Pagi menyapa, masih seperti hari-hari biasa nya tidak ada yang berubah. Bang Darma yang pergi bekerja tanpa sarapan, cukup hanya segelas teh manis hangat, dan aku yang mulai sibuk ke dapur dan membersihkan rumah.
Singkat cerita, sebulan pun sudah berlalu. Yuni kembali datang untuk mengambil uang bulanan nya. Tapi kali ini, dia datang dengan penampilan yang berbeda dari biasa nya.
Setelah sebulan yang lalu aku memberikan perhiasan pada nya, bulan ini dia datang lagi dengan memakai hijab.
"Assalamualaikum," salam Yuni yang sudah berdiri di depan pintu.
Kemudian ia pun melangkah masuk ke dalam rumah, lalu menyalami punggung tangan ku takzim.
"Wa'laikum salam," balas ku lalu mengerutkan kening melihat penampilan nya.
Yang aku heran kan, bukan masalah dia yang berhijab. Aku malah senang kalau seandainya dia mulai menutup aurat, tapi yang aku curigai, apa yang di tutupi nya dalam hijab nya tersebut. Niat nya memakai hijab itu bukan untuk menutup aurat, tapi menutupi sesuatu.
"Tumben," batin ku setelah melihat penampilan nya.
"Bapak udah gajian kan, buk?" tanya Yuni langsung duduk di atas sofa.
"Udah, bentar ibuk ambil kan uang nya dulu di kamar!" jawab ku lalu beranjak dari sofa dan berjalan ke dalam kamar.
"Nah, ini uang bulanan mu!" ujar ku sembari menyerahkan uang sebesar lima ratus ribu ke atas meja yang ada di hadapannya.
"Tumben kau kesini pake hijab, Yun. Apakah ada yang sedang kau tutupi?" selidik ku menatap tajam pada nya.
Melihat tatapan aneh ku, dia pun langsung menunduk takut. Karena tidak ada jawaban dari nya, aku pun kembali melontarkan pertanyaan pada nya.
"Kok diam? Kenapa gak di jawab pertanyaan ibuk? Coba buka hijab mu, ibuk mau lihat apa sebenarnya yang kau tutupi?" pinta ku.
Aku bersikap demikian, bukan karena aku kejam sebagai ibu tiri. Aku hanya curiga, karena selama lima tahun aku menikah dengan bang Darma, tidak pernah sekali pun aku melihat Yuni datang ke rumah dengan menggunakan hijab.
Kecuali sewaktu lebaran saja, itu pun terkadang dia malah tidak datang di hari lebaran.
Yuni pun menuruti perintah ku, lalu membuka hijab nya dan masih dengan posisi menundukkan kepala nya. Dan akhirnya, kecurigaan ku benar dan tidak meleset sedikit pun. Dia memakai hijab itu, karena menutupi perhiasan yang sudah tidak ada lagi di tubuh nya.
"Kemana emas mu?" Aku bertanya dengan santai, aku tidak ingin terburu-buru emosi pada nya, sebelum mendengar kejujuran yang keluar dari bibir nya.
"Udah di jual sama mamak, buk," jawab Yuni lirih.
Mendengar jawaban yang keluar dari mulut nya, emosi ku pun langsung naik sampai ke ubun-ubun.
"Ya Allah, Yun. Kok berani-beraninya kalian menjual emas itu, hah?" bentak ku dengan geram nya.
Melihat kemarahan ku, Yuni tidak berani menjawab. Ia semakin beringsut di tempat duduk nya.
"Baru sebulan yang lalu ibuk belikan dengan susah payah, menabung sedikit demi sedikit dari hasil jualan, dengan gampang nya kalian menjual nya gitu saja. Kau sama sekali tidak menghargai pemberian ku, Yun?" lanjut ku dengan suara melengking.
Karena sudah mulai tersulut emosi, aku pun sudah tidak lagi menyebutkan diriku dengan kata "ibuk" tapi sudah dengan kata
"aku."
Aku marah, aku emosi, bukan karena aku tidak ikhlas untuk memberikan emas itu pada nya. Tapi karena dia mengizinkan ibu nya untuk menjual barang hasil keringat ku dan juga bang Darma. Siapa orang nya yang tidak bakalan emosi, kalau begini ceritanya?
"Kau masih ingat janji mu dengan ku, Yun? Kau tidak bakalan jual emas itu apa pun alasannya. Apa kau lupa dengan semua ucapan mu bulan lalu?" tanya ku masih dengan emosi yang meledak-ledak.
Yuni tetap diam. Ia tidak berani berkata-kata lagi. Mulut nya terkunci rapat sambil terus menundukkan kepala nya.
"Kau sudah terlalu lancang, Yun. Dari awal kan sudah aku bilang, kau bisa pakai emas itu, tapi kau tidak berhak untuk menjual nya. Apa kau lupa dengan kata-kata ku itu, hah?" bentak ku lagi.
Setelah meluapkan emosi ku, aku pun duduk menyandar di bahu sofa, sambil terus menatap tajam ke arah anak tiri ku tersebut. Setelah dari tadi berdiam diri, akhirnya Yuni pun memberanikan diri untuk membuka suara nya.
"Iya buk, Yuni masih ingat," tutur Yuni pelan.
Ia tampak sangat ketakutan dan gelisah, sambil memilin-milin ujung baju nya.
"Kalau kau ingat, kenapa kau berani memberikan barang itu kepada mamak mu untuk di jual, hah?" bentak ku lagi.
"Apa kau tidak kasihan melihat bapak mu pontang-panting kerja, jadi babu orang di tempat kerja nya sana, hanya demi mendapatkan uang itu?" lanjut ku.
"Apa kau tidak kasihan melihat ku yang setiap hari berjualan, mengumpulkan uang itu sedikit demi sedikit hanya untuk menyenangkan hati mu?" tambah ku dengan wajah merah padam.
"Aku sangat kecewa dengan mu, Yun. Aku kecewa karena kau tidak bisa menghargai hasil keringat dan jerih payah kami berdua. Kau tidak bisa menjaga amanah dan ucapan mu sendiri," ujar ku dengan nada yang mulai melunak.
"Iya maaf, buk. Kalau memang ibuk tidak ikhlas, nanti kalau Yuni udah kerja, Yuni akan ganti emas itu buk. Yuni akan ganti pakai uang," tutur Yuni.
Aku menghela nafas panjang, dan menghembuskan nya dengan kasar. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran manusia yang ada di hadapanku itu.
"Bukan masalah ikhlas tidak ikhlas nya, Yun. Kalau dari awal ibuk merasa tidak ikhlas, untuk apa juga ibuk repot-repot menabung untuk membelikan emas itu untuk mu?" jelas ku.
Yuni kembali bungkam, ia tampak sedang memikirkan ucapan ku.
"Yang ibuk sesal kan itu cara mu, yang tidak bisa menjaga barang pemberian kami. Dan dengan gampang nya kau memberikan barang itu kepada mamak mu untuk di jual nya." ujar ku kesal.
"Sebenarnya bapak mu sudah melarang ibuk, untuk tidak membelikan emas itu untuk mu. Karena dia takut emas itu bakalan kalian jual, tapi ibuk tetap ngotot untuk membelinya dan memberikan nya pada mu," jelas ku lagi.
"Karena apa? Karena ibuk sayang sama mu, Yun. Walau pun ibuk ini cuma ibu tiri mu, tapi ibuk sangat menyayangi mu. Tapi ternyata, dugaan bapak mu itu benar. Ibuk sangat menyesal, karena tidak mendengar kan ucapan bapak mu," tambah ku.
Aku terus saja berceloteh panjang lebar kepada anak tiriku itu. Aku sangat menyayangkan perbuatan nya yang sudah terlalu lancang menurut ku.
"Ibuk tau rasa nya punya ibu tiri itu gimana, Yun. Karena ibuk juga pernah mengalami dua kali mempunyai ibu tiri," jelas ku dengan pandangan menerawang.
Aku kembali mengingat masa kecil ku dulu, yang sudah merasakan mempunyai ibu tiri sebanyak dua kali.
"Asal kau tau ya, Yun. Dulu waktu ibuk punya ibu tiri, jangan kan memberi uang atau pun perhiasan, atau lain sebagainya. Membelikan satu biji CD untuk ibuk aja pun, mereka tidak pernah!" jelas ku menceritakan pengalaman ku saat mempunyai ibu tiri.
"Karena dari pengalaman ibuk sebagai anak tiri itu lah, maka nya ibuk berusaha untuk bisa membahagiakan mu. Memberikan apa pun permintaan mu, menuruti semua keinginan mu, semampu yang ibuk bisa."
Mendengar ocehan ku, Yuni pun menoleh sekilas, lalu menunduk kan kepala nya kembali.
"Tapi ternyata, balasan mu ini tidak seperti yang ibuk harap kan. Ibuk sangat kecewa dengan mu," lanjut ku dengan penuh penyesalan.
Aku meluapkan kekesalan ku pada nya, yang tidak bisa menjaga amanah dan janji nya sendiri.
"Kau masih ingat, tentang ancaman ibuk kemaren kan? Kalau seandainya kau menjual emas itu, ibuk tidak akan pernah lagi memberikan apa pun pada mu," ujar ku kembali mengingat kan, tentang perjanjian yang sudah kami sepakati bersama.
"Iya, Yuni masih ingat," jawab Yuni.
"Bagus lah kalo kau masih ingat," ujar ku menutup percakapan.
Karena sudah melihat ku terdiam dan tak lagi mengeluarkan suara, Yuni pun akhirnya pamit pulang.
"Yuni pulang dulu ya, buk. Motor yang Yuni bawa ini, mau di pake mamak kata nya. Mamak udah kirim pesan barusan. Dia nyuruh Yuni untuk cepat-cepat pulang," ujar Yuni lalu berdiri dari duduknya, dan menyalami tangan ku.
"Ya udah, hati-hati di jalan," balas ku.
Setelah berpamitan, Yuni segera berjalan keluar dan pergi berlalu dengan mengendarai sepeda motor milik nya.
Setelah kepergian Yuni, aku pun menjatuhkan diri di atas sofa panjang yang aku duduki sedari tadi sambil memijit-mijat dahi.
Kepala ku langsung berdenyut-denyut, karena emosi yang meluap-luap barusan. Jujur, sebenarnya aku tidak tega memarahi nya. Jangan kan memarahi, menegur kesalahan nya saja aku tidak pernah.
Karena aku sadar, status ku hanya sebagai ibu tiri bagi nya. Aku tidak ingin di bilang ibu tiri yang cerewet, yang suka mengatur-ngatur hidup nya. Dan yang pasti, aku tidak ingin di anggap sebagai ibu tiri yang kejam oleh nya.
Tapi karena aku sudah terlalu kecewa dengan perbuatannya, aku pun memberanikan diri untuk melakukan hal yang sama sekali tidak pernah aku lakukan pada nya. Yaitu memarahi nya seperti yang aku lakukan barusan.
"Yuni...Yuni, kau memang gak ngerti di sayang, Yun!" gumam ku sambil terus memijat-mijat kepala yang masih berdenyut nyeri.
Setelah beberapa menit merebahkan diri, aku pun segera berdiri untuk menutup pintu kios dan pintu utama. Setelah itu, aku kembali berjalan ke dalam kamar dan kembali merebahkan tubuh ku di atas ranjang. Aku menenangkan pikiran dan otak yang sedang acak adut saat ini.
Sebenarnya, Yuni itu anak yang penurut. Tapi karena dia masih tinggal bersama ibu kandung nya, jadi ibu nya itu selalu mengendalikan diri nya dan memanfaatkan nya untuk selalu meminta uang kepada kami.
Berhubung Yuni ini anak yang penurut. Ya, dia akan menuruti apa pun perintah ibu nya.
Termasuk menyerahkan semua emas yang sudah aku berikan untuk nya itu kepada ibu nya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 242 Episodes
Comments