Curahan Hati Sahabat
Sudah dua hari Dita tidak masuk sekolah, dan ini membuat Kirana semakin merasa bersalah. Sepulang sekolah dia merencanakan untuk berkunjung ke rumah Dita.
Saat ini dia masih membahas soal pendakian ke Gunung Merbabu di kantor kepala sekolah bersama Pak Setiawan, Reno dan Edo.
Setelah membaca proposal dan adanya tim pendaki dari Universitas Indonesia, akhirnya kepala sekolah menyetujui rencana tersebut.
Jam menunjukkan pukul 13.00 saat Kirana keluar dari gerbang sekolah. Dengan diantar Pak Bas, Kirana menuju rumah Dita. Dalam perjalanan dia termenung memikirkan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Mampukah dia bercerita kepada kedua orang tuanya?
Tidak terasa sampailah di pekarangan rumah Dita, mereka langsung masuk karena pagar rumah terbuka lebar. Terlihat dua orang laki-laki sedang menurunkan beberapa karung untuk dibawa masuk ke gudang lewat pintu samping.
“Eh, Kirana. Ayo masuk, Dita ada di kamar, baru saja makan dan minum obat. Pak Bas, ayo masuk, jangan seperti tamu.” Ajak Nenek Dita sambil tersenyum lebar.
Bagi mereka, Kirana sudah dianggap seperti cucunya sendiri.
“Nenek, apa kabar? Maaf, Kirana jarang main.”
“Gak papa, Nenek tahu, tugas sekolah semakin menumpuk, kan ini semester terakhir. Sana, langsung saja ke kamarnya Dita.”
“Siap, Nek.”
“Dami, tolong bikinkan kopi buat Pak Bas.” Perintahnya kepada Dami yang barusan keluar dari dalam rumah.
“Siap.” Lalu dia kembali masuk untuk membuatkan kopi.
Kirana berjalan masuk langsung menuju kamar Dita, membuka pintu dilihatnya Dita sedang rebahan di atas ranjang. Berjalan mendekat langsung saja ikut rebahan di samping sahabatnya.
“Baru pulang, Na?” tanya Dita yang tahu siapa yang datang tanpa membuka mata.
“Heum, rapat sebentar sama Pak Setiawan, Edo dan Reno.”
“Memang jadi?”
“Jadilah, karena kegiatan ini untuk melatih Tio sama Siska, pengganti kita di klub ini.”
“Oh.”
“Alergi kamu gimana? Sudah sembuh?”
“Sudah berkurang, hari ini aku ingin masuk sekolah, tapi Nenek melarang.”
Hening, hanya terdengar suara orang berbicara di luar. Seakan teringat akan sesuatu, segera saja Dita bangun dari tidurnya.
“Na, Kirana.” Dita menggoyang tubuh Kirana untuk bangun.
“Heem.”
“Bangun, Na. Ayo cerita, apa yang sudah terjadi padamu.” Paksa Dita.
“Apa? Aku gak ngerti.” Kirana menjawab tanpa membuka mata malah sambil mengubah posisi tidurnya menjadi miring menghadap sahabatnya dan masih dengan mata tertutup.
“Jangan sembunyikan sesuatu padaku, Na.”
“Dit, kamu tahu, soal menstruasi yang aktu kamu bocor kapan hari?” akhirnya Kirana bersuara setelah beberapa saat diam.
“Iya, kenapa?”
“Aku belum pernah mendapatkan menstruasi sampai saat ini.” Lanjutnya sambil membuka mata dan melihat mata sahabatnya.
“Mungkin karena hormon apa gimana, Na. Apa kamu sudah periksa?”
“Belum, aku cuma cari di situs-situs pencarian.”
“Terus, apa penjelasannya?”
“Katanya sih, ciri-ciri mrkh syndrome.”
“Kan, masih katanya, Na. Coba kamu periksa dulu. Kadang artikel ada yang menyesatkan, Na. Bentar, memang ciri-cirinya apa sih?”
“Ya, cuma belum mendapatkan menstruasi sampai lewat masa pubertas. Itu pun setiap penderita tidak selalu sama. Ada yang merasakan nyeri seperti nyeri haid, ada juga yang enggak punya gejala apa-apa, bahkan ada yang pingsan karena merasakan nyeri yang sangat.”
“Tapi enggak keluar haidnya, gitu?”
“Heem, gak mens sama sekali.”
“Terus, kok bisa ada yang dapat nyeri haid dan ada yang gak dapat?”
“Kurang tahu, Dit. Emang aku dokter?”
“Mangkanya periksa ke Dokter, daripada menerka dan belum pasti kamu mendapat apa yang seperti di artikel.”
Kirana diam mendengar saran dari Dita. Memang benar daripada rasa penasaran yang dapat menimbulkan berbagai macam tanda tanya alangkah baiknya dia pergi ke Dokter.
“Ok, deh, aku tak bilang ke Mama untuk periksa,” putus Kirana setelah memikirkan apa yang Dita sarankan.
“Memang Bunda belum tahu, Na?”
“Belum. Cuma Bang Alvin yang pernah sekilas baca artikel yang aku cari. Waktu itu aku lupa matikan laptop.”
“Bilang terus terang ke Bunda, mungkin seperti yang aku bilang, Bunda bakal membawamu periksa. Terus Bang Al bilang apa?”
“Abang kira aku hamil.”
“Sue emang Abang Kamu, Na. Nuduh adiknya hamil.”
“Ya, gak salah juga sih, Dit. Kan kita tahunya kalau tidak menstruasi ya, kita hamil. Padahal ada hal lain yang bisa menyebabkan begitu.”
Dita mangut-mangut, membenarkan penjelasan Kirana.
“Semoga apa yang kamu alami hanya masalah hormon saja, Na. Enggak ada yang lain.”
“Semoga, Dit.”
Tidak terasa sudah satu jam Kirana berada di rumah Dita, kemudian dia berpamitan untuk pulang. Suara azan asar berkumandang di kejauhan mengiringi mobil keluar dari rumah Dita.
Sementara itu di jam yang sama tapi di lain tempat, di sebuah bengkel yang sudah menjadi markas mereka, terjadilah perdebatan antara sejumlah pemuda.
Mereka adalah Bima, Bian, Bram, Toni dan Rico. Mereka menagih Bima untuk segera memberikan hadiah yang biasa mereka berikan kalau kalah taruhan.
“Kapan lo kasih hadiah taruhannya?” tanya Bram yang mempunyai wajah ganteng blesteran.
“Ya, iya, gue janji secepatnya kasih itu hadiah,” ucap Bima meyakinkan.
“Awas kalau enggak?” ancam Bram lagi.
“Atau adik lo saja yang buat hadiah? Ya, nggak Rick?”
“Boleh, Adik Bima montok juga, apalagi dadanya, beuhhh,” jawab Ricko mendramatisi.
“Enak saja, adik gue mau kalian embat.”
“Kalah ya tetap kalah, Bro. Entah adik, entah teman entah apa pun yang penting cewek.”
Gelak tawa terdengar keras setelah mendengar gurauan yang dilayangkan salah satu dari mereka.
“Gue cabut dulu.”
“Ya, sana pergi cari mangsa.”
Bima mengabaikan perkataan teman-temannya. Di atas motor besarnya, pikirannya kalut.
‘Kemana aku harus cari tuh mangsa. Nyesel gua ikut taruhan kemarin. Kukira yang jadi taruhan apaan, sue bener dah'
Batin Bima sambil memukul setang motornya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments