Bab 13

Orang Bijak Dan Orang Licik

Masih dengan memakai piama dan tanpa alasan kaki, Kirana yang berjalan tidak tentu arah, sampai akhirnya berada di jembatan yang lumayan jauh letaknya dari rumah sakit.

Jembatan yang di bawahnya mengalir sungai yang tidak seberapa deras arus airnya. Kirana terus berjalan sampai dia berada ditengah-tengah jembatan. Dia lalu berhenti kemudian mengubah posisinya mengadap sungai, kedua tangannya memegang pembatas jembatan lalu melihat ke bawah.

Di bawah sangat gelap, hanya terdengar riak air sungai. Tanpa pikir panjang, Kirana mulai menaikkan kakinya ke pembatas jembatan. Dia sudah abai dengan keadaannya sendiri maupun yang lain. Dalam pikirannya ingin sekali mengakhiri semuanya.

Setelah sampai di atas pembatas, dia duduk dengan kaki menjuntai siap untuk terjun. Dia memejamkan matanya sambil berkata, “Papa, Mama, Abang, Dita. Aku mau pergi ke tempat Kakek sama Nenek. Aku sadar kalau aku terus hidup, aku bakal membuat kalian malu.”

“Dengan cara yang kamu ambil seperti ini, keluargamu tidak bakal malu lagi?” suara berat mengagetkan Kirana.

Dalam keterkejutannya, pegangan Kirana goyah, dia meluncur turun begitu saja. Kirana pasrah, dia memejamkan mata saat terjatuh.

‘Eh, perasaan jembatannya tidak begitu tinggi, tapi kok aku belum masuk ke air' batin Kirana heran.

Perlahan Kirana membuka mata, dan dia melihat jelas rangka jembatan. Lalu Kirana mendongak, ternyata tangannya dipegang seorang lelaki.

“Ayo naik!” Perintah lelaki tersebut.

Bukannya naik, Kirana malah mencoba melepaskan pegangan lelaki itu.

"Lepaskan! Aku mau mati!" teriak Kirana.

“Jangan bodoh, ayo naik!” kali ini lelaki itu berteriak tidak kalah kerasnya.

Kirana diam, tidak memberontak lagi. Dia melihat ke bawah, lalu ke atas di mana lelaki itu sedang memegangi dengan satu tangan, dan tangan lainnya memegang pinggiran jembatan.

Kirana seperti tersihir, dia mulai meraih tangan penolongnya lalu mencoba menarik tubuhnya ke atas.

Lelaki di atas jembatan segera meraih tangan Kirana dengan tangan satunya kemudian menariknya ke atas.

Kirana selamat, tidak jadi bunuh diri. Akan tetapi, sesampainya di atas dia duduk bersandar di pembatas jembatan, lemas tidak bersemangat.

“Kenapa Kakak menolongku? Biarkan saja aku mati.” Ucapnya lirih dengan pandangan sendu.

“Apa bunuh diri sebuah solusi?”

Lelaki itu bersandar di pembatas jembatan, mengeluarkan rokok dan korek dari saku jaketnya. Mengambil satu batang, menyalakannya lalu mulai menghisapnya. Berdiri sambil menyilangkan kaki dan memasukkan tangan kiri ke saku jaket.

Mereka berdua sama-sama diam, bergelut dengan pikiran Masing-masing.

“Mungkin orang yang sudah putus asa seperti aku bunuh diri adalah solusi yang tepat.” Akhirnya Kirana bersuara.

Lelaki tersebut mengeluarkan asap lewat mulutnya, “Apa gak ada solusi yang lain, selain bunuh diri?”

“Sebenarnya ada.”

“Kenapa tidak memilih solusi tersebut? Kok malah memilih bunuh diri?”

“Karena terkadang solusi lain, ada yang tidak sesuai ekspetasi.”

“Benarkah?”

“Iya.”

“Kalau kamu sendiri, apa ada solusi lain selain bunuh diri?”

“Ada.”

“Kenapa tidak memilihnya? Malah memilih bunuh diri.”

Kirana diam tidak bisa menjawab.

“Apa begitu berat masalahmu, sehingga kamu memutuskan untuk bunuh diri? Apa kamu tidak memikirkan dampak dari yang kamu lakukan?” ujar pemuda tersebut dengan nada tenang.

“Sekarang gini, coba pikir. Andaikan kamu jadi mati terseret arus, terus keluargamu mencari dirimu yang entah ada di mana. Betapa terpukulnya mereka, dan kalau kamu masih punya Orang tua, apa tidak jadi beban pikiran bagi keduanya. Syukur-syukur kalau mereka kuat, kalau enggak, gimana? Pasti Ibu atau Ayah kamu jadi sedih, enggak makan, enggak minum, kurang istirahat juga, kemudian jatuh sakit dan menyusul mu ke alam baka. Apa enggak kamu pikirkan?”

Kirana menekuk lututnya lalu menyembunyikan wajah kemudian menangis sekencang-kencangnya. meluapkan beban yang beberapa hari ini menyesakkan dada.

Lelaki yang berdiri di sebelah Kirana hanya diam, membiarkan Kirana menangis. Rokok yang dibakarnya sudah habis dari tadi.

Setelah tangis Kirana mereda, dia mendongak, melihat siapa lelaki yang sudah menyelamatkannya.

“Kenapa Kakak mau menyelamatkan aku?” kali ini giliran Kirana yang bertanya.

“Rasa kemanusiaan, mungkin. Karena tidak ada alasan untuk menyelamatkan orang.” Jawab lelaki itu sambil melihat Kirana.

Mata mereka berdua beradu, saling menatap dalam diam. Akhirnya lelaki itu memutuskan pandangan, kemudian melepas jaketnya.

“Pakai ini, aku antar ke rumah sakit. Kasihan keluargamu, pasti kalang kabut mencarimu.” Katanya sambil memberikan jaket yang dia lepas tadi.

Kirana menerima dan memakainya. Bau parfum maskulin bercampur bau rokok menyeruak ke rongga hidungnya. Kirana mendongak lagi saat tangan kekar menjulur di depannya. Meraih tangan itu, kemudian berdiri, jaket yang kebesaran membuat Kirana kelihatan pendek.

Lelaki itu menaikkan alis melihat penampilan baru Kirana. Dia maju mengikis jarak, menundukkan kepala, lalu meraih kepala ritlesting kemudian menariknya sampai sebatas dagu.

“Angin malam tidak baik untuk kesehatan.”

“Nama Kakak siapa?”

“Aditya.”

“Kakak kok tahu aku dari rumah sakit?”

“Dari sini.” Jawabnya sambil meraih tangan Kirana lalu memperlihatkan gelang berwarna biru dengan keterangan nama rumah sakit dan nama pasien.

Kirana melihat ke pergelangan tangannya, kemudian mendongak lagi dan tatapan mereka bertemu lagi.

“Terima kasih,” ucapan tulus keluar dari mulut Kirana yang tersenyum.

Lelaki yang bernama Aditya hanya mengangguk, kemudian berjalan menuju motornya diikuti Kirana yang berjalan di belakangnya.

Aditya mulai menaiki motornya, lalu memakai helm, kemudian membantu Kirana untuk naik ke atas motor.

“Pegangan yang erat, aku bakal ngebut.”

Kirana memegang kiri kanan kaos Aditya untuk pegangan. Dan tanpa permisi dan terkesan kurang ajar, Aditya menarik kedua tangan Kirana sampai melingkar sempurna di pinggang.

Sebelum Kirana Protes, Aditya sudah menyalakan motor lalu pergi menuju rumah sakit dengan kecepatan tinggi. Mau tak mau Kirana memeluk erat Aditya dari belakang.

Keesokan harinya, Kirana mendapatkan kunjungan Dr. Hanna yang sedang bertugas pagi ini. Setelah mengetahui kejadian semalam, Dr. Hanna menjelaskan sekali lagi soal syndrom yang dideritanya. Dan Dr. Hanna menyarankan untuk pergi berlibur untuk menyembuhkan depresi yang Kirana derita akhir-akhir ini.

Dan saran Dokter tersebut disambut baik Papa dan Mama Kirana. Dan Kirana mau asal liburan kali ini dia ingin mengunjungi Negara Swiss.

Tanpa pikir panjang Papa Kirana mengiyakan rencana putrinya tersebut. Bahagia anak-anaknya adalah kebahagiaan dia juga.

Tanpa mereka sadari ada seseorang yang mencuri dengar semua perkataan Dr. Hanna. Lalu dia keluar dengan cara mengendap-endap supaya tidak ada yang menyadari kalau dia berada di sana.

‘Sekarang aku tahu siapa yang akan aku jadikan hadiah taruhan itu'

Batinnya sambil tersenyum miring penuh kepuasan.

Terpopuler

Comments

ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞

ℑ𝔟𝔲𝔫𝔶𝔞 𝔞𝔫𝔞𝔨-𝔞𝔫𝔞💞

jangan² Bima, pacarnya Kirana...

2022-09-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!