Kepalaku terasa sangat berat. Aku tak bisa melawan mereka. Tubuhku juga terasa sangat lemas.
Dua pelayan tadi mengangkat tubuhku dan membaringkanku di sofa.
Mereka mulai membuka jas yang kupakai.
Satu persatu kancing kemejaku dibukanya. Sementara pelayanan satunya membuka sepatu yang kupakai.
Rom! Cepatlah datang!!
Kini aku sudah bertelanjang dada. Mataku terbelalak melihat si Tua Bang*ka itu sudah telanjang bulat.
Memperlihatkan Pitungnya yang kecil berbanding terbalik dengan badannya yang gemuk.
Saat gesper yang melingkar di pinggangku hendak dilepas, dengan sekuat tenaga aku berusaha menepis tangan itu.
Tapi apalah daya yang sudah dicekoki obat ini. Aku tak kuat menahan mereka.
Dengan mudah mereka melepas gesper itu.
Pak Burhan mendekat ke arahku. Dia menjambak rambutku agar mendongak menatapnya.
"Sebentar lagi aku akan memasukimu!" ucapnya menyeringai.
Siapapun! Tolong aku!!
Aku bahkan tidak kuat hanya sekedar untuk berteriak.
Kemana Pak Jarwo di saat aku membutuhkannya seperti ini?! Kenapa dia tidak datang?!
Romi! Tolong aku Rom!!
"Sudah! Kalian keluar sana! Sisanya biar aku yang melepaskannya sendiri!" titah Pak Burhan kepada kedua pelayan itu.
"Jangan lupa kunci pintunya! Jangan sampai ada yang berani menggangguku! Jaga pintunya dari luar! Jangan biarkan siapapun masuk ke ruangan ini!" tegas Pak Burhan lagi.
Tamat sudah riwayatku!
Tubuh Pak Burhan yang telanjang itu naik ke atas perutku.
"Oh, Andri.. Tubuhmu begitu menggoda!" Ia membelai dadaku.
Setelah itu, dia turun dari tubuhku. Beranjak entah kemana.
Pandangan mataku mulai kabur, lalu menjadi gelap.
_________
Perlahan, aku membuka mataku. Mataku langsung membulat begitu ingat akan Pak Burhan.
"Tidak!! Ssst arg!" Aku meringis memegangi kepalaku yang berdenyut.
"Andri! Kamu sudah sadar!"
Aku langsung menoleh ke suara itu.
"Romi?" Ia sedang duduk di balik kemudi mobil.
Ternyata aku sudah berada di dalam mobilku sendiri.
"Kenapa kau bisa ada di sini?"
"Kau pikun ya!" seru Romi. "Kau yang menelfonku minta di jemput! Aku panik tahu nggak pas telfon terputus secara tiba-tiba. Pas aku telfon lagi, malah nggak diangkat!" Romi terus saja nyerocos.
"Aku langsung melacak hpmu! Beruntung aku ada di dekat sana! Kau tidak tahu betapa susahnya aku untuk menyelamatkanmu! Beruntung dua orang yang jaga pintu itu ternyata tak sekuat kelihatannya!"
"Terus aku gimana Rom? Tua Bang*ka itu nggak ngapa-ngapain aku kan?!" tanyaku panik.
"Ya mana aku tahu, kan kamu yang ngerasain!" Romi malah terkekeh.
"Rom, aku serius!"
"Ahaha! Bercanda.. Sepertinya orang gila itu belum sempat ngapain-ngapain kamu. Karena pas aku masuk, dia sedang sibuk mengatur kamera. Sepertinya dia berniat merekam kelakuan be*jatnya. Dan kamu dalam kondisi tak sadar dengan hanya memakai celana saja! Langsung saja kutendang orang gila itu!"
Sambil mendengar penjelasan Romi, aku juga meraba-raba diriku sendiri. Aman! Tidak kurang suatu apapun! Aku bernafas lega.
"Dasar baji*gan itu! Aku harus membuat perhitungan padanya!"
"Itu tidak perlu Ndri! Aku rasa saat ini dia sudah tidak bisa menggerakkan satu jari pun!"
Aku mengerutkan kening mendengar ucapan Romi.
"Aku sudah menelfon Papamu dan mengatakan semuanya. Dia langsung mengirimkan Pak Jarwo dan kawan-kawan ke diskotik itu. Mereka sudah mengobrak-abrik tempat itu. Saat mereka sibuk dengan Pak Burhan, aku langsung membawamu pergi!"
Aku hanya menghela nafas panjang dan berat mendengar penjelasan Romi.
Kutatap kemeja putih yang kupakai tanpa dikancing. Sepertinya tadi Romi yang memakaikannya. Aku mengancingkannya satu per satu.
"Rom, anterin aku pulang. Kepalaku masih pusing."
"Terus motorku gimana?"
"Gampang, suruh orang aja untuk ngaterin ke kosan kamu," jawabku sambil kembali menyandarkan tubuh ke sandaran kursi mobil. Kepalaku masih terasa sedikit pusing.
_________
Jam menunjukkan pukul sepuluh lebih ketika aku sampai di kosan. Aku menyuruh Romi untuk mampir dulu. Tapi dia menolak.
Akhirnya Romi pulang dengan mengendarai mobilku.
Saat membuka pagar kosan, mataku menoleh ke kamar Iren yang memang dekat dengan pagar kosan.
Kamarnya terbuka. Mataku membulat lebar melihat Tisa duduk di satu kursi dengan Iren.
Aku hanya bisa melihat punggung mereka, karena mereka membelakangiku.
Yang membuatku terbelalak adalah, Iren memainkan ujung rambut Tisa.
Karena kejadian yang baru saja aku alami, aku langsung terbayang hal yang tidak-tidak dan langsung mengetuk pintu kamar Iren yang terbuka.
"Tisa!" sontak Iren langsung melepaskan tangannya dari ujung rambut Tisa ketika mendengar suaraku.
Tisa menoleh, dia hanya bergeming menatapku.
"Tanganku kena pisau, aku minta Betadine kamu dong!"
Ah, bodoh! Jelas-jelas Tisa nggak punya Betadine! Tapi aku nggak sempat memikirkan alasan lain. Yang terpenting aku harus membawanya keluar dari kamar Iren.
Tak ada respon dari Tisa. Dia hanya menatapku bingung.
Langsung saja aku nyelonong masuk dan menariknya keluar dari kamar Iren.
Aku terus menariknya hingga ke dapur.
Setelah masuk ke dapur, aku melongokkan kepalaku di pintu. Mengintip keluar takutnya Iren juga mengikuti kami. Tapi ternyata tidak.
"Ndri, kamu kan tahu aku nggak punya Betadine. Kok kamu malah minta sama aku sih?!"
"Ssstt! Tadi itu aku cuma bohong, biar bisa ngajak kamu keluar dari kamar Iren!" sahutku sedikit menekan suara. Takutnya terdengar Iren.
Terlihat alis Tisa menyatu tanda bingung.
Kenapa nih anak nggak peka-peka juga sih?!
"Aku kan udah bilang sama kamu. Jangan deket-deket sama Iren. Dia itu tertarik sama kamu," ucapku kesal.
Tawa Tisa malah pecah. "Ndri, omongan kamu itu nggak masuk akal banget gitu lho. Mana ada cewek suka sama cewek?! Konyol banget tahu nggak sih! Hahaha!"
"Sa, kamu harus percaya sama aku! Tadi aku lihat dia mainin ujung rambut kamu dari belakang!"
"Ah, udahlah Ndri! Ini udah malam, aku mau tidur!" Tisa malah pergi meninggalkanku.
Harus gimana sih supaya dia percaya sama aku?!
Baru juga aku keluar dari dapur, aku melihat Tisa berdiri di depan kamarnya dengan tangan yang sedang dipegang oleh Iren. Tangan itu dielus oleh Iren.
"Maaf ya Ren, Tisa-nya mau tidur, udah malam!" Langsung saja kulepas tautan tangan mereka dan mendorong Tisa masuk ke kamarnya.
Iren menatapku dengan tatapan tidak suka.
Mungkin baginya aku sedang mengibarkan bendera perang.
Tiba-tiba Tisa membuka pintu kamarnya dan hendak keluar.
"Ngapain masih keluar? Udah, sana tidur!" ucapku dan mendorong pintu agar tertutup kembali.
Setelah itu aku kembali masuk ke dapur. Tenggorokanku terasa sangat kering karena aku belum meminum apapun sejak setelah dicekoki obat tadi.
"Andri!"
Aku menoleh. Ternyata Iren mengikutiku ke dapur.
"Apa kau menyukai Tisa?"
Aku mengernyit menatapnya bingung. Matanya menatapku tajam.
"Aku menyukai Tisa!" Akunya.
Nah kan!
"Jadi, mari kita bersaing dengan adil!" pungkas Iren lalu keluar dari dapur.
Aku memijit kepalaku yang makin terasa berdenyut mendengar ucapan Iren barusan.
Kenapa semua orang yang ada di sekitarku gila semua?!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Siska Agustin
iren situ gak salah cari saingan?!! dikira Tisa juga doyan sama sejenis apa,jelas dia bakal lbh milih Andri lah..
2022-09-27
1
Anita Nasa
uda selsai gitu kak..padahal seru lho
2022-09-27
1