Bab 7

Tahu yang Sebenarnya

Teriknya sinar matahari tidak menyurutkan semangat Dita untuk pergi ke rumah Kirana. Dita mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sedang meskipun jalanan sedang lengang karena banyak sekolah yang meliburkan siswa-siswinya pada hari Sabtu.

Tidak sengaja dia melihat gerobak asinan buah kesukaan sahabatnya sedang berhenti dipinggir jalan.

Perlahan Dita mengurangi laju motornya, untuk menepi. Dia berhenti tepat di depan gerobak asinan, mematikan mesinnya lalu berkata, “Bang, asinan mangga, bengkuang, salak sama leci masing-masing satu bungkus.”

“Siap, Neng,” jawab Abang penjual asinan, dengan cekatan dia mengambil asinan yang sudah terbungkus kemasan plastik dengan berat 250 gram ke dalam kantong keresek.

“Ini Neng, asinannya.”

“Semuanya berapa, Bang?”

“Seratus ribu, Neng.”

Dita membuka dompetnya yang sudah ia keluarkan dari tas selempang, menarik satu lembar uang berwarna merah, menutup kembali dompet lalu dimasukkan kembali ke dalam tas, kemudian menyerahkan uang tersebut ke Abang penjual asinan.

Setelah membayar, Dita mengambil kantong keresek tersebut kemudian dikaitkan di pengait yang ada di bawah setang motor.

“Makasih banyak, Bang.”

“Sama-sama, Neng.”

Setelah berucap demikian, Dita menyalakan motornya lalu melanjutkan perjalanannya menuju rumah Kirana yang jaraknya sudah dekat.

Setengah jam berlalu, sampailah ia di depan pagar tinggi berwarna coklat dengan ornamen terpatri di permukaannya. Turun dari motornya kemudian berjalan menuju bel yang ada di sebelah kiri di bawah lampu hias yang menempel di tembok.

Selang lima menit menunggu sambil berdiri di depan motornya, pintu pagar terbuka dan terlihatlah seorang lelaki paruh baya berumur sekitar lima puluh empat tahun.

“Neng Dita. Cari non Kirana?”

“Iya, Pak. Anaknya ada?”

“Ada Neng. Non Kirana ada di rumah, enggak ke mana-mana. Masuk saja Neng.” Ucapnya sambil membuka lebar pagar supaya Dita bisa masuk.

“Makasih, Pak Bas. Bunda juga ada?” katanya sambil menuntun motornya masuk.

Baskoro, adalah sopir di keluarga Wiratama dan sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Karena Baskoro sudah bekerja dari bujang hingga menikah dengan Darsi dan mempunyai seorang anak perempuan yang sudah berumah tangga dan ikut suaminya menetap di kota Surabaya.

“Ada, cuma Bapak sama Mas Alvin yang enggak ada di rumah,” jawab Pak Basuki sambil menutup pagar.

“Eh, Bang Al pergi? Ya, apes deh, padahal mau minta traktir sama Bang Al,” sahut Dita sambil memonyongkan mulutnya.

Dita menuntun motornya masuk dan mengarahkan ke sebelah kiri menuju garasi rumah. Lalu memarkirkan motornya di depan pintu garasi.

“Saya sama Darsi enggak di tanya, Neng?” tanya Baskoro yang mengikuti Dita dari belakang.

“Lah, kenapa tanya, Pak? Bapak ada di sini dan Bu Darsi ada di dalam ‘kan?” jawab Dita kebingungan akan pertanyaan Baskoro.

“Lah, 'kan, semua pada ditanya, apa Neng Dita mau sensus?”

“Haish, Pak Bas ada-ada saja,” ucap Dita sambil melepas helm dan menaruhnya di spion motor. Lalu mengambil kantong yang berisi asinan yang dibelinya tadi.

“Neng Dita gak kerja?”

“Meliburkan diri, Pak. Mau cuci mata,” jawab Dita sambil memainkan kedua matanya.

“Memang ada yang melirik?” goda Baskoro.

Saat ini mereka berdua sedang berjalan menuju halaman belakang rumah lewat pintu samping. Tidak ada rasa sungkan sama sekali, saling melempar gurauan. Sama seperti keluarga Kirana, Dita sudah menganggap Baskoro sebagai bagian keluarganya, pun begitu sebaliknya.

“Asal Bapak tahu ya, si Aliando, sebelum jadi artis terkenal, dia itu....”

“Pacarnya Neng Dita?” potong Baskoro tidak percaya.

“Hehehe bukan, dia pernah nongkrong di kafe tempat aku bekerja, Pak,” jawab Dita sambil cengengesan.

“Dasar tukang....”

“Bunda,” panggil Dita setelah melihat Melisa, mama Kirana tampak di antara rumpun bunga mawar. “Pak, Dita ke Bunda dulu, dan saya bukan tukang halu, Pak, tapi tukang ngayal.”

“Sama saja atuh, Neng. Ya sudah sana, temui Nyonya.”

Dita berjalan cepat menuju ke arah Melisa. Sedangkan si empunya nama, menunggu di tempat sambil tersenyum melihat siapa yang memanggilnya.

Setelah sampai, Dita langsung meraih tangan Melisa untuk di cium.

“Eh, tangan Bunda kotor,” tolak Melisa.

“Gak papa Bunda. Kan bisa dicuci.”

“Tumben siang-siang ke sini? Enggak kerja? Dan apa yang kamu bawa? ”

“Enggak Bunda. Kirana kemarin mau ngajak keluar, aku tunggu enggak muncul-muncul, aku telepon enggak diangkat,” adu Dita. “ini asinan kesukaan Bunda,”

“Wah, makasih Sayang.” Ucapnya dengan mata berbinar. “masa sih, bener-bener nih anak. Tadi, Bunda tanya Mbok Darsi, Kirana sudah bangun dan sudah sarapan. Coba kamu ke kamarnya, siapa tahu molor lagi tuh anak.” Melisa menggelengkan kepala

“Baik, Bunda. Dita ke kamar Kirana dulu, ya. Dan Asinannya aku taruh di meja makan.”

Melisa mengangguk dan tersenyum sambil mengacungkan ibu jarinya. Setelah mendapat persetujuan, Dita membalikkan badan berjalan lurus ke arah kanan dengan melewati kolam renang untuk masuk ke dalam rumah.

Menaiki tiga anak tangga untuk sampai di teras belakang, melangkah masuk karena pintu penghubung antara dalam rumah dan taman belakang tidak ditutup.

“Mbok Darsi ke mana, ya.” Monolognya sambil celingak-celinguk mencari keberadaan Darsi.

Merasa tidak menemukan orang yang dicarinya, dia berjalan menuju dapur bersih membuka laci rak bawah lalu mengeluarkan dia mangkuk. Meletakkan kedua mangkuk itu di atas meja dapur, menuangkan asinan bengkuang dan mangga di masing-masing mangkuk dan sisanya dia masukan ke lemari pendingin.

Setelah selesai, lanjut berjalan ke ruang tengah dengan membawa satu mangkuk yang berisi manisan Mangga kesukaan Kirana, sedangkan yang asinan Bengkuang ia tinggal di meja makan.

Menaiki tangga dengan bentuk melengkung dengan beberapa anak tangga untuk sampai lantai atas.

Tidak banyak ruang di rumah Kirana, lantai bawah hanya berisi satu kamar tamu dilengkapi kamar mandi dalam, ruang kerja, kamar mandi dan perpustakaan, sedangkan lantai atas hanya berisi tiga kamar tidur.

Kamar Kirana berada di depan bersebelahan dengan kamar Alvin, dan berseberangan dengan kamar orang tua Kirana yang tepat berada di sebelah tangga.

Sampailah Dita di depan kamar sahabatnya yang tertutup, mengetuk beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. Akhirnya ia memutuskan untuk membuka pintu yang ternyata tidak dikunci.

“Astaganaga, ditungguin dari pagi, eh malah molor.” Dita melihat Kirana tidur meringkuk di kasur sambil memeluk guling.

“Terus ini laptop mana masih nyala, lagi.” Dita mengomel melihat kelakuan sahabatnya.

Berjalan ke meja belajar dengan niat mau mematikan laptopnya.

“Eh, apa ini?” monolognya sambil meletakkan mangkuk di meja.

Dita membaca judul yang tertera di layar, kemudian menekan tombol putar untuk melihat isinya. Dengan wajah sendu penuh kesedihan dia melihat ke arah sahabatnya.

‘Ada apa denganmu Kirana? Kenapa Lo enggak mau cerita' batin Dita setelah selesai menonton tayangan tersebut.

Terpopuler

Comments

♥️💕 MomSha 🌹🌹💕❤️

♥️💕 MomSha 🌹🌹💕❤️

syndrom apa yah?

2022-10-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!