai membuka pembicaraan.

“Pagi juga Pak, Buk dan Mbak Kirana. Oh iya, Bu, enggak apa-apa. Emm, gini, kapan hari Dokter Hendrik menghubungi saya, dan menjelaskan permasalahan Mbak Kirana.” Dokter Hanna menjawab, “baiklah, kita mulai pemeriksaannya, jangan tegang, Mbak. Santai saja, saya enggak gigit kok.” Canda Dokter Hanna guna mencairkan suasana.

Papa, Mama dan Kirana ikut tertawa.

“Mbaknya belum dapat menstruasi mulai kapan?”

“Dari masa pubertas sampai di usia yang sekarang, Dok.”

“Mbak Kirana tahu, maksud saya, sadarnya kapan kalau Mbak Kirana belum dapat haid sama sekali?”

“Waktu sahabat saya dapat menstruasi dan tembus di rok sekolah.”

“Pernah merasakan nyeri di perut bagian bawah tiap bulan?”

“Enggak, Dok.”

“Em, ok. Untuk memastikan sekarang kita langsung periksa lewat USG transvaginal ya, Mbak. Karena untuk mengetahui lebih detail dan jelas. Silakan ikut suster Mbak, Bapak tunggu di sini dulu, biar Mbak Kirana dibantu sama Ibu. Tapi selama pemeriksaan bisa dilihat melalui monitor di sebelah saya.”

“Baik, Dok,” jawab Papa Kirana sambil menggeser tempat duduknya supaya lebih jelas melihat monitor.

“Suster, langsung USG transvaginal ya.”

“Baik, Dok. Apa perlu pemeriksaan RMI, Dok?”

“Tidak perlu, Sus.”

“Baik, Dok. Perlu cek laboratorium?”

“Iya, nanti setelah pemeriksaan, untuk lebih jelas lagi.”

“Baik, Dok.”

Suster berjalan ke lemari penyimpanan, mengeluarkan baju seperti baju operasi berwarna biru. Berjalan mendekati Kirana lalu menutup tirai yang ada di ruangan.

“Silakan dipakai, Mbak. Boleh dibantu Mamanya untuk melepaskan celana beserta ****** ********.”

“Maksudnya Sus? Bukannya USG cuma perutnya saja yang di periksa tanpa melepas celana?” Tanya Mama Kirana heran.

“Iya, Bu. Dokter Hanna menyarankan pemeriksaan dengan USG transvaginal bukan USG abdomen.”

Mama Kirana hanya mengangguk, kemudian membantu melepaskan celana putrinya setelah korden berwarna putih ditutup suster.

Setelah selesai, Kirana naik ke ranjang lalu dibantu suster memosisikan diri terlentang dengan kaki diletakkan di besi kanan-kiri ranjang. Dokter Hanna mengambil sarung tangan khusus lalu memosisikan tepat di depan **** * Kirana, kemudian mengoleskan alkohol di ******** Kirana untuk sterilisasi. Kirana sedikit mengangkat bokongnya karena merasakan dingin di bawah.

“Santai, ya. Tidak usah tegang, tidak bakal sakit.” Kata Dokter Hanna menenangkan.

Dibantu Suster, Dokter Hanna menyiapkan alat-alat yang akan digunakan.

Setelah semuanya beres, Dokter Hanna mengambil tongkat yang bernama transduser yang sudah dilumuri gel biar gampang untuk masuk ke **** * Kirana. Alat dengan panjang sekitar dua-tiga inci yang berfungi sebagai monitor.

Kirana tersentak, merasakan alat yang dimasukkan ke liang segamanya, dia merasa tak nyaman. Tangannya memegang erat tangan mamanya yang berada di samping kanan.

Dokter Hanna menggerakkan alat tersebut dengan tangan kanan, sedangkan tangan Kiri memencet tombol yang ada di keyboard komputer.

Terlihat dilayar monitor bagian dalam perut Kirana bagian bawah, semua dapat melihat lewat monitor yang tertempel di tembok ruangan.

“Di sini bisa kita lihat, saluran ****** Mbak Kirana pendek, dan bisa kita lihat indung telur Mbaknya ada. Seharusnya Mbak Kirana mengalami nyeri haid karena tidak adanya pembuahan.” Terang Dr. Hanna sambil terus memasukkan alat lebih dalam lagi. “tapi di sini tidak ada saluran mullerianus. Untuk organ yang lain terlihat normal semua.”

Pemeriksaan dilakukan secara teliti untuk mengetahui permasalahan yang terjadi pada Kirana.

Setelah dirasa cukup, Dokter Hanna meminta Kirana memakai kembali celananya.

Setelah selesai semua, Mama dan Kirana menyusul ke meja Dokter untuk meminta penjelasan.

Mereka bertiga menunggu Dokter Hanna yang sedang menulis di berkas pemeriksaan Kirana.

“Mbak Kirana sekarang kelas berapa?”

“Kelas dua belas, Dok.”

“Sudah punya pacar?”

Wajah Kirana seketika memerah mendengar pertanyaannya Dokter Hanna.

“Wah ada yang malu. Mbak Kirana cantik, pacarnya pastinya juga ganteng.” Goda Dokter Hanna sambil terus menulis.

“Begini Pak, Bu, Mbak Kirana. Setelah pemeriksaan internal dan pemeriksaan lainnya, bisa disimpulkan bahwa Mbak Kirana menderita Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser atau yang lebih populer dengan sebutan MRKH Syndrome.”

Terpopuler

Comments

ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞

ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞

sabar ya Kirana...

2022-09-15

0

ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞

ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞

d novel pun jadi korban nya sinetron Andin🤦🤦🤦🤦🤦🤦🤦

2022-09-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!