"APA?!" mataku terbelalak mendengar ucapan Papa barusan.
"Kok kamu mendadak budek sih Ndri. Papa jodohin kamu sama anak temennya Papa."
"Andri nggak setuju Pa!" tolakku tegas dan cepat.
"Apa maksudmu Ndri?" terlihat jelas raut wajah Papa langsung berubah.
"Andri nggak mau dijodoh-jodohin!"
"Wong kamu belum tahu anaknya kok udah main nolak aja."
"Ini bukan jaman Siti Nurbaya lagi Pa! Lagi pula, Andri itu laki-laki! Aku bisa cari sendiri!"
"Dia cantik lho Ndri. Nggak neko-neko juga. Apalagi dia juga wanita karir. Kurang apalagi coba?"
"Kurang kenal Pa!"
"Gampang, tinggal kenalan aja kan?"
Aku menghela nafas berat. "Cinta itu nggak bisa dipaksain Pa! Batalkan saja perjodohan itu!"
"Nggak bisa gitu dong Ndri!" suara Papa naik satu oktaf. "Papa udah bicarain ini matang-matang dengan teman Papa itu! Pokoknya kamu harus nurut!"
Aku segera beranjak ingin meninggalkan Papa. Aku tidak ingin melanjutkan obrolan sepihak ini. Dimana pendapatku tidak akan diterima.
"Mau kemana kamu?"
"Mau mandi!"
"Papa belum selesai bicara!"
"Nggak ada lagi yang perlu dibicarain Pa! Andri nggak setuju dengan perjodohan itu!"
"Duduk! Papa belum selesai ngomong!" titah Papa dengan nada tinggi saat aku sudah di ambang pintu.
Mulai sudah sifat otoriternya!
Aku berusaha tetap tenang dengan menarik nafas dalam.
"Pa, Andri udah dewasa! Tolong--"
"Apa? Dewasa?" potong Papa sambil tertawa dengan nada mengejek.
"Sampai saat ini, kamu selalu berada di bawah naungan Papa!! Kau pikir ada yang bisa kau lakukan tanpa nama Papamu ini?!"
"Jadi maksud Papa Andri nggak bisa apa-apa tanpa Papa gitu?'
"Tanpa Papa jawab pun kau pasti sudah tahu jawabannya! Bahkan karena Papa juga kamu bisa masuk ke perusahaan!"
Hatiku tercubit mendengar ucapan Papa. Padahal, aku melepas cita-citaku karena Papa menyuruhku untuk meneruskan bisnisnya.
"Baiklah, mulai hari ini aku keluar dari perusahaan! Akan aku buktikan kalau aku bisa berdiri dengan kakiku sendiri!" tegasku.
Papa terlihat kaget mendengar keputusanku. Tapi ia segera mengubah ekspresi wajahnya.
"Baiklah kalau itu maumu. Papa mau lihat apa yang bisa kamu lakukan tanpa Papa!"
Hari itu juga aku mengemasi barang-barangku.
"Kita lihat, berapa lama kau akan bertahan tanpa Papamu ini!" ucap Papa ketika aku melangkah keluar dari rumah.
Tak kuhiraukan lagi teriakan Mama yang tidak ingin aku pergi. Sebenarnya aku tak tega mendengarnya menangis sambil memanggil namaku.
Aku menoleh kearahnya sebelum akhirnya aku melangkah keluar dari rumah.
Kulajukan motorku meninggalkan rumah. Motor yang aku beli dengan gaji pertamaku dulu.
Aku tidak membawa pergi mobil yang biasa aku pakai karena itu adalah pemberian dari Papa.
Papa mencabut semua fasilitas yang pernah dia berikan padaku.
Untungnya aku dulu rajin menabung. Jadi aku masih punya simpanan uang yang lumayan.
Saat ini tujuanku cuma satu. Ke rumah Romi. Untuk sementara waktu aku akan menumpang tinggal di sana sebelum aku mencari tempat tinggal.
_________
Kutatap bangunan berlantai dua yang ada di depanku. Kos-kosan yang lumayan besar. Tampak seperti rumah susun dari luar.
Aku turun dari sepeda dan menuntunnya masuk ke halaman kos-kosan setelah sebelumnya membuka gerbang yang tidak dikunci.
Aku nggak salah alamat kan? Kok ini penghuninya cewek semua?
Di halaman yang lumayan luas ini ada segerombolan cewek yang sedang senam bersama.
Tapi seketika mereka langsung menghentikan aktivitasnya setelah melihat kehadiranku.
Duh, kenapa pada ngeliatin aku sih?!
Salah satu dari mereka ada yang mesam-mesem nggak jelas. Bahkan ada yang mengedipkan satu matanya padaku.
Kelilipan kali dia ya?
Segera kutelfon Romi. Barangkali ternyata dia salah memberiku alamat kosannya.
Meskipun sudah lama berteman dengannya, tapi ini baru pertama kali aku mengunjungi kosannya.
Duh, ini Romi kemana sih?! Kenapa telfonnya nggak diangkat?!
Aku masih berdiri di halaman itu sambil terus menghubungi Romi.
"Masnya mau ngekos di sini ya?" tanya cewek berambut pendek yang mendekat ke arahku.
Belum juga aku menjawab, ada satu cewek lagi yang mendekat.
"Sana minggir! Biar aku aja yang ngomong sama Masnya. Aku kan anaknya ibu kos!" ia menyenggol cewek berambut pendek tadi.
"Ayo Mas, aku antar ke kamar yang kosong. Ibu masih keluar. Jadi biar aku yang tunjukkan kamarnya. Masnya mau lihat-lihat kamar dulu kan?" tawarnya.
"Kenalin Mas, aku Ita," ujarnya seraya mengulurkan tangannya.
Belum juga aku menjabat tangannya, ia sudah disenggol oleh cewek yang lain.
Dan dalam sekejap, semua cewek pada mendekat dan memberitahukan namanya padaku.
Kenapa jadi tiba-tiba absen nama? Udah kayak guru aja aku!
Jika biasanya guru yang menyerukan nama muridnya, ini malah sebaliknya.
"Waduh, kenapa antrian sembako jadi pindah kesini?!" seru seseorang yang aku kenal.
"Romi!" seruku memanggilnya.
"Lho, Ndri, kamu ngapain ke sini?" ia menerobos kerumunan cewek.
"Nanti aku ceritain. Yang penting kita masuk ke kamar kamu dulu yuk!" ajakku agar segera terbebas jadi guru dadakan.
Romi pun membawaku pergi dari sana. Meninggalkan murid dadakan yang nampak kecewa.
"Kamu seriusan ngekos di sini?" tanyaku setelah mulai masuk.
"Iya, kenapa?"
"Aku pikir tadi aku salah alamat. Karena yang kulihat penghuninya cewek semua!"
Romi terkekeh mendengar tuturanku.
"Di sini memang kos-kosan campuran. Lantai satu dihuni khusus cewek. Lantai dua khusus cowok," terang Romi.
Kami pun mulai menaiki tangga menuju lantai dua.
"Kenapa kamu nggak beli rumah atau ngontrak aja Rom? Gaji dari kantor kan lumayan?"
"Aku kan cuma tinggal sendiri ngapain ngontrak? Mending uangnya aku tabung buat ngelamar pacar! Kalau soal rumah, aku masih nyari yang bagus!"
Kini kami telah sampai di lantai dua. Romi merogoh sakunya hendak mengambil kunci.
"Mas Romi! Dia siapa?!" Aku langsung menoleh mendengar suara yang seperti kodok kejepit.
Seorang cewek berdiri di belakang kami. Ada yang aneh dengan cewek ini. Entah perasaanku saja atau apa.
Tapi yang pasti, terlihat di punggung tangannya urat-urat yang menonjol. Belum lagi mukanya yang siang, tapi lehernya malam.
"Kemarin-kemarin nolak aku! Sekarang malah bawa cowok masuk ke kamar! Tega kamu Mas!" seru cewek berambut cokelat itu.
Ada apa dengan suaranya itu? Apa dia nelan kodok ya?
"Ngawur! Dia itu teman aku!" sahut Romi.
"Oh, teman. Kirain cem-ceman kamu!" dia memandangku dengan senyum lebar, lalu mengulurkan tangannya. "Kenalin, aku Yanti. Kamarku pas di depan kamar Romi," ucapnya sambil menunjuk kamar yang berhadapan dengan kamar Romi.
Aku menjabat tangannya sambil menyebutkan namaku. Awalnya aku sedikit terkejut mengetahui tangannya lebih besar dari tanganku.
"Rom, kata kamu tadi lantai dua khusus buat cowok. Lha ini si Yanti kok nyasar kesini?" bisikku ke Romi.
"Ini bukan Yanti, tapi Yanto!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
EkaYulianti
cewek jenis apa ini?🤣
2022-10-09
1
Ovira
seru, baru mulai baca udah mesem2
2022-10-06
1
Ellin So
part terakhir aku bacanya sampai ngakak 😆
2022-10-01
1